Bertemu Teman Baru

1424 Words
Yuni sedang menikmati gorengan pisang yang aromanya menggugah selera. Tak lupa secangkir kopi menemani. Benar-benar sebuah kenikmatan surga dunia yang bisa dirasakan seorang Yuni.  "Enak bangettt, rasanya seperti dapat suntikan semangat berkali-kali lipat," ucap Yuni sambil menyeruput minuman hitamnya. Minuman yang merupakan paduan hitam dan putih dari gula dan kopi. Bima tersenyum senang. Baru kali ini ia mendapat teman baru yang lucu dan begitu senang dengan hanya ditraktir secangkir kopi dan pisang goreng. "Nama kamu siapa. Dari tadi nggak kasih tahu!" Yuni mengelap tangannya yang penuh minyak bekas pisang goreng yang sudah selesai dimakan. "Yuni!" Gadis itu mengulurkan tangannya. "Nama yang bagus." "Ya iyalah, itukan nama dari orang tua yang sayang banget sama aku," jawabnya lugu. "Kamu terlalu pagi datangnya. Lain kali pukul enam aja ke sini. Kalau setengah enam, emang masih sepi. Kecuali kalau kamu mau ketemu yang bukan manusia." "Seperti kamu," sahut Yuni seenaknya. "Jadi, kamu masih mikir aku hantu!" "Abis cakep banget kayak pangeran iblis!" "Kebanyakan baca komik ini anak!" Canda mereka begitu hangat. Seiring dengan suasana yang berubah semakin cerah, ada sedikit cahaya matahari mulai bersinar masuk melalui dahan yang tipis. "Belum ada yang masuk ya. Udah hampir setengah tujuh." Yuni melihat keluar jendela kaca di pos satpam yang ditempati.  "Sabar, abis ini juga ada yang muncul." Bima melihat jam tangannya. "Kamu mahasiswa, kenapa pakai baju satpam?” tanya Yuni. “Ayahku kerja di sini. Cuma kalau sift malam aku yang gantikan. Soalnya beliau nggak kuat lama-lama kena angin malam. Tapi, kalau siang aku ngampus kok.” “Oh gitu, sorry ya tadi sempet heran lihat kamu yang begitu tampan pakai baju satpam. Kirain," ucap Yuni yang tiba-tiba tidak dilanjutkan. "Kirain apa?" Tiba-tiba sepasang pria dan wanita datang dengan baju seragam yang sama dengan Yuni. Kemeja longgar berlengan pendek dengan kombinasi warna merah dan biru. Ada garis hitam di bagian bawah lengan yang berlipat. "Baju mereka sama dengan yang aku pakai. Apa mereka kerja di sini?” tanya Yuni sambil memperhatikan. Bima menengok keluar. Tampak Varo dan Imas datang tepat di jam biasanya, pukul 06.25 WIB. “Iya, itu teman-teman kamu yang kerja di sini.” Yuni beranjak dari duduknya. Ia segera mendekati dua orang yang akan menjadi rekan kerjanya. Bima pun mengikuti langkah gadis itu. Imas dan Varo menghentikan langkah. Kedua mata mereka langsung melihat ke arah Yuni yang berjalan mendekat. Tanpa disuruh mereka tersenyum ramah sekali. Yuni merasa senang dan ikut membalasnya. “Kamu karyawan baru di sini. Imut banget, manis lagi,” celetuk Varo melihat lesung pipit Yuni yang tampak saat gadis itu tersenyum. “Aku Yuni. Salam kenal ya. Semoga kita bisa kerja bareng dengan baik.” “Iya. Kenalkan aku Imas, dan cowok sebelahku Varo. Kita tinggal, tunggu satu teman lagi. Namanya Rian. Nah, itu dia anaknya,” ucap Imas begitu lemah gemulai. Ia tampak seperti gadis jawa yang begitu lembut dalam bertutur kata. Belum lagi penampilannya yang sederhana dengan baju cleaning service yang sama dengan Yuni. Namun, cantiknya bisa dibilang luar biasa. “Wow, Rian D’masiv ya itu,” batin Yuni memicingkan mata melihat sosok yang masih berada di balik pagar. Namun, sinar matahari yang mengenai wajah Rian membuat Yuni susah melihat tampangnya. ** Yuni benar-benar menunjukkan semangat kerjanya. Ia yang sudah mengucapkan ikrar untuk bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi loyalitas demi hasil terbaik selalu menyelesaikan semuanya tepat waktu. Di hari pertama kerja ini, seluruh temannya sangat bangga pada Yuni. “Tubuhnya kecil tapi tenaganya gede ya.” “Iya nih. Kalau boleh tahu, kamu makan apa sih?” tanya Imas. Yuni tertawa mendengarnya. Ia tak menyangka hari pertamanya bekerja akan seperti ini. “Aku ya makan nasi sama ikan lah. Emang mau makan apa lagi?”  Senyuman jelas terlukis di bibir keempat sahabat baru itu. Senja pun hampir terlukis di langit. Tak disangka perjalanan hari ini harus selesai begitu cepat.  Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari ujung koridor yang ada di depan lab. Keempat petugas kebersihan itu sontak menarik wajah untuk melihat siapa yang sedang melangkah. “Bu Risa, ada apa dia ke sini?" tanya Rian.  Kedua temannya, Imas dan Varo hanya mengangkat kedua bahunya sebagai tanda tidak tahu. Sedangkan Yuni hanya membisu karena dia sendiri tidak tahu siapa sosok tersebut. “Sore, anak-anak,” sapa Bu Risa, dosen yang menjadi Rektor di kampus tersebut. “Sore Bu, ada apa ya. Kok tumben Bu Risa belum pulang. Terus nyamperin kita ke sini lagi. Apa jangan-jangan ada hasil kerja kami yang kurang memuaskan?” tanya Rian, selaku karyawan yang dipercaya untuk menjadi kepala cleaning service di sana. Bu Risa tersenyum ramah. “Kalian kenapa sih setiap ketemu saya selalu sungkan seperti ini. Saya ke sini cuma buat kasih ini.” Bu Risa memberikan empat amplop berwarna putih kepada Rian. Rian menerimanya sambil memasang wajah bingung. “Ini apa Bu?” Kembali Bu Risa tersenyum, ia kemudian memandang satu per satu petugas kebersihan yang baru selesai bekerja. “Ini hadiah buat kalian yang udah mau kerja keras selama saya menjadi Rektor di sini. Oh iya, kamu anak baru ya. Saya juga suka kinerja kamu. Sayang ya, saya harus angkat kaki dari kampus ini. Saya harus pindah mulai minggu depan.” Rian dan yang lain terkejut dan saling melempar pandang. “Bu Risa pindah?” “Iya mulai minggu depan. Tapi, besok saya udah nggak masuk lagi. Dekan akan menggantikan tugas saya untuk sementara sampai rektor baru datang.” Setelah itu, Bu Risa kembali memberikan senyumannya. Sepertinya, wanita yang selalu berpakaian tertutup itu berat untuk melepas posisinya saat ini. Rian sendiri bingung, karena sebelum ini tak pernah ada kabar sama sekali tentang digantikannya jabatan rektor yang baru. “Kenapa tiba-tiba Bu Risa pindah ya. Aneh, dia kan baik dan bagus banget kerjanya.” Imas bergumam sendiri sambil melihat kepergian Bu Risa yang mulai masuk ke dalam mobilnya. “Kalian bisa ceritakan siapa Bu Risa. Aku nggak paham sama sekali. Aku kan cuma kenal kalian bertiga. Oh iya, sama si Bima juga,” celetuk Yuni tanpa memahami suasana hati temannya yang sedang sedih karena kepergian Rektor sekaligus dosen yang sangat baik kepada mereka. Suasana yang awalnya sedih dan penuh sukacita tiba-tiba berubah sedikit santai. Perkataan Yuni barusan berhasil membuat Rian dan Varo gemas.  “Sini aku jelasin,” ucap Varo. Ia pun memukul kening Yuni karena kesal.  “Aww, sakit.” “Dasar, aku nggak mungkin kenalkan satu per satu dosen dan karyawan di sini kannnnnnn. Yang bener aja. Lagian kita sekarang lagi sedih. Nunggu sedih kita ilang dulu, baru aku jelasin.” Varo sedikit mengeluarkan kesalnya. Alhasil, Yuni pun diam sesaat. Ia tidak tahu jika ucapannya barusan sudah salah tempat. ** Malam ini adalah malam di awal bulan desember. Sebentar lagi, bisa dipastikan cuaca akan menjadi tidak menentu. Langit malam akan gelap tanpa bintang sebagai tanda akan masuk musim hujan. Yuni menghela napas panjang. Ia baru selesai menunaikan tiga raka’at kewajibannya. Kemudian turun dari kamarnya di lantai atas menuju dapur. Ia berencana membeli makanan paling murah yang pernah ada di sini. Apalagi kalau bukan bakso lima ribuan yang menurutnya cocok dengan isi dompetnya. Sebab uang pemberian dari rektor akan dikirim saja ke kampung. “Cukuplah lima ribu untuk malam ini. Mungkin besok kalau memang lapar banget, aku akan beli enam ribu,” gumam Yuni sendiri sambil mengambil mangkok kosong untuk wadah baksonya nanti. Bersamaan dengan itu, Bu Slamet yang baru selesai dari kamar mandi melihat Yuni sedang berada di dekat rak piring. “Kamu mau ngapain?” tanya Bu Slamet yang lagi-lagi mengejutkan. “Hah, Bu Slamet ternyata. Aku pinjam mangkok ya Bu. Mau beli bakso di depan.” Bu Slamet melihat satu tangan Yuni membawa mangkok kosong, dan satu tangan yang lain membawa selembar uang lima ribu. “Kamu beli bakso pake uang itu?” tanya Bu Slamet. Yuni mengangguk, tapi bibirnya terlihat tersenyum kecut. Ia tampak sekali menderita. Meski begitu, ia berusaha memasang wajah ceria. Kesulitan keuangan yang dialami harusnya cukup disimpannya sendiri. Bu Slamet membuang napas panjang. Baru kali ini, Yuni melihat wanita itu begitu merasa lelah hingga harus membuang napas seperti tadi. Panjang dan terdengar penuh beban. “Letakkan mangkok yang kamu bawa. Malam ini, kamu boleh makan sama saya. Tapi besok, kalau beli bakso jangan cuma lima ribu. Masak iya kenyang makan segitu.” Yuni merasa senang sekaligus tak enak. “Nggak papa Bu Slamet. Biar saya makan bakso aja. Perut saya kan kecil, nggak perlu makan banyak-banyak.” “Nurut atau aku usir.” Yuni  merasa sungkan. Ia pun meraih sebuah kursi dan menunggu Bu Slamet membuka penutup makanannya. “Yuk makan. Sekalian, ceritakan hari pertama kerja kamu tadi kayak apa!” ucap Bu Slamet.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD