Akhirnya, ia melihatnya lagi. Ia melihat gerak matanya. Ia melihat cara jalannya. Ia melihat sepuasnya karena hampir dua tahun ini ia tak pernah melihatnya. Dua tahun bukan waktu yang sebentar bukan? Apalagi perpisahan yang terjadi bukan karena kehendak diri tapi sebuah kewajiban. Jika memang perpisahan adalah jalan terbaik di antara mereka, maka apakah ada pilihan lain? Ya ada banyak pilihan lain. Hanya saja, pilihan lain tidak memungkinkan.
Rindu? Iya. Jangan ditanya. Sayang? Mungkin masih ada walau sedikit. Bagaimana pun Adit pernah memenuhi ruang hatinya. Walau kini, sudah berbeda. Waktu dua tahun jadi tak sebanding dengan kebersamaan mereka dulu. Yang berakhir dengan keterdiaman dan menjadi jawaban ketika Adit sudah tak sama. Ia tak sedang belajar menerima tapi hatinya kini telah terbiasa hampa. Tak akan ada sesuatu yang terjadi melebihi rasa kasih dan sayang terhadap teman. Status yang terperangkap dalam zona nyaman yang awalnya tak mau pergi akhirnya dibuat kecewa ketika dicintai dengan lebih namun tak bisa membalasnya dengan seimbang. Perasaan yang sempat disesali kenapa tak menerima saja saat itu. Karena ia malah pergi. Tapi mungkin ini yang terbaik. Walau ia sendiri pun masih tak paham. Cinta seharusnya tak sepahit ini bukan? Namun ini lah kelunya takdir. Di mana selalu ada hikmah dibalik derita. Karena begitu lah cara Tuhan menergur san mencintai hamba-Nya.
Pun kebersamaan dua orang itu. Ia kembali melihatnya lagi. Ia... cemburu? Tak salah kan? Namun entah kenapa, kini porsinya berkurang. Apa mungkin karena ia telah terbiasa tak melihatnya lagi dalam dua tahun ini? Atau mungkin pelariannya berhasil? Aah tidak juga. Nyatanya, ia masih merasakan sakit itu. Sakit direlung hati yang entah kapan akan sembuhnya.
Agak sakit hati sih. Tapi mau bagaimana lagi? Ia pun tak berniat mengubah keadaan. Walau ia tahu, Adit tak kan begitu. Adit tak akan mengabaikannya lagi. Karena toh sejak awal, ia yang ingin berdamai lagi. Tapi ia membawa harapan lebih saat itu--saat ia memutuskan untuk kembali. Apa? Sebuah kasih sayang yang sama dari Adit untuknya. Harapan yang terasa seperti mimpi bukan? Dikala realita tak lagi sama karena siapa pun bisa berubah. Dan itu memang tak pernah terjadi lagi. Adit telah memilih hati perempuan lain. Keputusan yang akhirnya diambil adalah menjadi dua orang asing yang tak pernah kenal satu sama lain. Barang kali memang itu lah yang terbaik. Karena ia pun tak kan mampu tersenyum lagi pada Adit jika harus seperti dulu. Entah itu kembali atau mungkin tetap berpisah seperti saat ini. Namun sepertinya, jalan berpisah seperti ini memang lah yang terbaik.
"Adit ngobrol sama siapa sih?" tanya Tommy. Hal itu spontan membuat para perempuan di dekatnya yang juga sedang bersandar dikap mobil mendongakan kepala demi melihat Adit di kejauhan sana. "Mantan?"
Tentu saja kedua perempuan di dekatnya itu tak punya jawaban. Yang satu menatap dengan datar tapi hatinya agak pilu. Sementara yang satunya malah sangat penasaran. Tapi ia tak bisa melihat wajah perempuan itu karena tertutupi kacamata hitamnya. Dan lagi, jarak yang begitu jauh membuatnya tak begitu jelas melihat wajah itu. Namun ia bisa menebak jika keduanya pasti lah saling mengenal. Tapi ada hal yang mengusiknya. Apa?
Adit yang tampak lesu menatap punggung perempuan yang pergi menjauh itu.
@@@
Adit. Lelaki itu sedikit berubah. Mungkin fisiknya atau juga hatinya? Ah, Dina tak berani menerkanya. Ia juga tak berniat menyentuhnya lagi. Ia ingin menutup semuanya. Seperti sebuah buku yang ada akhirnya. Maka ia menganggap kejadian dua tahun lalu adalah ending dari sebuah buku yang menulis kisah cintanya dengan lelaki itu. Artinya, tak ada lagi kisah yang bersambung di antara mereka. Namun ia lupa jika bisa ada buku selanjutnya, melanjutkan kisahnya yang tertunda dengan awal yang baru. Tapi kini biar lah. Dina hanya ingin tenang. Walau tak sepenuhnya tenang. Karena tak pernah ada maaf dari tatapan Fasha. Gadis itu masih membencinya. Dan ketika mengingatnya, ia hanya ingin segera pergi dari Adit. Seperti tadi. Walau rasanya belum ingin. Ia masih ingin tetap tinggal. Mungkin seperti dulu? Meski tak pernah lebih. Tapi Di na tak berani berharap. Karena berharap hanya akan membuatnya sakit. Apalagi tak semua harapan bisa dikabulkan. Namun ia tetap harus bersyukur. Karena sepertinya Adit baik-baik saja. Makin baik malah. Walau ia tak memerhatikan seutuhnya tapi ia bisa melihat perubahan sedikit. Lelaki itu tak sekurus dulu lagi. Kini agak berisi walau tak gemuk juga. Malah terlihat gagah dengan proporsi tubuh yang bagus. Mungkin karena rajin olahraga, pikirnya. Kulitnya pun menghitam. Ah, gak yang hitam-hitam amat. Karena malah terlihat sangat maskulin. Makin manis. Makin ganteng. Hal yang tak disadari Dina jika itu membuatnya tersenyum.
Jika mengingat perubahan ini, bukan kah dua tahun terasa singkat? Karena ia kembali dipertemukan dengan lelaki itu?
Terakhir, ada yang tak pernah berubah dari Adit. Apa? Tatapan matanya. Dina sadar sepenuhnya saat menatap lelaki itu tadi. Tatapan itu mengingatkannya pada kejadian terakhir mereka bertemu. Hari yang paling kacau menurutnya. Hari yang paling menyedihkan karena harus mengusir Adit pergi dari hidupnya. Kini? Ah, ia ingin tetap sama walaupun berat. Barangkali dengan seperti ini, akan sedikit membuat Fasha membuka hatinya. Mungkin sedikit senyum walau tak pernah ada maaf. Bagi Dina itu cukup.
Karena seperti yang pernah Dina ingat di dalam hatinya. Kalau Fasha itu lebuh penting untuknya dibandingkan dengan Adit.
"Papa mana?" tanya Mamanya. Ia baru saja hendak membuka pintu mobil. Dan Mamanya muncul dari belakang.
"Masih di sana, Ma," tuturnya. Mamanya mengangguk lantas berjalan kembali menuju pemakaman untuk menyusul suaminya. Mereka harus segera kembali karena beberapa suadara pun sudah kembali ke hotel. Ia juga butuh istirahat karena cukup lelah dengan urusan ini sejak kemarin. Walaupun rasa lelah itu baru terasa sekarang. Sementara Dina masih memikirkan pertemuan barusan. Dari sekian tempat, kenapa harus pemakaman? pikirnya.
@@@
Mood Adit memburuk seketika. Sejak gadis itu pamit lebih dulu, ia merasa jika gadis itu menghindarinya. Walau awalnya, sapanya dibalas dengan ramah. Bahkan tersenyum sedikit pula. Tapi tetap saja untuk hati Adit yang tak pernah berubah, ia agak terluka. Seakan tak pernah cukup karena dua tahun tanpa pertemuan.
Adit menghela nafas. Ia berjalan menuju mobil dengan muram. Rekan-rekan satu timnya saling bersenggolan, melihat perubahan mood Adit yang begitu cepat. Dengan terburu-buru ketiganya ikut masuk ke dalam mobil begitu Adit membuka pintu mobil dan tanpa sadar membanting pintu ketika menutupnya.
Di dalam mobil, suasana hening seketika. Ini seperti keadaan yang sama ketika Adit kecewa pada anggota timnya yang tidak tampil prima atau malas-malasan. Kini Tommy, Rena dan Indriana saling menatap horor. Kalau sudah seperti ini, Adit lebih parah dari Husein. Walau Indriana belum begitu mengenal cara bekerja Adit tapi mendengar banyak cerita dari Rena, ia jadi paham Adit bekerja seperti apa. Cowok itu hanya akan bicara seperlunya ketika ia memimpin tim. Ketika tim berbuat kesalahan, ia tidak akan menyalahkan satu orang pun secara pribadi namun ia akan mengambil tanggung jawab kesalahan itu. Disisi lain, ia sudah pasti menasehati berbagai macam hal agar sisi yang salah atau yanh kurang dapat diperbaiki oleh masing-masing rekannya. Dan Adit akan marah jika sudah habis batas kesabarannya dalam menghadapi kinerja rekan-rekannya yang agak bebal dan susah diarahkan. Walau setelah itu, ia akan meminta maaf. Terakhir, ini bagian paling horor menurut Rena dan Tommy di mana Adit sangat sering terlihat dingin dan cenderung emosi tanpa sebab. Mood-nya mudah sekali berubah dan ketika itu terjadi, tak ada satu pun yang berani berhadapan dengannya. Dan jangan sekali-kali membuat kesalahan ketika ia sedang menjadi singa seperti itu. Karena ia akan menerkam siapa saja.
"Eung, Dit, bukannya kita harus balik ke kantor ya?"
Adit tersadar. Ia hampir mengambil jalan yang salah. Ia bahkan sudah tak bisa berpikir hingga mengambil jalan apa saja dan tanpa arah. Kemudian ia memutar lagi kemudinya menuju kantor. Sejujurnya ia sudah tak berminat untuk bekerja. Apalagi mukanya sudah suntuk. Rasanya ia ingin kembali ke waktu tadi. Masih berbicara. Masih berjalan bersama. Bahkan ke waktu dulu. Ia ingin seperti dulu. Tapi sayangnya, ia pernah diminta pergi. Hal ini lah yang membuatnya tak berani melangkah lagi. Tapi ia merasa sepengecut ini. Kemudian ia marah tiba-tiba. Hal yang membuat mood-nya turun drastis. Bahkan mobilnya mencicit ketika nyaris menabrak mobil di depannya. Tommy, Rena dan Indriana kompak teriak hingga hampir jantungan. Benar-benar akan kehilangan nyawa andai Adit tak mengerem dengan kuat.
"Sorry," tuturnya. Agak merasa bersalah karena keegoisannya sendiri. Marah sih boleh saja. Tapi jangan mengorbankan sekitarnya.
"Dit! Gue aja yang nyetir!"
Indriana menawar. Ia hendak keluar tapi Adit sudah menginjak pedal gasnya lagi. Sementara Rena langsung melotot ke arah Indri, nama panggilannya. Gadis itu cuma memasang tampang jengkel. Kan ia juga khawatir kalau Adit tak berhati-hati seperti tadi. Ia heran juga akan sikap Adit yang berubah drastis. Mood-nya gampang turun. Biasanya karena pekerjaan. Tapi ini? Rasanya mereka baik-baik saja. Tak ada yang membuat masalah.
"Lo bau kali, Dri, makanya Adit jadi bete!"
Tommy asal ceplos saat mereka sudah tiba dengan selamat di kantor. Sementara Adit malah pergi lagi entah kemana. Rena malah terkikik mendengar kata-katanya Tommy.
"Iih! Enak aja! Gue tuh selalu pakek parfum yang banyak ya!"
"Saking banyaknya jadi enek kan tuh si Adit!" ceplosnya lagi lantas digeplak Indri. Rena sudah tak kuasa menahan tawanya lagi.
@@@