17 - February - His Secret

1178 Words
    Aku memutuskan untuk kembali berbicara pada Ivonne dan membatalkan perjanjian kami. Aku tidak mau membuatnya terus-terusan sedih hingga dia bahkan sepertinya menghindariku. Aku juga tidak bisa bicara banyak padanya padahal aku rindu dengan senyumannya. Rindu? Bicara apa aku ini...     Ivonne terkejut ketika aku mengatakan untuk membatalkan perjanjian. Aku hanya memintanya untuk bertemu dengan Tomoka. Siapa tahu dia akan tergerak hatinya dengan sikap Tomoka. Aku yakin gadis itu bisa meyakinkan Ivonne seperti dia meyakinkan aku. Aku tidak meminta Ivonne untuk datang karena paksaan. Aku memintanya untuk berkunjung jika ia sempat.         Berapa hari telah berlalu dan nampaknya Tomoka masih menghindariku dengan mengerjakan dokumen yang kuminta di kamarnya. Aku ingin keluar sebentar malam itu untuk menghirup angin segar. Aku tidak tahu kalau Tomoka mengejarku untuk menyerahkan dokumen yang sudah diterjemahkannya. Sean tidak mengatakan apapun padaku dan aku sama sekali tidak bertemu Tomoka. Mungkin aku sudah berangkat lebih dulu.     Ketika aku kembali, aku hanya duduk di ruang bacaku sambil menunggu acara makan malam dengan direktur perusahaan lain yang berurusan dengan negaraku. Aku mulai berpikir tentang banyak hal hingga tiba-tiba pintu ruang kerjaku menjeblak terbuka dan membuatku kaget.     Tomoka masuk ke dalam ruanganku dan memegang kedua tanganku. Aku benar-benar bingung padanya. Ivonne memberitahu semua yang kukatakan padanya??? Itu benar-benar membuatku sangat kaget dan malu. Aku tidak menyangka dia benar-benar akan mengatakannya padahal itu rahasia. Aku tidak ingin Tomoka tahu aku yang meminta Ivonne datang.     Tanpa sadar aku bergumam sendiri betapa aku ingin melihatnya tersenyum dan sangat iri melihatnya tertawa untuk Li Qun. Memang kuakui aku benar-benar kesulitan untuk membuatnya tersenyum. Biasanya semua orang yang bertemu denganku akan langsung tersenyum. Berbeda dengan dia. Aku harus berusaha untuk mendapatkan senyumnya.     Mungkin kedengarannya aku seperti anak kecil. Tapi, aku ingin lebih diatas Li Qun dan aku sangat lega ketika Tomoka akhirnya tersenyum sambil mengatakan bahwa dia senang sekali. Sean tiba-tiba datang dan mengingatkan waktu Tomoka telah habis. Sepertinya Tomoka berusaha menemuiku dengan berjanji pada Sean.     Masih banyak yang ingin kukatakan padanya. Aku tidak bisa membiarkan dia keluar dari ruanganku begitu saja. Tanpa kusadari, aku langsung bergerak dan mengangkat Tomoka ke bahuku. Aku mengatakan pada Sean untuk membatalkan makan malamku. Sean protes terhadap perlakuan istimewa yang kulakukan pada Tomoka. Tapi, memang aku tidak menganggap Tomoka sebagai penerjemah biasa. Dia sudah seperti sahabat dekatku. Tapi, kenapa aku ingin menjadi lebih di hatinya ya ?     Aku kembali mengusilinya dengan membaringkannya di ranjangku. Wajahnya merah sekali hingga aku ingin tertawa. Matanya sampai terpejam kuat sekali karena takut akan kusentuh. Hahaha...     Aku ingin memintanya untuk menceritakan hal-hal mengenai dirinya. Aku ingin tahu tentang dirinya melebihi orang lain. Sepertinya aku ingin memonopolinya. Tomoka malah bertanya padaku apakah aku masih mengingat kejadian malam itu. Tentu saja aku ingat. Bagaimana mungkin aku bisa lupa pada satu-satunya wanita yang menolak kucium???     Saat ia membacakan buku Ivonne, aku teringat akan tujuanku mencari kakak tiriku. Aku memberitahu Tomoka yang bukan merupakan keluargaku sama sekali. Entah bagaimana aku sangat percaya padanya melebihi rasa percayaku pada Sean.                                                                                       ***     Kami kembali mengunjungi rumah sakit Akiyama. Kali ini, kunjungan dipusatkan ke bagian anak-anak. Anak-anak yang dirawat di sana sangat antusias begitu mengetahui pangeran akan datang. Mereka berebut untuk melihat Xu Qiang dari kamar masing-masing.     Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua berlari hingga bahunya menabrakku tiba-tiba. Boneka kelinci yang dipegangnya sampai terjatuh. Aku langsung menoleh padanya.     “Ah, maafkan aku. Kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil mengambil bonekanya yang terjatuh. Gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum. Aku mengembalikan bonekanya dan menyadari bahwa bonekanya sama persis dengan yang pernah diberikan Xu Qiang kepadaku. Gadis kecil itu berterima kasih padaku sebelum kembali berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia menoleh sesaat padaku saat berlari.      Aku berbalik dan kaget ketika menyadari Dr. Hirata berdiri tepat di belakangku.     “Miu-chan! Ternyata kau lari ke sana ya??? Bukannya aku sudah menyuruhmu untuk istirahat???” panggilnya dengan terengah-engah. “Miu-chan sudah dirawat di rumah sakit ini selama setahun lebih dan kami masih belum menemukan cara untuk menyembuhkannya.” jelasnya padaku “Kemungkinan penyakit yang dideritanya sama dengan ibu pangeran. Gejalanya persis sekali.” lanjutnya. Aku membelalak mendengarnya. “Tapi, tenang saja. Aku akan menemukan cara untuk menyembuhkannya karena itu adalah tugas dokter.” jawabnya optimis.      Aku tersenyum kepada Dr. Hirata sebelum tiba-tiba Xu Qiang memanggilku. Aku langsung pamit pada Dr. Hirata dan segera menemuinya. Xu Qiang menatapku tajam. “Pinjam penamu. Tinta pulpenku sudah habis.” katanya singkat. Aku mengernyit bingung saat memberikan penaku padanya. Kenapa ia malah meminjam penaku daripada Sean yang jelas-jelas merupakan asistennya?      Aku memandang pada Sean dan langsung mendapatkan tatapan tajam darinya. “Saya punya beberapa pulpen pengganti untuk anda, tuan.” kata Sean langsung. “Tidak usah. Aku sudah meminjam pena Tomoka,” jawabnya yang langsung membuatku terkena tatapan super tajam dari Sean. Aku menyadari bahwa aura Sean semakin memburuk akhir-akhir ini. Aku sedikit ketakutan melihatnya.     Kunjungan kami untuk hari itu telah berakhir. Seperti biasa, pangeran kembali diantar oleh gerombolan dokter dan staf rumah sakit. Tiba-tiba, ponsel Xu Qiang berdering. Ia terlihat bingung siapa yang meneleponnya pada jam segini. Saat melihat nama di layar ponselnya, matanya melebar terkejut.     “Ada apa?” tanyaku memandangnya. “Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawabnya langsung sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jasnya. “Aku mau ke toilet dulu sebelum pulang.” katanya pada Sean. “Oh, biar kutemani.” kataku yang langsung disambut tawanya. “Apa kau lupa jenis kelaminmu?” ejeknya hingga membuatku malu. Aku benar-benar lupa karena selalu menemaninya. “Kalau begitu, biar saya saja, tuan.” Sean langsung menawarkan diri. Xu Qiang menggeleng padanya. “Tidak perlu. Cukup satu dokter saja yang menemaniku,” katanya sambil menghampiri Dr. Hirata yang berdiri diantara kerumunan.     Xu Qiang pergi bersama Dr. Hirata dan membiarkan kami menunggunya. Sudah lebih 20 menit sejak pangeran pergi dan belum kembali juga. Sean mulai melirik jam tangannya berkali-kali. “Kenapa tuan lama sekali?” gumamnya. Aku pun berpikir hal yang sama.      Tiba-tiba, Dr. Hirata langsung berlari ke arah kami dengan wajah pucat.     “Gawat! Gawat! Pangeran menghilang!!!” teriaknya pada kami. Aku terkejut mendengarnya.     “Aku menunggunya di luar dari tadi. Tapi, pangeran tidak keluar setelah 15 menit, aku masuk ke toilet tapi tidak ada siapapun!” jelasnya dengan terburu-buru. Sean langsung menyuruh para pengawal untuk mencari Xu Qiang. Aku berpikir untuk mencarinya juga karena cemas seseorang mungkin telah menculiknya!     Ponselku tiba-tiba berdering, nomor tak dikenal muncul di layar. Aku berharap bahwa mungkin saja Xu Qiang yang menelepon. Kuangkat segera dan langsung mengenali suara yang menjawab dari seberang. Untung saja, ternyata benar Xu Qiang yang meneleponku!     “Aku menemukan petunjuk mengenai keberadaan kakakku! Aku akan mencarinya,” katanya cepat. Aku terkejut mendengarnya.     “Cepat kemari dan jangan beritahu siapapun. Aku akan mengirim pesan padamu dimana aku berada.” lanjutnya sebelum memutuskan telepon.     Aku langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud Xu Qiang dan berpikir bahwa Sean pasti akan marah besar jika tahu tentang hal ini. Xu Qiang mengirimkan pesan bahwa dia berada di salah satu jalan besar. Aku berjalan di trotoar dengan bingung mencari sosoknya yang pasti sangat mencolok diantara kerumunan orang.      Sebuah mobil hitam berhenti di sampingku tanpa ku sadari. Aku masih sibuk mencari Xu Qiang hingga tidak sadar sebuah tangan menarikku dengan paksa ke dalam mobil itu. Oh tidak, aku diculik! Ketakutan dan panik langsung menjalariku. Aku hampir berteriak sebelum tangan itu membekap mulutku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD