Ilyas 11

1839 Words
"Loh Mawar kenapa? Kenapa anakku? Kamu siapa? Kenapa Mawar bisa sama kamu? Mobilnya mana? Apa yang terjadi sih?" Pertanyaan bertubi-tubi datang dari mamanya Mawar. Dia langsung kaget saat satpam penjaga rumah memberi tahu bahwa Mawar pulang dalam keadaan pingsan. Ilyas sendiri sebenarnya tidak yakin, Mawar pingsan atau ketiduran. Karena tadi sepanjang perjalanan yang hanya tiga belas menit - Mawar minta agar Ilyas tidak ngebut dan Ilyas nurut saja karena melihat kondisi psikis Mawar yang sedang tidak baik - Mawar hanya menangis. Kemudian bertanya dengan nada lirih, "Aku boleh menyender kan? Kepalaku pusing." Belum sempat Ilyas menjawab, Mawar langsung menyenderkan kepalanya di punggung Ilyas, dan memeluk pinggang pemuda itu semakin erat. Dia takut. Sungguh saat takut. Badannya masih gemetar jika mengingat kejadian naas tadi. Merasa nyaman memeluk pemuda impiannya itu akhirnya malah membuat Mawar tertidur. Tanpa Mawar tahu, pemuda yang dia senderi itu hanya bisa pasrah saja. Dalam hati hanya berucap istighfar dan maaf pada Alya, pujaan hatinya. Memastikan pada otaknya bahwa dia tidak selingkuh, bahwa dia melakukan ini karena kemanusiaan. Karena Mawar membutuhkan bantuan. Dan karena dia orang yang mungkin paling tepat untuk mengantar Mawar pulang. Ilyas janji akan secepatnya bercerita pada Alya sebelum Alya tahu dari orang lain. Agar tidak ada salah paham. "Maaf tante, nanti saya akan cerita. Tapi tolong tunjukkan kamar Mawar, biar saya bopong sampai kamarnya." Ilyas mengikuti mamanya Mawar yang berjalan tergesa ke lantai dua, membuka salah satu pintu kamar, menjaga pintunya hingga Ilyas bisa leluasa masuk. Ilyas meletakkan Mawar di peraduan dengan hati-hati, takut membangunkannya. Wajah cantik itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Keningnya berkerut. "Sebentar nak, ini pasti jaketmu kan? Tolong bantu tante untuk melepasnya ya." Haa... apa? Bantuin melepas jaket? Eeh... eeh... duh aurat ituu. "Jangan tante, gak perlu dilepas sekarang. Kasian kalau Mawar terbangun. Biar saja nanti saya ambil kapan-kapan. Saya keluar dulu ya tan." Ilyas beringsut hendak keluar kamar. Sekilas dilihatnya kamar itu. Tampak rapih. Dia kira semua kamar perempuan akan berwarna dominan pink. Tapi tidak di sini. Kamar ini dominan bernuansa warna pastel yang lembut. Bu Hartono menyusul Ilyas untuk bisa mendengar cerita apa yang terjadi pada putri sulungnya. Pagi hari, Mawar membuka mata, merasakan elusan lembut di rambutnya dan panggilan lirih menyebut namanya dengan nada penuh kekhawatiran. Kepalanya masih berat, masih sedikit berputar. "Mamaaaaa...." Mawar langsung saja memeluk mamanya yang ada di depannya, yang juga tidak kalah sembab matanya. Semalamam menjaga putri sulungnya yang tidur tidak nyenyak, bahkan mengigau. Mengusir entah siapa. "Sayang nak..., shht... sudah jangan menangis lagi. Kamu sudah aman. Sudah di rumah. Sudah sama mama. Papa sedang dalam perjalanan pulang. Duduk dulu ya. Minum teh manis dulu." Mawar menuruti permintaan mamanya. Seusai minum teh manis hangat, dia baru merasakan perutnya yang lapar. "Sarapan dulu ya? Mau makan apa? Mama buatin ya." Masih penuh nada kasih sayang, mamanya memanjakan putri cantiknya itu. "Mau mandi dulu ma. Badan Mawar lengket gini. Gak enak banget." Mamanya segera saja membantu Mawar ke kamar mandi. Mawar baru tersadar saat melihat bahwa dia masih memakai jaketnya Ilyas. Harum tubuh pemuda itu terasa di indera penciumannya. Sambil tersenyum senang, beberapa kali Mawar menciumi jaket bomber itu. Cuci enggak, cuci enggak... eh bukan ding, dibalikin enggak, dibalikin enggak... moga aja Ilyas punya banyak jaket jadi kalau ini aku simpan dia masih punya yang lain. Gak usah dicuci dulu aah... harum tubuh Ilyas masih kerasa banget. Mayan bisa buat teman tidur. "Jangan terlalu lama mandinya. Segera makan setelah itu ya. Mama suapi." Mamanya berteriak dari luar kamar mandi. Usai mandi dan merasa segar kembali, Mawar beranjak ke ruang makan. Mamanya sudah menunggu. Makanan yang dimasak sang mama beda dari biasanya. Padahal kan cuma sarapan. "Mama tumben masaknya kaya gini. Kaya mau lebaran mah. Ada lontong opor waah ayam kampung lagi, sambal goreng hati, kerupuk udang, rendang... bentar ini mama beli di Pagi Sore atau masak sendiri mah?" Mawar langsug curiga. "Yang beli cuma rendang aja kok. Yang lain masak sendiri. Biar kamu makan yang banyak. Sini mama ambilin ya." Mawar masih melamunkan kejadian semalam. Tak henti bersyukur, karena Tuhan sungguh sayang padanya. Sungguh bersyukur karena Ilyas dan Yasa datang pada saat yang tepat. "Kak... semalam itu kenapa? Mama cemas banget waktu melihat kamu dibopong laki-laki gak mama kenal. Terus..." "Apaaa... ma? Dibopong? Seriusan mah, Ilyas bopong aku sampai kamar?" Mawar malah salah fokus, tak menyangka bahwa Ilyas mau membopongnya bahkan sampai kamar. Berarti semalam bukan mimpi, saat dia merasa kehangatan tubuh Ilyas yang membopongnya. Tanpa sadar Mawar tersenyum senang. "Iya. Eeh jadi laki-laki itu, namanya Ilyas? Mirip sama temennya Keny ya, siapa tuh? Aaliyah?" "Iya, dia kakaknya Iyah, teman Keny. Mamanya yang dulu Mawar pernah belajar masak itu loh mah." "Cerita sama mama kalau kamu mau cerita ya kak. Semalam si Ilyas itu cerita tapi ya gitu, pendek banget. Cuma bilang kalau dia temannya Mawar kebetulan lewat pas Mawar lagi butuh bantuan. Udah gitu doang." Sebenarnya Mawar tidak mau membayangkan kembali peristiwa buruk semalam, tapi untuk menghilangkan kekhawatiran mamanya, dia mau tak mau bercerita juga. Masih dengan tangan gemetar saat tiba di bagian berandalan yang coba mengganggunya. "Kamu harus bersyukur kak, Tuhan sayang banget sama kakak. Kamu gak kenapa-napa karena ada nak Ilyas dan teman-temannya yang datang tepat pada waktunya. Kalau kamu sudah baikan, jangan lupa ke rumahnya dan bilang terima kasih. Kalau perlu mama papa juga ikut. Mereka minta hadiah apa, akan mama beri pastinya." "Jangan lupa kabari kantormu kalau beberapa hari ini kamu istirahat, gak masuk dulu. Mama yakin, papa akan semakin memaksamu untuk resign kak!" "Tadi sudah bilang ke Pak Bambang, mah. Eh tuh si bapak malah lebih panik. Nyuruh Mawar lapor polisi, ke rumah sakit buat visum. Malas ah mah. Mawar memang masih shock, mau istirahat dulu saja." Mawar berdiri hendak kembali ke kamarnya. "Eh mah, beneran itu Ilyas bopong Mawar? Terus Mawar tidur masih pakai jaketnya Ilyas?" Tanyanya ragu. "Iya. Bener. Mama tadinya mau buka jaket yang kamu pakai. Tapi kata nak Ilyas gak usah, takut nanti kamu malah kebangun." Tanpa si mama tahu alasan sebenarnya kenapa Ilyas berkata seperti itu. Ada sebersit rasa bahagia menyusup di hati Mawar mendengar hal itu. Bolehkah dia berharap bahwa Ilyas mulai peduli padanya? Walau hanya sedikiiit..?? "Eh kak..." Panggil mamanya. "Apa mah?" "Mama suka sama Ilyas itu. Sepertinya sangat menghargai dan menghormati perempuan. Mama sudah putuskan!" "Putuskan apa mah?" Mawar bertanya ragu, kalau feelingnya benar maka mamanya akan berkata... "Sudah mama putuskan untuk menjadikan Ilyas sebagai mantu mama!" Dan mamanya pun tersenyum. Seperti berhasil menemukan barang yang hilang setelah sekian lama. Tak berapa lama setelah Mawar kembali ke kamarnya, bel pintu berbunyi. Asisten rumah tangga tergopoh memberi tahu siapa yang datang. Sebagai tuan rumah yang baik dia tetap harus menemui tamu tersebut walau dengan hati kesal. "Pagi tante... Apa kabar?" Seorang lelaki tampan menyapanya, berjalan mendekatinya dan mencium tangannya sebagai tanda kesopanan. "Alhamdulilah baik, seperti yang kamu lihat. Ada apa? Mau apa kemari?" "Mawar, bagaimana keadaannya tante? Semalam saya lewat dan..." "Mawar baik-baik saja. Sekarang sedang istirahat di kamarnya. Memang agak shock tapi syukurlah dia sudah tenang." "Boleh saya menemuinya, tante?" "Maaf, Aufar. Bukannya tante melarang, tapi Mawar saat ini butuh ketenangan. Lebih baik kamu pulang ya. Bisa datang beberapa hari lagi kalau Mawar sudah tenang." Tolak Bu Hartono dengan halus. Lelaki muda di hadapannya ini, dulu sempat dia gadang-gadang akan menjadi menantu yang bisa menggantikan suaminya. Tampan, pintar, dan mereka punya hubungan bisnis. Sayangnya ternyata Mawar dan Aufar tidak berjodoh. Aufar tahu diri, dia tidak mau memaksa. Diberikannya paper bag yang dia bawa, berisi cake coklat ganache kesukaan Mawar. Dan kemudian dia pamit. Sebelum masuk mobil, sempat dilihatnya kamar Mawar di lantai dua yang masih terlihat gelap. Gordyn belum dibuka pemilik kamar. Mungkin dia memang sedang istirahat. Gawai sang mama bergetar. Diliriknya nama yang tertera di ponsel. Haa... ingat juga dia untuk menelpon! Panggilan dari orang yang sangat dia tunggu kabarnya selama lima hari ini. "Hallo... Assalamualaikum... Tumben menelpon. Ingat rumah? Ingat kalau kamu punya keluarga? Punya mama papa, punya kakak adik, punya keluarga, Edelweiss Hartono binti Hartono?" Terdengar suara deheman dari lawan bicaranya. "Waalaikumusalam mamaku yang cantik jelita... Jangan marah gitu sih mah. Edel gak nelpon salah, Edel nelpon salah juga. Mama maunya gimana sih? Katanya Edel harus rajin memberi kabar. Ini udah nelpon loh mah." "Mama bilang kan rajin memberi kabar itu artinya tiap dua atau tiga hari sekali Edel! Bukan seminggu seperti ini. Terakhir kamu menelpon kapan coba? Seminggu yang lalu kan? Pas kamu lagi di Mentawai. Terus katanya kamu mau ke mana itu... Ke Jambi? Ini sekarang di Jambi?" "Iya mah, Edel lagi di Jambi sama teman-teman. Dekat kan gak sampai dua jam naik pesawat ke Jakarta mah." Tapi tentu saja Edel tidak menyebut lokasi tepatnya di mana, bisa pingsan mamanya jika tahu. "Mama gimana kabarnya? Papa, Kak Mawar, Keny..." "Kami semua baik-baik saja, kecuali kakakmu. Tadi malam dia..... ..." Sang mama bercerita tentang kejadian semalam pada anak keduanya. Semua yang dia tahu dia ceritakan. "Kejadiannya di mana mah? Berengsek tuh berandalan. Anak mana yang berani gangguin Kak Mawar mah, biar Edel yang urus dari sini." "Itu loh sebelum rel kereta seberang kali yang mau ke perumahan kita, di jalan itu..." Bu Hartono menyebutkan nama jalan dan lokasi kejadian nahas yang dialami Mawar. "Lah itu kan memang daerah rawan mah, sering tawuran juga, Kenapa kakak nekat lewat situ sih padahal sudah malam?" "Kamu tanya sendiri saja kalau pas pulang. Makanya kamu segera pulang." "Iya mama... Edel akan secepatnya cari tiket ke Jakarta ya mah." "Eh, Edel, kamu kenal Ilyas? Dia yang menolong Mawar semalam." "Ilyas?" "Iya, yang menolong kakakmu namanya Ilyas. Pas lewat depan foto keluarga kita, dia mengenalimu. Dan bertanya apakah ini Edelweiss? Sambil menunjuk fotomu." "Ilyas yang kembar mah?" "Mana mama tahu dia kembar atau enggak. Emangnya dia punya kembaran?" Mata sang mama berubah semakin bersinar. "Iya ada mah, namanya Yasa. Mereka satu SMA kan bareng Edel. Ya udah ya mah, Edel udah dipanggil tuh." "Kalau begitu mama semakin yakin dengan keputusan mama." "Keputusan apa tuh mah? Kenapa perasaan Edel jadi gak enak sih mah?" "Mama sudah putuskan untuk menjadikan Ilyas atau kembarannya jadi menantu mama." "Eeh buseet deh mah..." "Cepat pulang ya Edel, mama kangen kamu, nak. Jangan lari terus. Kamu harus bisa hadapi kenyataan." "Iya mah..." "Ah ya, Edel sebentar, tadi Aufar ke sini, mama takut nanti dia nekat mau ketemu Mawar." "Apaaa? Berani Aufar sakiti kakak lagi, aku gak akan segan-segan mengirimnya ke rumah sakit mah, kaya dulu." "Makanya kamu cepetan pulang. Edel, bahkan suatu saat biduk pun melabuhkan sauh. Jangan pergi lagi nak, hadapi kenyataan. Kamu anak mama yang paling kuat, mama tahu kamu bisa survive." "Iya mah. Suatu saat nanti, Edel akan melabuhkan sauh. Edel janji akan tinggal lagi sama mama papa. Edel cari tiket dulu ya mah. Besok sore Insya Allah sampai Jakarta." "Kok besok sih? Katanya cuma dua jam." "Iya mah, dua jam tuh dari Bandara Sultan Thaha ke Cengkareng. Tapi dari sini ke Sultan Thaha butuh waktu berjam-jam mah, enam jam paling cepat." "Kamu lagi di bagian mana Jambi sih?" "Di Taman Nasional Bukit 30 mah. Doakan cuaca cerah besok jadi jalanan bersahabat." "Taman Nasional Bukit 30? Kamu lagi bersama Suku Anak Dalam? Edel..." "Udah ya mah...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD