Part 4

1862 Words
Setelah makan, Elard dipaksa mengantarkan Seira pulang. Jalan kaki, biar tak bisa ngeles. Kunci mobilnya disita sama Marisa, jadi Elard dengan sangat terpaksa mengantarkan. Selama perjalanan, mereka masih saja ribut. Seira sensian, takut kena marah. Ini Elard ikut pula, makin banyaklah alasan si ibu mengomelinya. “Ngapain ikut sih! Dekat juga,” oceh Seira. “Saya juga terpaksa antarkan kamu.” Elard ikut mengoceh. Seira misuh-misuh, tendang batu kerikil di tepi jalan. Sementara itu Elard meliriknya beberapa kali, teringat kalau Seira itu takut pulang. Dia masih salah paham, mengira Seira punya masalah dengan orang rumah. “Tadi pulang gimana? Kena marah?” “Kena omel tiga jam! Ngapain tanya!” Seira sewot, berhenti jalan. Berkacak pinggang di tepi jalan seperti sedang mencari perhatian. “Hanya itu?” Elard agak bingung, kok kedengarannya masalah Seira tak serius. “Hanya itu kamu bilang? Kuping aku tuh panas tahu! Ibuku tuh cerewet. Semua aja diomeli. Dari urusan kampus, kebiasaan aku main sama kucing, sampai kamar yang selalu berantakan. Coba aja kamu bayangkan gimana bete-nya. Kamu sih enak, punya rumah sendiri, tinggal sendiri apa-apa nggak ada yang melarang!” Dan ternyata ... memang tak serius. Elard menyesal sekali sudah cemas pada Seira. Tak tahunya masalah hidupnya tak penting begitu. Semuanya salah sendiri. Tak bisa mandiri sampai apa-apa perlu diingatkan sama orang tua. “Bukannya sama aja kayak kamu? Itu mulut cerewet sekali. Malu saya jalan sama kamu. Tetangga pada ngintip dari jendela gara-gara suara teriakan kamu.” Malah tampang mereka dikenali. Elard yakin, besok pasti udah ada gosip aneh saja yang menyebar di kompleks. “Nggak sadar diri! Kamu tuh lebih cerewet dari aku!” “Iya, iya. Ayo cepat pulang, jangan berdiam di depan rumah orang.” Lama-lama Elard gemas sendiri. Tak tahan dengan sikap Seira dan memutuskan menarik tangannya biar cepat sampai. Jarak super dekat hanya butuh lima menit, jadi lima belas menit sampai gara-gara Seira banyak berhentinya. Pas sampai di depan rumah Seira ... ibunya yang katanya cerewet itu sudah menunggu di depan pintu. Mereka tak tahu saja, Marisa sudah lapor kalau anaknya bakal mengantarkan Seira pulang. Alhasil, Elard dan Seira mematung dengan canggung di depan pintu. Malah Seira banyak tingkah pula, sembunyi di balik punggung Elard, membuat kesan aneh di depan ibunya. “Kamu Elard? Udah gede ya, terakhir lihat masih SMP.” Seira kaget tuh, ternyata ibunya kenal sama Elard. Memang ya, tipikal ibu-ibu tukang gosip ya itu, sampai anak tetangga blok sebelah saja kenal. “Iya Tante.” Elard tampaknya ingat wajah Noura, ibunya Seira. Beliau teman arisan mamanya waktu dia masih sekolah dan tinggal di rumah. Sekarang sih nggak lagi, tapi masih kadang-kadang ngumpul kalau ada gosip seru. Elard hanya nggak tahu kalau ternyata Noura tinggalnya dekat, punya anak semalas Seira. “Ya ampun ... sekarang jadi gagah ya! Tante kaget lho! Marisa tiba-tiba aja bilang kamu dan Seira pacaran.” Sekali bicara nyaring sekali, penuh semangat dan membuat kaget. “Ibu ngomong apa sih! Siapa juga yang pacaran sama om-om begini!” Seira sampai lupa tuh sama rasa takut kena omel, dia lebih takut bakal menumbuhkan kesalahpahaman yang menentukan masa depannya. “Seira! Mulut tuh dijaga. Ini lho Elard hanya tua delapan tahun dari kamu malah dibilang om-om!” Duh ... kan. Ibunya sudah mengabaikan bantahan soal pacaran, fokus ke hal nggak penting. Seira, kan jadi waswas. Dia menyenggol Elard, kasih kode minta bantu membantah omongan ibunya. Elard malah melotot padanya, seakan menyuruhnya menjelaskan sendiri. “Kalau begitu saya pamit dulu ya, Tante. Ini masih harus kembali ke rumah sakit.” Habis itu bohong deh. Alasan saja. Dia toh tugasnya jaga di UGD, keseringan dapat shift pagi. Kadang-kadang aja pulang malam kalau ada pasien mendesak atau rekan kerja tidak masuk. “Iya, hati-hati di jalan. Makasih ya, udah antarkan Seira pulang.” Kebohongan Elard langsung dipercaya sama Noura. Beda sekali kalau Seira yang ngomong, pasti selalu dicurigai. Sudah Elard pakai senyum sok ganteng, membuat ibunya luluh. Dadah-dadahan pas mengantarkan. Sekali Elard sudah nggak kelihatan, wajah Noura berubah garang. Kuping Seira dijewel, habis itu dia diseret ke dalam rumah dan diomeli. “Kamu itu ya, Seira. Ibu suruh introspeksi diri, malah pergi pacaran! Untung kamu pandai cari pacar, kalau nggak udah ibu pecat jadi anak.” “Udah Seira bilang Bu, itu Elard bukan pacar Seira!” Seira menyangkallah! Orang itu tak benar kok. Mereka hanya orang asing, titik! “Bukan gimana! Itu Marisa sendiri yang bilang kalian pacaran kok. Sampai ikut makan-makan keluarga masih saja ngotot bilang bukan.” “Tante Marisa cuma bercanda, Bu ....” Seira sudah sampai acak-acak rambut sendiri, teriak-teriak masih saja tak didengarkan. Malahan, Noura membalas lebih keras lagi. “Jangan ngeles kamu! Ibu tak marah kok. Malah bagus itu, ada yang jamin masa depan kamu. Itu umur Elard udah cukup, hidupnya mapan. Udah punya rumah sendiri, sudah boleh nikah kalian. Daripada kamu wisuda jadi pengangguran. Sana ajak bicara, yang manis bilangnya biar cepat dilamar.” Tambah lagi ibu-ibu tukang maksa nikah. Seira itu lho, pacaran aja tak pernah. Mana ada gambaran bakal nikah muda. Sama om-om cerewet pula. Hell no! Rencana masa depan menjelajahi hutan Nusantara aja belum terwujud. Ini dia udah dipaksa menjadi ibu rumah tangga aja. “Nggak mau!” Seira ngotot. “Kalau nggak mau nikah jangan pacaran!” “Makanya Seira bilang berkali-kali, siapa yang pacaran!” “Seira, bisa nggak sih nggak melawan orang tua terus!” “Ini membela diri kok, bukan melawan,” balas Seira. Cewek itu cemberut sekali, sudah mulai lelah membela diri. Toh kayaknya percuma. Ibunya tak mau mendengarkan perkataannya. Itu Marisa bilang mereka pacaran dan Elard malah tak mau tahu. “Udah, masuk kamar sana. Bereskan kamar kamu sedikit, itu seluruh lantai penuh sama sampah,” kata Noura. Ternyata dia juga sudah lelah mengomeli Seira, mental mulu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. “Bukan sampah kok, itu kertas hasil riset. Kamar Seira masih bersih itu, belum waktunya dibersihkan.” Noura sudah beri kelonggaran, tapi Seira masih juga melawan. Menyangkal apa yang sudah terlihat sangat jelas. “Kertas menggumpal, koyak-koyak begitu apanya hasil riset! Banyak bungkus snack, tong sampah penuh masih bilang bersih? Jangan membual! Sana bersihkan! Suruh bersih-bersih dua minggu sekali aja susah! Lihat anak tetangga sebelah itu, setiap hari bersihkan kamarnya!” Alhasil, omelan Noura di-upgrade dua jam lagi. *** Seminggu berlalu sejak Seira diantarkan pulang sama Elard, kupingnya sudah tak tahan lagi. Omelan Noura yang makin jadi dan pertanyaan ‘udah tanya Elard kapan mau lamar kamu’ itu ... membuat tingkat stres Seira mencapai puncak. Teman-temannya diminta pendapat dan solusi, malah menertawakan nasibnya. Berita bagusnya, judul skripsi Seira sudah diterima, tapi ternyata sakitnya baru terasa sekarang. Data riset yang dibutuhkan terlalu banyak dan tak sanggup Seira rangkum. Akhirnya, dia mau lari kenyataan lagi. Semua buku referensi dia buang ke tong sampah. Pas itu, Noura melihat, jadilah dia kena omel dan kabur dari rumah. Karena nggak ada tujuan, Seira memutuskan untuk menyusahkan Elard yang menjadi awal mula permasalahan hidupnya. Di sinilah dia sekarang, duduk di depan pintu apartemen Elard kayak gelandangan. Pemiliknya belum pulang kerja, nomor HP nggak punya. Mau tanya Marisa, takutnya memperkusut masalah. Tiap kali tetangga Elard lewat dan melihatnya, Seira senyum aja. Ditanya adiknya ya? Iya, jawab Seira. Ditanya pacar ya? Iya juga, kata Seira. Pokoknya ditanya apa jawab aja ‘iya’ sambil senyum. Selesai perkara, tak akan ada yang melaporkannya pada abang-abang satpam yang berjaga di depan pintu masuk gedung apartemen. Tentu saja, pas Elard sampai di rumah, dia senyum juga. Pasang muka tanpa dosa, tunjukkan ransel bawaannya biar Elard peka sedikit dia mau menumpang inap. “Pulang kamu. Nanti kena omel Tante Noura lagi.” Elard peka sih ... tapi dia ogah menerima pengungsi sejenis Seira. Sudah merusak, berisik, suka resek utak-atik barang pribadinya. “Nggak mau,” jawab Seira. Cewek itu ganti rencana. Pasang tampang seperti mau menangis, duduk menghalangi pintu masuk, memeluk ranselnya sok menderita. Elard langsung memijit keningnya, merasa bakal mendapatkan masalah. “Katanya kamu mau kita pura-pura nggak saling kenal, tapi kenapa kamu masih juga datangi saya?” Dia memutuskan untuk berdebat. Ingatkan Seira perjanjian mereka sebelumnya. “GIMANA BISA PURA-PURA NGGAK KENAL! TAHU GAK, GARA-GARA KAMU MASA BODOH WAKTU ITU ... TIAP KALI KETEMU TANTE MARISA, AKU DITANYA KAPAN SIAP NIKAH? DI RUMAH JUGA IBUKU TANYA TERUS KAPAN KAMU MAU LAMAR AKU!” Seira tiba-tiba saja teriak, membuat Elard terintimidasi sampai mundur beberapa langkah. “Itu, kan salah kamu sendiri yang nggak bisa menjelaskan dengan tegas.” Dia masih melawan sih, merasa masalah Seira itu datang karena sikap yang diambil oleh cewek itu. Tidak ada hubungan sama sekali dengannya. “SALAH KAMU! POKOKNYA TANGGUNG JAWAB!” Seira mana mau disalahkan. Dia lari ke sini mau cari pelampiasan stres kok. Pokoknya teriak saja sampai puas, masa bodoh apa yang Elard pikirkan. Udah terlambat buat jaim. “Kenapa jadi salah saya?” Elard tak terima, dia mulai sewot. “Ehem!” Pas itu, ibu-ibu tetangga sebelah berdeham. Refleks Elard menoleh ke samping. Rupanya tetangga yang agak jauhan juga udah mulai keluar karena penasaran. Muka Elard memucat, tersadar kalau kata-kata tak jelas Seira bisa diartikan jadi ke mana-mana. Dia pun menoleh pada Seira, tatap lurus mata Seira memberi kode biar Seira kerja sama sedikit padanya. Elard tak mau sampai nama baiknya tercemar. Gedung apartemen begini tetangganya dekat-dekat sampai dia yakin semua teriakan Seira kedengaran jelas oleh mereka. Biar nggak terlalu akrab, tetap saja Elard tak mau dicap jelek. “Jadi kamu mau usir aku?” Seira malah balas dendam. Karena Elard tak mau membantunya minggu lalu ... dia juga tak mau bantu Elard. Malahan sengaja menambah kesalahpahaman. “Ya udah, cepat masuk!” Kalah sama tekanan sekitar, Elard membiarkan Seira menginap. Dia tak mungkin melanjutkan pertengkaran di depan pintu. Mau suruh Seira pulang juga rasanya tak mungkin cewek itu mau pulang dengan sukarela. Bisa-bisa malah teriak makin jadi mengumpulkan tetangganya. “Puas kamu sekarang!” Elard hanya bisa menggerutu, melampiaskan emosi dengan sedikit keluhan. “Ini namanya karma. Siapa suruh waktu itu kabur sendiri.” Seira korek kuping masa bodoh. Sudah duduk berleha-leha di sofa Elard. Karma apaan! Jelas-jelas itu karena kebiasaan Seira yang suka menarik perhatian. Bikin malu ke mana-mana. Sudah begitu tak punya pertahanan diri jadi cewek. Masih juga datang ke rumahnya tanpa memikirkan apa-apa, mungkin sudah lupa apa yang terjadi terakhir kali dia datang menginap dengan polosnya. “Di sini kamar cuma ada satu dan saya tak mau pindah.” Tiba-tiba Elard ngomong begitu. Entah apa maksudnya, Seira tak tanggap. “Gak apa-apa kok. Sofa ini empuk,” balasnya. “Selimut saya juga cuma ada satu.” “Gak apa-apa, aku bawa balmut kok.” “Kalau ada apa-apa saya tak mau tanggung jawab.” “Gak apa-apa, nggak bakal ada apa-apa kok.” “SEMUA AJA NGGAK APA-APA. JADI CEWEK HATI-HATI SEDIKIT. DASAR BODOH.” Habis itu Elard marah sendiri, pergi ke kamarnya membanting pintu. Seira yang ditinggalkan garuk-garuk kepala. Bingung kenapa tiba-tiba Elard teriak. Mau marah sudah telat kok, harusnya dari tadi waktu dia tipu-tipu tetangga Elard biar diizinkan masuk. Tapi ya sudahlah ... Seira tak mau tahu. Dia mau bersantai-santai, nonton TV di layar super lebar yang tersedia. Sambil ngemil tanpa memikirkan apa pun yang berkaitan dengan skripsi. Dan pastinya, tak akan ada yang mengomelinya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD