Part 1 Kesedihan Hayu

1256 Words
Sebuah mobil putih memacu lajunya dengan cepat. Ada seorang wanita yang hendak melahirkan. Erangan kesakitan terpancar di wajahnya. Ia merasa kalut dan cemas, ini pertama kali bagi dirinya melakukan persalinan. Tak ada sanak keluarga yang menemani. Sang suami yang sedang bertugas di luar kota. Sedangkan sang mertua tak tinggal satu kota dengan dirinya. "Sebentar lagi kita sampai, Bu." Seorang perawat wanita tak tega melihatnya yang sudah bercucuran dengan keringat. Digenggamnya tangan wanita tersebut untuk memberi kekuatan. Jalanan yang tak begitu padat membuat mobil tersebut cepat sampai di rumah sakit. "Harap beri jalan semuanya." Mereka langsung membawa wanita berwajah pucat itu ke tempat yang seharusnya. "Cepat hubungi dokter Yuni dan dokter Alam." "Ibu Hayu, anda mendengar saya?" Hayu mengangguk. Ia mendengar semua yang dikatakan perawat itu, tetapi rasa sakit akan melahirkan membuatnya tak bisa berbicara. "Saya sudah menghubungi suami ibu. Sebentar lagi bapak menuju ke sini." Suster Ayuti yang setia mendampingi sejak di rumahnya selalu memberi perhatian dan kekuatan. "Terima kasih," ujar Hayu dengan lirih. Suster Ayuti terus menggenggam tangan Hayu hingga berada di ruang operasi. ***** "Selamat Ibu Hayu. Anaknya cantik." Suster Yuti mengantarkan anak yang dilahirkan Hayu hari ini di dalam dekapannya. Ada rasa bahagia menyelimuti relung hati Hayu sekarang. Anak yang selama ini dia nantikan akhirnya terlahir dengan selamat. Hayu mengusap lembut kening sang putri. Ia sudah menjadi seorang ibu kini. Dipandanginya sang putri dengan senyum. Namun, ada sesuatu yang aneh. "Dok, ada apa dengan anak saya?" tanya Hayu menyadari bibir anaknya mulai membiru dan tubuhnya dingin. Dokter Alam memeriksa keadaan bayi Hayu dan terkejut saat sang bayi mulai menunjukkan tanda yang serius. Dokter Alam segera menggendong bayi yang masih kecil dan membawanya ke inkubator untuk menghangatkan tubuh kecilnya. "Ada apa dengan anak saya, Dok?" tanya Hayu dengan panik sembari turun dari ranjangnya. "Maaf, Ibu. Ibu tidak boleh bergerak dulu," sergah Suster Yuti mencekal lengan Hayu. "Tapi suster ..." Hayu semakin panik. "Kami akan mengurus bayi anda. Tenang saja." Para suster segera meninggalkan Hayu yang masih menangis. Hanya Suster Yuti yang menemaninya. "Kamu di mana, Mas Bayu?" lirih Hayu pedih. ***** "Aku ingin kita cerai, Hayu." Perkataan yang secara tiba-tiba membuat Hayu terhenyak. "Tapi mengapa, Mas?" "Ibu tidak bisa menerima kehadiran anak yang kau lahirkan dalam keadaan tak sempurna." Bayu tak berani memandang wajah istrinya. "Hanya karena itukah ibu tidak bisa menerima kehadiran Aina?" "Maaf Hayu. Aku tidak bisa menolak keinginan ibu. Kau tahu sendiri ibuku adalah orang yang sangat aku sayangi," kata Bayu tanpa mengetahui perasaan sedih Hayu. "Baiklah jika itu yang Mas inginkan. Ceraikan aku." Hayu beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dengan menangis. Baru usia tiga bulan si kecil Aina dilahirkan, tetapi sang suami--Bayu menginginkan perceraian. Ia merasa terluka ketika keluarga suaminya tak menginginkan Aina hanya karena anaknya terlahir tak sempurna. **** Namanya Lembayung Lituhayu Senja. Dia adalah ibu dari seorang anak gadis berusia tujuh tahun. Aina Atmariani Danastri adalah putri kecilnya. Sesuai namanya dia adalah bidadari kecil yang cantik. Tepat hari ini tujuh tahun yang lalu Aina didiagnosa lemah jantung. Sepanjang hidupnya dia ditunjang oleh obat-obatan. Karena penyakitlah ayah maupun neneknya tak bisa menerima kehadirannya. Ketika Hayu melahirkannya tanpa seorang suami di sisinya, Aina kecil mengalami syok pada jantung yang menyebabkan tubuhnya dingin dan bibirnya kebiruan. Jika teringat hal itu sakit rasanya di ulu hati Hayu. "Ibu menangis lagi?" Tangan kecilnya menghapus air mata yang jatuh di wajah Hayu. "Tidak, Sayang. Ibu habis mengupas bawang merah," ujarnya yang memang memotong bawang merah. "Jangan menangis, Bu. Ada Aina di sini." Putri kecilnya memberi pelukan hangatnya. ***** "Aku harap mulai besok kau tidak di sini lagi, Hayu." Ucapan sang kakak-Prasetyo menohok hati Hayu. "Kenapa, Mas? Apa salah Hayu?" Suara Hayu tercekat menahan tangis. "Kamu tidak salah apapun Hayu. Hanya rumah ini sudah dibeli oleh ayah mertuaku untuk melunasi semua biaya pengobatan Aina yang kau pinjam dari mbakyu-mu." Hayu melihat mata kakak iparnya--Sekar yang tak mau melihatnya. Seakan-akan Hayu adalah benalu. "Aku akan bekerja, Mas dan akan membayar semua hutangku kepada Mbakyu Sekar," kata Hayu penuh keyakinan. "Atau aku akan membayar uang bulanan asal Mas mengijinkan aku dan Aina tinggal di sini," kesahnya kepada Pras yang diabaikan. Pras melirik ke istrinya yang tak memberi komentar apapun. Menatap Hayu saja tidak mau. "Maaf Hayu. Aku sudah berjanji kepada ayah mertuaku untuk hal ini." Pras meyakinkan. "Tapi Mas---" Hayu mulai menangis. "Aku tidak tahu ke mana. Ini rumahku juga," isaknya. "Ini sudah bukan rumahmu, Hayu! Tidakkah kamu paham?" kesal Sekar dengan membentak Hayu. "Ini uang hasil dari penjualan rumah ini. Uang itu cukup untuk kebutuhan selama beberapa bulan." Sekar melempar uang ke atas meja. "Mas ijinkan Hayu dan Aina tinggal di sini." Hayu memohon dan bersimpuh, tetapi tak digubris oleh Pras maupun Sekar. "Maaf Hayu. Mas tidak bisa membantumu," ujar Pras pergi menjauh. Hayu menangis dan menahan sesak di d**a. Dia tak mau anaknya mendengar suara tangisannya. ***** "Ibu kenapa paman dan bibi marah?" Tangan kecil Aina menghapus air mata Hayu. "Paman dan bibi tidak marah dengan ibu, Nak." Hayu menjawabnya sambil menggendong Aina ke kamar. "Bibi jahat ya, Bu?" Kesal Aina sambil memajukan bibirnya. "Tidak kok, Nak. Bibi Sekar tidak jahat. Bibi malah memberi ibu uang banyak," kata Hayu menutupi kenyataan. "Oh,ya Nak. Besok kita cari tempat tinggal baru, ya?" tawar Hayu kepada Aina. "Mengapa, Bu? Ini, kan rumah Eyang," katanya dengan polos. "Karena tempat kerja ibu terlalu jauh dari sini. Nanti ibu tidak bisa pulang cepat." "Apakah Aina akan memiliki banyak teman?" tanyanya dengan tatapan khas anak-anak. "Tentu saja Nak." Hayu membelai rambut panjang hitam sang anak. Hayu tak tega memberitahu yang sebenarnya. Biarlah ini menjadi tanggungjawabnya sebagai seorang ibu. Sejak Hayu diceraikan oleh suaminya tujuh tahun yang lalu dialah yang bekerja. Tak peduli kerja apa yang diambilnya asal halal untuk mereka. Selama tujuh tahun Aina tak pernah mengenal ayahnya. Pernah sang buah hati bertanya kepadanya mengapa dia tidak memiliki ayah seperti temannya. Hayu hanya menjawab bahwa ayahnya masih kerja di tempat yang jauh dan belum bisa pulang. Agaknya Aina memahaminya dan tak pernah bertanya lagi. Hayu tahu mungkin putri kecilnya ingin bertanya lagi tapi tak pernah dia tanyakan. "Suatu hari nanti aku akan memberitahunya," janji Hayu. Besok mereka harus angkat kaki dari rumah masa kecilnya. Sang kakak tidak berani menolak keinginan istrinya ketika Sekar mengusirnya. Hayu tahu Pras sudah tak memiliki kuasa dalam hidupnya. "Tuhan bantu aku esok." ***** Di sinilah Hayu sekarang mencari tempat untuknya tinggal. Sebuah tempat di sebuah pelosok pertengahan kota. Rumah yang bersih dan sejuk menjadi tempat tinggalnya yang diperoleh dari sahabat dekatnya, Rinjani. "Aina, ibu akan membeli bahan makanan. Apa Aina mau ikut ibu? tanya Hayu saat melihat anaknya melamun. "Iya Bu. Aina ikut." Aina beranjak dari tempat duduknya di teras. "Aina tidak suka ya di rumah ini?" selidik Hayu. "Aina suka kok," ujar Aina bohong. Mereka berjalan dengan menggandeng tangan menyusuri jalan setapak. Tibalah mereka di sebuah minimarket terdekat yang menyediakan berbagai macam kebutuhan. "Ibu orang baru di sini, ya?" kata sang kasir setelah Hayu selesai memilih barang. "Iya Bu. Perkenalkan nama saya Hayu. Ini anak saya Aina," ucap Hayu memperkenalkan diri dengan sopan. "Selamat datang, ibu Hayu. Saya ibu Rengganis. Saya pemilik minimarket," balasnya memperkenalkan diri. "Oh,ya ngomong-ngomong di mana suaminya?" selidiknya ingin tahu. Perkataan itulah yang tak ingin Hayu jawab. "Ayah Aina sudah meninggal." Aina kecil menjawabnya dengan lantang. Ibu kasir terhenyak sejenak. "Oh maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu," ujar ibu kasir pelan. "Tidak apa-apa Bu," jawab Hayu dengan nada pelan. Setelah Hayu keluar dari minimarket semua ibu-ibu yang di sana bergosip mengenai Hayu yang ditinggal mati oleh suaminya. Ada yang percaya ada juga yang tidak percaya. "Nak, kenapa Aina mengatakan jika ayah Aina meninggal?" tanya Hayu sambil berjalan. "Memang Aina tidak mempunyai ayah kok. Kata teman Aina kalau ayahnya pergi maka itu artinya meninggal." Aina tak berani menatap mata Hayu, menunduk ke bawah. "Aina tidak masalah kok Bu jika Aina tidak mempunyai ayah asal Aina tinggal dengan ibu," ujarnya sambil menitikkan air mata. Hayu tak dapat lagi berkata apapun. Dia segera berjongkok dan memeluk Aina di dalam dekapannya. Hayu tak menyadari jika ada seseorang yang mulai mendekat dan melihat pemandangan ibu dan anak yang saling memeluk. "Ibu Hayu ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD