"Urgent!"
Hanya kata itu tapi sanggup membuat Adit kelimpungan. Apalagi Ardan pergi dengan terburu-buru hingga ia harus membayar makanannya. Oke bukan itu yang penting. Yang penting adalah apa yang terjadi pada Ardan? Ke mana sahabatnya itu pergi? Apakah terjadi sesuatu? Ia jadi was-was. Benar-benar takut terjadi sesuatu yang buruk pada...
Adit tak menampik jika yang ia khawatir kan memang gadis itu. Ya, mau sampai kapan pun, Adit tak akan pernah mau menyangkal jika gadis itu lah yang masih ada dihatinya. Tak perduli pula pada takdir yang kian kelu, enggan sekali mempersatukan mereka.
Ia meremas ponselnya karena Ardan tak kunjung mengangkat teleponnya. Walau sudah berkali-kali ia mencoba tapi hasilnya memang tetap sama. Tak diangkat. Selain tak diangkat, teleponnya selalu dialihkan. Itu pertanda kalau Ardan sedang sibuk menerima telepon dari orang lain.
Pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Seorang lelaki yang menjadi bawahannya muncul.
"Dit, ini ada laporan dari proyek baru yang kemarin. Katanya minta ditinjau ulang lagi desain terakhirnya."
Adit mengangguk. Ia bahkan tak menoleh sama sekali. Ia tampak sibuk sekali dengan ponselnya lantas menaruhnya ditelinga. Si lelaki yang masuk itu hanya menaruh laporan di atas mejanya lalu membalik badan dan pergi.
"Heish!" desisnya karena kali ini, teleponnya ditolak. Sepertinya benar-benar terjadi sesuatu yang darurat, pikirnya. Tapi apa?
Ia menghela nafas lantas membalik tubuh. Kemudian memutuskan untuk duduk di kursi kerjanya. Ia menaruh ponselnya di atas meja dan mulai berselancar di depan komputer. Akhirnya, ia memutuskan untuk tenggelam dalam pekerjaannya dibanding mengkhawatirkan sesuatu yang tidak jelas.
Namun satu jam kemudian, ia mulai jengah hingga tanpa sadar meneendang laci di bawah meja. Kemudian ia memutuskan beranjak dan kembali berdiri menatap jendela. Menatap lalu lintas Makassar yang padat. Di luar gedung, terasa terik sekali panasnya. Ia berkacak pinggang seraya menarik nafas dalam.
Jika ada kata cinta, mungkin terasa cukup untuk menggambarkan perasaan yang kini hampa karena kehilangan seseorang untuk dicintai. Namun tak ada kata lelah untuk hati yang kini terasa perih dengan keadaan akibat pahitnya patah hati. Ia mencoba mengatakan bahwa ini hanya lah takdir yang tiba-tiba berubah. Karena sejak awal pun, ia tak pernah menyangka jika akan ada di posisi ini. Di posisi di mana ia mencintai gadis lain.
"Dit!"
Lelaki tadi datang lagi. Pintu ruangannya kembali terbuka. Ia mengusap wajahnya kemudian membalik badan dan menatap lelaki itu dengan helaan nafas yang tampak lelah. Padahal fisiknya tak lelah. Hatinya yang lelah. Walau rasa cinta tak pernah lelah untuk menyapa hati orang yang dicintai.
"Kenapa lagi?"
Mendengar kata 'lagi' itu membuatnya nyengir. Ia mulai paham kalau Adit tampaknya tak ingin diganggu hari ini. Namun apa boleh buat lah. Ia juga mendapat mandat dari atasan yang posisinya tentu lebih tinggi dari pada Adit.
"Dipanggil Pak Doni," tuturnya.
Adit berdeham. Ia biar kan lelaki itu keluar sementara ia mengambil ponselnya lalu mengantonginya. Kemudian ia keluar dari ruangannya. Ia berjalan menuju lift. Begitu terbuka, ia hanya mengangguk-angguk disapa oleh beberapa karyawan lain. Ia hanya fokus dengan tujuannya. Begitu ia keluar dari lift, rekan-rekannya di dalam lift tadi saling berbisik. Adit sering dibicarakan. Pasalnya, awalnya mereka mengira kalau Adit adalah anak dari salah satu petinggi perusahaan. Ia terlihat sangat dekat dengan Regan. Bahkan sudah seperti anak sendiri. Apalagi saat anak perempuan Regan, selalu menempelinya setahun kemarin sebelum ia berangkat ke Belanda. Bagaimana mungkin tidak menjadi omongan? Bahkan ia digadang-gadang berpacaran dengan anak perempuan Regan yang bahkan masih SMA itu. Gosip itu tentu saja berkembang pesat di sini. Meski kini perlahan menghilang dan Adit tak tampak dekat dengan perempuan mana pun. Padahal ada beberapa perempuan di kantor ini yang tertarik dengannya.
Tampang Adit sih bukan yang ganteng-ganteng amat. Ia manis tapi berwibawa. Aura lelakinya begitu menguar apalagi kulitnya yang coklat eksotis. Ditambah posisinya yang selalu naik jabatan tiap tahun. Kinerjanya juga selalu dipuji. Ia memang dikenal sebagai lelaki pekerja keras. Tak heran kalau banyak perempuan yang menyukainya meski wajahnya terlihat biasa-biasa saja.
"Silah kan masuk Pak Adit," tutur sekretaris Pak Doni ketika Adit tiba di depan ruangannya. Adit hanya mengangguk. Ia tak begitu memerhatikan gadis yang tiba-tiba berdandan karena tahu ia akan datang. Bagi Adit, ia sudah tak tertarik lagi pada perempuan lain. Ia hanya tertarik pada satu perempuan yaitu....
"Dit, ke mari!" tutur Pak Doni begitu melihatnya muncul. Lelaki itu memintanya duduk di hadapannya. Adit berdeham usai menutup pintu kemudian datang menghampirinya. "Kamu masih ingat dengan proyek MRT di Jakarta, Dit? Kemarin, mereka menawarkan kerja sama dengan kita untuk pembangunan proyek. Tapi yang ini rencananya akan dibangun di Sulawesi dan Kalimantan. Saya sudah atur Husein dan bawahannya di Jakarta untuk memegang proyek MRT di sana. Sementara Teo dan Nara saya tugas kan untuk memegang proyek di antara kedua ini. Tapi saya ingin kamu memilih. Karena mandat dari Pak Regan seperti itu. Walau saya lebuh ingin kamu memilih di Sulawesi karena basecamp kita di sini. Ini belum akan dimulai dalam waktu dekat, Dit. Karena masih pembebasan lahan juga persiapan dokumen AMDAL. Mungkin akan dimulai satu hingga dua tahun lagi. Bagaimana, Dit?"
Adit hanya menarik nafas dalam.
@@@
Begitu keluar dari ruangan Pak Doni, ia hanya menghela nafas lantas berjalan menuju masjid di lantai bawah. Ia hanya mengangguk setiap disapa karyawan lain. Sekarang, ada banyak perubahan dari diri Adit. Apa?
Bukan fisik melainkan sisi Adit sebagai cowok misterius juga dingin. Adit yang di Solo tentu saja dikenal ramah dan lucu. Kadang suka bertingkah aneh. Tapi kalau sekarang? Adit jahh dari itu. Ia terlihat enggan juga bergabung ditengah keramaian hingga banyak yang sungkan padanya. Entah kenapa Adit berubah menjadi seperti itu, ia pun tak tahu.
"Adiiiit!"
Adit menoleh sedikit. Gadis yang baru masuk beberapa hari ini muncul. Ia hanya berdeham, enggan membalas sapaannya. Bukannya ia berlagak sombong. Tapi sedang malas saja dan entah kenapa, rasa malas itu berkepanjangan. Ah ya, Adit pun baru ingat kalau gadis ini akan masuk timnya mulai besok. Tadi Pak Doni juga bilang itu. Selama seminggu ini, gadis ini memang masuk ke dalam divisi training dulu sebelum memulai pekerjaan yang sebenarnya.
"Nanti balik naik apa, Dit?" tanyanya.
Adit melirik jam tangannya. Sudah jam empat sore. "Sorry, Dri, gue masih ada kerjaan," tolaknya.
Aaaah. Gadis itu menghela nafas. Ia menatap Adit ketika berada di dalam lift hanya berdua. Adit hanya berdiri gamang dan menatap kosong pintu lift yang baru saja tertutup.
"Lo tinggal di mana?" tanyanya. Ia kan ingin tahu. Selama mengenal Adit di Belanda pun, ia tak pernah tahu bagaimana kehidupan Adit. Tapi Adit tak tampak berubah meski kini ia bertemu lagi di Makassar.
"Duluan, Dri," ia malah pamit dan enggan menjawab hal-hal pribadi. Sebetulnya, Adit tahu kalau gadis itu menyimpan rasa untuknya. Tapi ia memilih untuk berpura-pura tak terjadi sesuatu. Itu akan lebih mudah untuknya juga gadis itu, menurutnya. Karena Adit malas terjadi sesuatu lagi antara perempuan dan lelaki yang khawatirnya malah akan saling menjauhkan keduanya. Bahkan saling membenci. Adit tak mau terjadi itu. Dan setiap ia memikirkan hal ini, ia jadi tahu bagaimana perasaan gadis itu dan alasan kenapa gadis itu melakukan ini. Walau ini terasa berat sekali.
Adit masuk ke dalam masjid usai mengambil wudhu. Lima belas menut kemudian ia kembali keluar dan duduk di terasnya sebentar. Ia menarik nafas dalam dengan tatapan gamang. Kemudian kembali mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia mencoba menelepon Ardan namun masih sama, tak diangkat. Ia mencoba menelepon lagi hingga di sepanjang perjalanannya menuju ruangannya. Begitu tiba di ruangannya, teleponnya tepat sekali diangkat Ardan. Tapi terdengar suara langkah kaki milik Ardan yang tampaknya sedang terburu-buru. Apa yanh terjadi? Tanyanya. Mendengar ini, malah membuatnya semakin khawatir dan takut menduga-duga telah terjadi sesuatu yang buruk.
"Lo ke mana aja? Dari tadi gue telepon!" dumel Adit. Entah kenapa terdengar mirip dengan kata-kata perempuan yang bawel pada pacarnya karena teleponnya tidak kunjung diangkat. Untungnya, Ardan sedang sangat serius. Ardan segera berjalan menjauhi lorong rumah sakit, mengambil arah ke lobi. Kebetulan ia ingin mengambil bajunya di hotel untuk bisa menginap di rumah sakit bersama Papanya, para omnya dan sepupunya.
"Lo yang kenapa? Kek cewek, bawel lo!" celetuk Ardan.
Ia memang sibuk hilir-mudik sedari siang karena ia yang pertama kali tiba di rumah sakit. Papanya dan Om-Om-nya baru tiba satu jam kemudian. Sementara ia harus mengurus kamar inap dan segala macamnya. Belum lagi ditambah tugas menjemput keluarganya di bandara yang datang tak bersamaan. Alhasil, bolak-balik rumah sakit-bandara.
"Ada apa? Tadi lo buru-buru banget kayaknya."
"Ooh," Ardan berdeham. "Gue lagi di rumah sakit. Makanya agak repot."
"Siapa yang sakit?"
Adit jujur. Ia memang ingin tahu soal itu. Karena sejujurnya ia gelisah setengah mati usai ditinggal Ardan secara mendadak tadi. Dari pada membatin, lebih baik ia bertanya saja. Terserah Ardan mau menganggapnya apa. Tapi ternyata, Ardan sedang tak 'ngeh' akan arah pertanyaannya. Badannya cukup lelah hari ini.
"Adik Omanya gue," tuturnya sambil membuka pintu mobil.
Adit menghembuskan nafas. Lega. Ia sudah mengira macam-macam.
"Udah ya, Dit. Gue lagi buru-buru nih," tuturnya yang tentu saja diiyakan oleh Adit.
Saat Ardan telah mematikan panggilannya, ia terkekeh lantas memaki dirinya sendiri. "b**o lu, Dit."
Kemudian berdiri, berjalan menuju kamarnya. Membuka pintu lantas membiarkan angin berhembus dan masuk ke dalam kamarnya. Malam ini, Bulan terlihat hanya separuhnya saja.
"Lo apa kabar?" tanyanya yang entah pada siapa. Tapi hatinya tahu itu untuk siapa.
@@@