Bertemu Rektor Baru

1288 Words
Sudah hampir seminggu Yuni bekerja sebagai cleaning service. Ia yang sedang duduk di bawah salah satu pohon rindang yang ada di dekat halaman kampus keperawatan sedang mencari ketenangan. Semilir angin yang berhembus lembut menyapa wajah Yuni, menghasilkan kesejukan yang seperti di pedesaan. “Di sini pohonnya rindang banget. Sejuk lagi. Lega rasanya, dapat tempat kerja sebagus ini. Apalagi hari ini juga, kerja lancar sampai akhir. Tinggal beberapa menit lagi, aku bisa pulang,” gumam Yuni sendiri. Ia tiba-tiba dikejutkan kembali dengan aroma melati yang pernah dihirup sebelum ini. Namun, segera dibuang pikirannya tentang itu.  "Kenapa ada aroma kayak gini lagi. Pasti terbawa angin," batin Yuni. Teman-teman Yuni baru selesai dari kamar mandi yang letaknya tak jauh dari tempatnya duduk. Keramaian mereka terdengar samar-samar di telinga Yuni. "Mereka pasti udah mau keluar," batin Yuni lagi. Tiba-tiba ada seorang pria bertubuh tegap dengan sedikit kumis tipis menambah kesan maskulin. Rambutnya disisir begitu rapi, ditambah ada aroma gel yang samar-samar terhirup. "Kamu," ucap pria asing itu sambil menatap Yuni. "Apa kamu cleaning service di sini?" Yuni memastikan jika dirinyalah yang dipanggil. Ia pun berjalan mendekat ke arah pria itu. "Iya, saya cleaning service di sini." "Kalau gitu, panggil teman-teman kamu. Saya minta tolong, bawakan barang-barang saya di mobil ke ruang rektor." Suaranya begitu tegas dan berwibawa. Namun, ada hal aneh menyelimuti perasaan Yuni saat menatap kedua pasang mata pria di depannya itu "Baik Pak!" jawab Yuni. Kemudian bergegas menuju ke teman-temannya. “Ada apa Yuni?” tanya Rian yang lebih dulu keluar dari kamar mandi. “Ada orang minta tolong buat bawa barang-barangnya ke ruang rektor,” jawab Yuni sambil celingak-celinguk memperhatikan temannya yang belum muncul semua. “Ohhh, ya udah ayo. Yang lain bisa nyusul kalau udah selesai.” Yuni pun menuruti ajakan Rian. Segera bergegas mereka berdua mendekati mobil yang pintu belakangnya terbuka cukup lebar. “Jadi, ini pengganti Bu Risa,” batin Rian sambil melihat sekilas ke arah pria yang belum mengenalkan dirinya itu. “Permisi Pak, mana yang harus dibawa ya Pak?” tanya Yuni yang masih bingung harus berbuat apa. Pria asing itu memperhatikan dua orang cleaning service yang ada di hadapannya. “Bawa apa aja yang ada di bagian belakang mobil.” Yuni dan Rian langsung membawa apa saja. Tumpukan buku, peralatan menulis, sebuah lemari kabinet kecil yang berisi charger dan segala peralatan elektronik. Ada juga sebuah foto keluarga yang cukup menarik perhatian Yuni.  “Itu foto keluarga saya,” ucap rektor baru itu. “Ohhh, keluarga Bapak bahagia banget ya.” “Pasti.” Ada rasa sakit muncul di benak Yuni usai melihat foto bahagia tadi. Ingin sekali bingkai foto itu dibanting hingga pecah. Lalu merobek kertas fotonya hingga menjadi robekan kecil-kecil yang tak bisa diperbaiki. Namun Yuni berusaha menahan keinginan gilanya itu. Ia berusaha melupakannya. Namun, semakin dilupakan ada rasa tak nyaman menyeruak mengganggu. Tampaknya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaan dadakannya sore ini. ** Senja semakin berwarna jingga di langit. Semburat abstrak yang indah mendorong Yuni untuk segera pulang dan bisa melihat keindahan langit itu dari teras kamarnya di lantai atas. Rian dan Imas melihat Yuni sedikit bertingkah aneh. Tatapan matanya tampak kosong sejak tadi.  “Kamu kenapa Yuni?” tanya Imas sambil mendekati Yuni yang mematung di depan pos satpam. “Nggak kenapa-kenapa.” Yuni menjawabnya singkat. Imas mengambil posisi duduk tepat di sebelah Yuni. Dirangkul sosok yang sudah dianggap sebagai teman karibnya itu. “Kamu kenapa? Ngomong aja. Kasih tahu aku, mungkin bisa membantu,” ucap Imas sekali lagi. “Rasanya aku benci banget sama rektor baru itu,” ucap Yuni. Ia berusaha santai saat mengatakan hal barusan. Imas melepas rangkulan di bahu Yuni. Tangannya mulai berpindah ke depan, berharap bisa melihat wajah Yuni yang sejak tadi hanya memandang ke depan dengan tatapan mata yang datar. “Yuni, kamu serius dengan apa yang kamu bicarakan barusan. Gimana bisa kamu benci sama Pak Haris, kamu kan baru ketemu dia tadi.” Yuni melirik sekilas ke arah Imas yang memasang wajah bingung. “Kamu kira aku juga nggak mikir gitu.” Mereka berdua kemudian diam sesaat. Masih ingat dalam benak Imas, perubahan sikap Yuni yang tidak seperti biasanya saat sosok rektor baru itu memperkenalkan diri. Tepatnya sesaat sebelum Yuni memutuskan untuk pamit ke kamar mandi. “Jadi, kalian berempat ya, yang kerja di sini. Biar saya hapalkan dulu nama kalian, Imas, Rian, Varo sama kamu Yuni,” ucap Pak Haris waktu itu. Ketiga cleaning service itu membalasnya dengan tersenyum. Kecuali Yuni yang tampak memikirkan sesuatu. Ia seakan tak peduli dengan apa yang didengarnya. Pandangan matanya tak seperti biasa. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Namun, yang diyakini Imas saat itu, Yuni seperti sedang menahan amarah. “Kalau gitu, perkenalkan nama saya Haris Firmansyah. Panggil saja Pak Haris, saya rektor baru di sini.”  Mendengar itu, Yuni tampak melirik tajam ke arah rektor baru tersebut. Ia tampak mengepalkan tangan. Akan tetapi, pikirannya masih berupaya untuk sadar. Segera dihilangkan apa yang baru saja dirasakan. Kemudian segera ia berpamitan kepada ketiga temannya dan juga Pak Haris untuk keluar menuju kamar mandi. “Dia kenapa, nggak biasanya?” Tanya Rian dengan suara lirih pada Imas dan Varo. “Nggak tahu, coba aku susul. Kalian tunggu sini dulu. Mungkin kita bakal dapat upah tambahan dari Pak Haris, secara barangnya banyak banget yang harus dibawa,” ucap Imas. “Aku tunggu di depan pos satpam ya.” Imas kemudian menghilang menyusul Yuni ke kamar mandi. ** Yuni sudah sampai di tempat kosnya. Ia segera menyandarkan tubuhnya yang tak hanya lelah. Tapi, seperti ada beban berat menempel di kedua pundaknya. Dicoba menetralkan segala rasa yang mengganggu. Digerakkan kepalanya agar lebih santai. Tak lupa bagian tubuh lain juga merasakan peregangan yang masih bisa dilakukan di saat seperti ini. “Capek banget. Nggak biasanya. Masak iya, cuma gara-gara bantuin Pak Haris mindahin barangnya. Capeknya jadi kayak gini,” pikir Yuni melepas lelah. Ia bahkan sudah lupa jika ingin segera ke teras kamarnya untuk melihat langit sore. Salah satu caranya untuk merileksasi pikiran yang selalu teringat kampung halaman.  Bu Slamet yang baru saja selesai menyapu, melihat Yuni yang sedang bersandar di kursi terasnya. Ia merasa ada yang aneh dengan Yuni. Buru-buru didekati gadis itu, kemudian disentil telinganya cukup keras. “Yuni, kamu itu,” ucap Bu Slamet tiba-tiba. Yuni lekas bangun dari duduknya. Ia segera memandang Bu Slamet yang terlihat seperti akan marah. “Lain kali kalau baru sampai dari luar. Jangan langsung duduk sambil merem. Entar ketiduran malah kebablasan lho.” terdengar nada bicara bu Slamet meninggi. “Lepas sepatunya. Abis itu cuci kaki sama tangan. Kalau perlu mandi sekalian. Biar kotoran yang nempel di tubuh kamu itu ilang. Nggak kebawa terus sampai di kamar. Apalagi sampai diajak tidur!” bu Slamet kemudian pergi meninggalkan Yuni. “Aneh, kenapa Bu Slamet suruh aku langsung mandi sih, nggak biasanya. Emang aku kelihatan jelek ya,” batin Yuni. “Tapi, nggak ada salahnya sih kalau mandi, pundakku rasanya berat banget,” ucap Yuni sekali lagi.  ** Malam menjadi waktu yang paling ditunggu Yuni. Setelah menunaikan kewajibannya empat raka'at. Ia langsung menuju tempat tidur. Dilihat di bawah kasurnya masih terselip amplop putih yang berisi uang dari Bu Risa. Ia tersenyum melihat itu. Minimal saat ini, ia sudah bisa menyimpan uang. “Semoga besok pekerjaanku lancar.” Yuni berdoa sebelum tidurnya lalu menyuruh matanya terpejam agar tubuhnya bisa beristirahat.  ** Ada sebuah bayangan seseorang di bawah lampu yang remang-remang. Tak jelas wajah orang itu. Akan tetapi, jika dilihat bayangannya sangat mengerikan. Ada benda tajam dipegang di tangan kanannya. Rasanya tak bisa lari. Napas tersengal menandakan sudah cukup lelah untuk kabur dari tempat yang paling mencekam itu. Samar-samar terdengar suara langkah kaki menyeret. Rasanya si pemilik suara itu, seperti sudah tak bisa berbuat apa-apa dan menahan sakit. Lalu tiba-tiba terdengar teriakan yang mengganggu pendengaran.  “Jangannnnn!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD