Part 3 Mencari Pekerjaan

1327 Words
"Seorang ibu rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk sang buah hati." "Sudah tidak apa-apa dengan Aina, Bu Hayu. Tenang saja," ucap Alam setelah Hayu mendatangi rumahnya. "Apakah Aina akan baik-baik saja? Apakah Aina perlu dirawat di rumah sakit?" Hayu bertanya secara beruntun. "Ibu Hayu..." panggil Alam lembut sambil menepuk bahu Hayu pelan. "Eh, iya Dok. Ada apa?" Hayu tergagap. "Tidak terjadi apapun dengan Aina. Dia hanya kelelahan saja." "Wah syukurlah. Saya terlalu panik tadi." Ya, Hayu memang panik luar biasa saat melihat tubuh Aina yang kedinginan. "Lihatlah sekarang dia tertidur dengan nyenyaknya. Ibu Hayu tak perlu khawatir." Alam menghampiri Aina yang tertidur di ruang praktek pribadinya. "Kalau begitu biar saya membawa Aina pulang. Saya akan menggendongnya." Hayu berusaha menggendong Aina. Namun, lengannya dicekal oleh Alam. "Bagaimana ibu bisa membawa Aina pulang jika kaki ibu terluka?" tanyanya dengan panik. Hayu baru menyadari jika kakinya terluka karena tidak memakai sandal saat ke rumah Alam. "Sini saya bantu untuk mengobati kaki ibu." Alam menggandeng tangannya dan menyuruhnya duduk. "Tidak usah Dokter. Saya bisa mengobatinya sendiri," ujarnya agak risih saat Alam melihatnya. "Apa ibu ingin Aina bersedih jika mengetahui kaki ibunya terluka karenanya?" Hayu menggeleng. Alam mengobati dan mengolesi salep untuk kaki Hayu yang lecet. Seketika Alam mengingatkan Hayu kepada Bayu sang mantan suami sebelum mereka menikah. "Terima kasih Dokter," ucapnya setelah Alam selesai. "Jangan panggil saya dokter, Bu. Panggil saja saya Alam. Saya Alam Pramudya Syah." "Kalau begitu jangan panggil saya ibu. Panggil saja saya Hayu. Nama saya Lembayung Litahayu Senja." Hayu memperkenalkan diri. Mereka saling terdiam beberapa saat ketika suara Aina memanggil Hayu dalam tidurnya. "Apa Aina tahu siapa ayahnya, Hayu?" Alam sudah berbicara informal kepada Hayu. "Sejak dia lahir dia tak pernah tahu ayahnya," jawab Hayu pelan agar tidak terdengar oleh Aina. "Maaf jika saya sedikit lancang, Hayu. Apa karena penyakit dan kekurangannya yang menyebabkan ayahnya tak mau menerima Aina?" tanya Alam dengan sopan. Alam sudah tahu dengan pasti. Ia pernah mengambil kuliah bagian psikolog dulu. "Iya. Bukan hanya suamiku saja, tetapi seluruh keluarga suamiku," tuturnya dengan getir mengingat masa lalu. "Aku rasa kami harus pulang, Alam. Ini sudah hampir pagi. Aku takut ada orang-orang yang bergosip." Hayu berpamitan untuk mencegah agar semua orang tak berprasangka buruk terhadap dirinya yang berada di rumah seorang pria. "Jangan khawatir, Hayu. Satpam depan rumah dan pelayanku tahu kamu ada di sini karena Aina yang sakit. Kau tak perlu resah terhadap orang-orang." Alam memberikan segelas teh hangat. "Kau bekerja di mana, Hayu?" "Aku berhenti dari tempat lamaku karena upahnya tak sesuai," ucap Hayu dengan mengaduk teh di tangannya. "Jadi kau akan mencari pekerjaan lainnya?" "Iya tapi belum dapat panggilan." "Adik sepupuku membuka sebuah kafe. Aku rasa dia membuka lowongan sebagai pelayan kafe. Jika Hayu berminat aku akan menghubunginya." "Benarkah?" katanya senang dengan mata yang berbinar. "Iya. Aku akan segera menghubunginya jika Hayu berminat." "Baiklah Dok, maksud saya Alam," katanya dengan gugup. Sementara itu Alam malah tersenyum manis ke arah Hayu. "Nanti sore aku akan mengajakmu ke sana." Alam bangkit berdiri dan memeriksa detak jantung Aina. "Sarapanlah dulu sebelum kalian pulang. Aku yakin Aina merasa lapar. Benar begitu Aina?" Ternyata gadis kecil kesayangan Hayu sudah bangun sedari tadi. Hayu sedikit lega saat melihat kondisi Aina yang mulai membaik meskipun rasa dingin masih menyelimuti tubuhnya. ***** "Terima kasih Om Dokter." Ucapan terima kasih Aina kepada Alam setelah mengantarkan mereka pulang. "Iya sama-sama Aina." Alam mengelus rambutnya. "Masuk ke rumah Aina yuk Om Dokter." Aina mengajaknya masuk sambil memegang jemari Alam. "Om Dokternya mau pergi, Aina. Lain kali saja," bujuk Hayu kepada Aina yang agak rewel. "Jika Om tidak sibuk. Om main ke rumah Aina, ya." Hayu berkata sambil menurunkan Aina dalam gendongan Alam. "Janji Om." Aina mengaitkan jari kelikingnya ke arah Alam. "Iya Om janji." Aina segera belari masuk ke rumahnya dengan senang. "Maafkan Aina, ya, Alam." "Tidak apa-apa Hayu." "Nanti sore aku jemput kamu, ya. Ajak juga Aina. Aku akan mengajakmu ke tempat sepupuku," katanya antusias. "Iya Alam. Terima kasih." "Oh, ya sudah aku pulang dulu," pamit Alam berbalik arah. "Alam ...." panggil Hayu menyebut nama Alam. "Iya ada apa Hayu?" Alam berhenti dan menoleh. "Bagaimana dengan sandalmu yang aku pakai?" tanyanya dengan mengamati sandal yang dipakainya. "Pakai saja Hayu. Aku masih punya banyak di rumah," ujar Alam dengan menahan tawa melihat mukanya yang polos. Alam memperhatikan Hayu yang masuk ke rumah barunya. Baru kali ini dia merasakan debar jantung saat melihat seorang wanita. Ah perasaan apa ini? Apakah dia sedang jatuh cinta? ****** Hayu dan Aina segera menyiapkan diri saat melihat Alam sudah menjemputnya di depan rumah untuk melihat tempat kerja Hayu yang baru. "Wah ini mobilnya Om Dokter, ya?" Aina antusias melihat mobil yang dipakai Alam. "Iya Aina. Naik, yuk." Alam menaikkan Aina ke dalam mobilnya. "Aina boleh lihat TVnya, Om?" tanya Aina dengan sopan melihat mobil Alam yang terpasang TV kecil. "Tentu saja. Om nyalakan." "Aina jangan merepotkan om dokternya, Sayang," celetuk Hayu yang resah atas sikap anaknya. "Ya, ibu. Aina juga ingin melihat tv di mobil seperti teman- teman Aina." Aina kesal mendengar perkataan ibunya. "Tidak apa-apa Hayu. Perjalanannya mungkin akan membuat Aina bosan jadi lebih baik menonton saja. Benar kan Aina?" Serasa dapat dukungan Aina merasa menang karena pada akhirnya dapat menikmati tv yang sama seperti milik temannya di sekolah. Entah ada apa dipikiran Alam saat ini. Dia merasa ada sesuatu dentuman aneh di dadanya ketika pertama kali Alam melihat Hayu pindahan rumah. Tidak terasa setengah jam perjalanan yang mereka tempuh akhirnya tiba di tempat tujuan. Decak kagum tak hentinya dilontarkan dari bibir kecil Aina. "Selamat datang di Cozy Tradition Cafe," sapa sang resepsionis saat melihat mereka duduk. "Niar, ibu ada di sini?" tanya Alam kepada Niar sang resepsionis cafe tersebut. "Ada Tuan. Sebentar saya akan panggilkan." Niar segera meninggalkan mereka dan memanggil sang pemilik. Tak lama seorang wanita muda muncul dari anak tangga. Senyumannya merekah saat melihat siapa yang datang di kafenya sore ini. "Mas Alam, tumben sekali Mas datang ke tempatku. Biasanya DO saja," guraunya sambil menyalami Alam. "Memangnya Mas tidak boleh datang,ya," canda Alam sembari mencari tempat duduk. "Boleh saja sih Mas. Tapi ini siapa Mas?" Menoleh ke arah Hayu dan Aina. "Ini yang aku ceritakan sama kamu, Dek. Bolehkan temannya Mas bekerja di sini?" "Hai ... namaku Arimbi Swastika Sari. Panggil saja Arimbi." Arimbi mengenalkan diri. "Namaku Lembayung Litahayu Senja. Cukup panggil Hayu saja, Mbak," jawab Hayu dengan memberi salam. "Namaku Aina, Tante cantik," celoteh Aina tanpa disuruh. "Aduh cantiknya kamu, Nak." Arimbi mengelus pipi Aina seakan gemas. "Bagaimana, Dek? Bisakah Hayu bekerja di sini?" pinta Alam yang sedari tadi dicuekin. "Bisa kok Mas. Kebetulan Niar mulai besok sudah tidak bekerja di sini lagi. Hayu bisa menggantikan Niar mulai besok," jawabnya yang membuat Hayu senang. "Wah syukurlah," kata Alam sambil mengucap syukur. "Terima kasih Mbak," sahut Hayu. "Jangan panggil aku Mbak. Kita pasti seumuran, kan. Panggil saja nama," kata Arimbi sambil beranjak berdiri. Aina merasa gelisah dan memegang perutnya yang berbunyi. "Ibu, Aina lapar." Aina berkata dengan polosnya. "Nanti kita makan di rumah, ya. Aina masih belum boleh makan nasi. Maagnya Aina nanti sakit lagi," sahut Hayu yang langsung membuat Aina cemberut. "Sebentar tante ambilkan bubur ayam, ya, Cantik." Arimbi sambil memanggil pelayannya untuk menyiapkan bubur. "Tidak usah Arimbi," cegah Hayu yang sungkan. "Tidak apa-apa, Hayu. Adekku ini orangnya baik banget sampai-sampai dijahatin sama mertuanya saja dia diam," kata Alam menahan kesal. Alam mengganggap Arimbi terlalu lemah. "Mas Alam jangan seperti itu donk. Aku kan jadi malu." Arimbi berkata dengan membawa senampan bubur ayam. "Terima kasih Tante cantik." "Ayo sini Tante suapin." Arimbi senang menyuapi Aina yang seperti anaknya sendiri. "Hampir tujuh tahun dia menikah. Arimbi dan suaminya tak dikarunia seorang anak padahal mereka dalam keadaan sehat," bisik Alam pelan. Ada rasa kasihan di benak Hayu melihat Arimbi yang menginginkan seorang anak dalam pernikahannya. Mungkin Tuhan belum berkehendak. Tak semudah menaklukan hati seorang Aina. Hanya Alam dan Arimbi yang dapat membuka hati kecil Aina yang pemalu. Hayu terkekeh saat melihat kepolosan anaknya yang begitu lahap memakan buburnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD