Chapter 18

1114 Words
Denting khas dari suara peralatan makan yang nampak dibuat dengan sangat indah dan pastinya mengocek kantung amat dalam itu menjadi satu satunya suara yang dapat memasuki indra pendengaran mereka di ruangan besar ini. Ruangan yang hanya berisikan meja berbentuk persegi panjang luas yang kini hanya ada tiga dari belasan bangku yang terisi disana. Ini pukul sembilan pagi. Setelah berbagai macam ritual kebiasaan pagi yang mereka bertiga lakukan, akhirnya ketiganya bertemu dengan senyum manis di ruang makan yang kini sudah berisikan belasan pelayan yang bolak balik mengantar makanan agar terus hangat. Gadis paling muda disana makan dalam diam. Sibuk mengunyah daging sapi kualitas terbaik itu seperti biasa, namun otaknya nampak merangkai suatu kalimat yang akan ia keluarkan di ujung sarapan nanti. Hal yang ia sadari ketika sadar dalam keadaan amnesia adalah kedua orang tuanya akan selalu ada untuk sarapan bersamanya. Jika untuk makan siang dan malam, sesekali mereka absen karena ada banyak pertemuan yang harus mereka hadiri. Sang ibu memiliki banyak jadwal pertemuan selaku ratu, biasanya beliau mengadakan banquet atau pergi ke acara sosialita yang berisikan wanita wanita wanita bangsawan. Sedangkan sang ayah terkadang mengurung dirinya di ruang kerja dengan setumpuk dokumen yang Irene tak mengerti isinya apa itu. Yang pasti, tentu saja hal tersebut adalah dokumen dokumen kenegaraan yang amat sangat penting. Jadi, ketika sarapan adalah waktu yang paling tepat untuk si rambut emas itu mengutarakan keinginannya langsung dihadapan kedua orang tuanya. Sehabis makan utama disiapkan, biasanya para pelayan dan chef yang sudah bertahun tahun melayani mereka tahu harus menyiapkan apa untuk makanan penutup tiap tiap individu yang berbeda beda tipe kesukaan itu. Sang ratu biasanya memilih untuk meminum teh bunga setiap dirinya makan makanan yang berat- bisa ditambah puding jika sarapannya hanya ala kadarnya saja. Sang raja akan memilih kopi hitam saja sebagai penutup sarapannya, sedangkan Irene- sang putri biasanya meminta beberapa buah cookies atau satu potong kecil cake sebagai penutup sarapannya. Etika yang diajarkan kepada para turunan bangsawan sejak kecil mengharuskan bahwa tidak ada suara apapun di meja makan. Namun, terkadang bisa memiliki pengecualian ketika sudah waktunya makan desert. MESKIPUN- jika memang akan ada pembicaraan, masih ada etika lainnya yang harus dipakai ketika memang ingin bicara di meja makan. Seperti saat ini. Irene yang mengunyah kue keringnya dengan pelan pelan kemudian membasuh mulutnya lebih dahulu dengan meminum air mineral biasa sebelum mulutnya berani berucap. “Ayah” Yang dipanggil langsung menengok karena sebelumnya beliau sibuk membaca koran yang ada di hadapannya. Lagi dan lagi, ini adalah hal yang tidak diperbolehkan karena tidak sopan, tapi memangnya siapa pula yang berani beraninya menentang orang nomor satu?? Bisa bisa kepala si penentang nanti malah menjadi hiasa di pagar istana seperti dua kepala singa yang ada di sana. “Ayah, ibu..” ulang Irene lagi sembari tangan yang tersembunyi disisi meja itu nampak mencubiti jari satu sama lain. Kebiasaan kecilnya yang sudah mendarah daging semenjak kecil ketika khawatir bahwa tindakannya akan mengundang kesalahan yang besar. “Bisakah kalian berdua mengizinkanku ke pusat kota??” tanyanya dengan suara yang semakin lama semakin mengecil. Ibunya- sang ratu yang mendengar hal tersebut sedikit membelalakan matanya terkejut dan refleks menengok kearah sang suami yang seakan tengah memproses kalimat tadi, takutnya bahwa dirinya sendiri yang salah dengar. Terkejut, tentu saja. Sejauh ini, anaknya tidak pernah meminta hal sesuai keinginannya sendiri. Bukannya buruk, justru itu hal yang bagus. Seorang putri raja, yang mungkin suatu saat nanti akan memimpin tahta bersama calon suaminya harus memiliki keinginan yang tinggi. Irene selama ini nampak terlalu patuh dan lembut untuk ukuran seorang calon pemimpin. Tapi, bukan ini permintaan yang ingin didengar oleh si kepala keluarga itu. Jika Irene meminta gaun mahal yang dibuat secara khusus untuk dirinya, perhiasan mewah yang harus mencari hingga ke belahan dunia lain, atau minimal ingin dibuatkan area istana sendiri, bangunannya sendiri, mungkin sepasang orang tua tersebut tak akan sebegini terkejutnya. “Untuk apa kau kesana, anakku??” suara sang ibu terdengar amat sangat khawatir. Bukannya apa apa, anaknya tak pernah turun langsung kelapangan seperti mereka berdua yang memang sesekali harus melakukan itu demi kepentingan pemerintahan. Pun, setelah insiden kala itu, mereka memang tanpa sadar menjadi berkali kali lipat overprotective padanya. “Jika kau bosan, kau bisa mengundang para noble lady untuk datang kemari dan menemanimu sehari hari. Mereka tak akan berani protes meskipun kau mengundang mereka setiap hari” ujar si ibu lagi yang menyadari bahwa Irene tidak menjawab pertanyaannya tadi. “atau jamuan teh terakhirmu berakhir tidak menyenangkan? Kau tidak suka seseorang dari mereka? Katakan siapa. Nanti ayahmu yang akan mengurusnya” “Bukan- bukan begitu” panik Irene yang takut bahwa gadis gadis itu menjadi korban salah paham. Tak mungkin pula hubungan keluarga bangsawan dengan keluarga kerajaan menjadi mengendur hanya karena dirinya yang memiliki permintaan aneh aneh. “Mereka orang yang luar biasa. Pertemuan terkahirku dengan mereka tetap membuatku nyaman” jawab Irene perlahan. “hanya saja, aku ingin melihat langsung keadaan negeri kita seperti apa. Aku ingin tahu orang orang seperti apa yang tinggal di sini, yang dipimpin oleh ayah. Aku ingin tahu kehidupan mereka seperti apa, karena aku tak pernah mengalami- bahkan untuk melihatnya saja pun aku tidak pernah” lanjutnya dengan nada suara yang semakin lama semakin mengecil. Dengan memijat pelipisnya pelan, sang ayah berusaha memanggil anak semata wayangnya yang kini tengah menunduk itu. “Irene” panggilnya masih lembut. Namun, ketika melihat anaknya hanya menjawab dengan gumaman kecil dan dengan wajah yang masih menunduk, dirinya seakan naik pitam meskipun tidak drastis. “Irene, angkat kepalamu” panggilnya lagi dengan nada suara yang naik satu tingkat. Semenjak dirinya terbangun dari amnesia, baru kali ini ia mendengar ayahnya berbicara dengan nada yang tinggi pada dirinya. Hahh.. gadis yang satu itu merasa bahwa sepertinya kali ini ia membuat kesalahan yang sangat besar. Dengan takut takut, Irene menegakkan kepalanya dan menatap kearah mata sang ayah langsung demi hanya menemukan wajah kaku dan tangan yang mengepal keras. “Kau ini putri seorang raja, Irene Judasquith” ujar sang ayah yang mencoba menurunkan kembali nada suaranya. “Kau ini anak dari pasangan Judasquith yang suatu saat nanti, kau akan memimpin negeri ini” lanjutnya lagi. “jangan pernah menundukkan pandanganmu pada siapapun!! Jangan pernah untuk mengecilkan suaramu pada orang lain, meskipun padaku dan ibumu. Tegaslah. Kuatkan mentalmu, tegapkan bahumu. Angkuhlah” titah sang ayah yang membuat Irene menyadari bahwa pembicaraan kali ini tengah berbelok dengan apa yang ia mulai beberapa menit yang lalu. “Baik ayah” namun gadis itu sendiri tak berani protes untuk meminta jawaban atas pertanyaannya saat ini juga. Jadi, dia hanya menjawab dengan singkat saja. Melihat anaknya, sosok kepala negara sekaligus kepala keluarga Judasquith ini nampak menghela nafasnya berat. Bangkit dari kursinya kemudian keluar dari ruangan. “akan ayah pikirkan dahulu. Nanti kita bicara lagi, Irene”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD