16 - February - When a Smile Makes You Happy

1049 Words
    “A... aku hanya ingin membuatmu bahagia... karena setelah aku datang, aku sama sekali tidak melakukan apapun untuk membuatmu tersenyum... dan kau terlihat sangat senang saat berbicara dengan Li Qun... berbeda saat berbicara denganku...” Xu Qiang terlihat seperti berbicara pada dirinya sendiri. Suaranya sangat pelan hingga aku harus menajamkan pendengaranku. Aku memaklumi karena ia pasti malu. Tapi, aku tidak akan menginterupsi perkataannya sama sekali. Aku benar-benar ingin mendengarkan apa yang ada di hatinya.     “Aku kira aku bisa membuatmu senang dengan membeli surat izin itu... tapi, ternyata kau malah marah padaku... aku benar-benar ingin melihatmu tersenyum...” gumamnya. Xu Qiang meremas tanganku dengan lembut.     Dia menunduk dan dengan suara yang lebih kecil bahkan hampir sama dengan bisikan, dia berkata, “Baru kali ini aku mengalami kesulitan untuk membuat seseorang bahagia...” wajahnya semakin memerah. Aku dapat merasakan kehangatan dari perasaannya.     “Aku minta maaf karena kupikir kau membeli surat izin itu tanpa percaya sedikitpun padaku...” ucapku.     “Dengan menunjukkan kalau kau dapat melakukan apapun, itu menyakitkanku. Tapi, ternyata kau melakukannya demi kepentinganku. Aku benar-benar minta maaf karena tidak menyadarinya...” kataku lagi sambil menggenggam tangannya lebih erat.     Aku menatap mata Xu Qiang dan seketika aku sadar bahwa aku sedih karena hanya seorang penerjemah biasa. Xu Qiang balas menatapku. “Apa kau senang?” tanyanya. Aku tidak bisa menangkap ekspresi apa yang diberikannya padaku. “Ya, aku senang sekali.” jawabku tersenyum dan mengangguk kecil.     “Seberapa besar rasa senangmu?” tanya Xu Qiang lagi. Aku bingung mendengarnya. “Apa lebih besar dari rasa senangmu saat berbicara dengan Li Qun?” lanjutnya. Aku mengangguk kembali.     “Ummm... ya...” jawabku pelan.     Xu Qiang langsung tersenyum dan menghela napas lega. Terdengar ketukan di pintu yang mengagetkan kami berdua. “Waktumu sudah habis.” Sean mengingatkanku sambil memandangku tajam.     Aku melepas genggamanku pada Xu Qiang dan ingat bahwa aku telah berjanji pada Sean. Aku melangkahkan kakiku untuk keluar dari ruangan itu padahal masih banyak yang harus kukatakan pada pangeran.     “Kau tidak usah keluar, Tomoka.” suara Xu Qiang mengagetkanku. Sean membelalak menatap pangeran.     Secara mendadak, Xu Qiang berjalan cepat ke arahku dan menggendongku tiba-tiba. Aku membelalak tak percaya atas apa yang dilakukannya. Sean pun benar-benar tercengang dengan kelakuannya.     “Batalkan makan malamku hari ini. Aku mau makan onigiri buatannya.” katanya kemudian. Aku dan Sean terkejut mendengarnya.     “Kenapa anda begitu terobsesi padanya, tuan?” tanya Sean sambil menghela napas panjang. “Dia hanya seorang penerjemah..........” belum sempat Sean melanjutkan kata-katanya, Xu Qiang telah melemparkan pandangan tajam padanya.     “Dia bukan penerjemah biasa bagiku,” kata-kata Xu Qiang benar-benar membuat jantungku berdegup lebih kencang. Ada perasaan senang saat mendengarnya. “Minggir, Sean.” Xu Qiang langsung berjalan sambil membawaku keluar dari ruangan itu.      Xu Qiang menurunkanku di kamar tidurnya. Aku benar-benar tidak dapat menutupi rona merah di pipiku. “A... apa kau tidak apa-apa pergi bersamaku?” tanyaku dengan hati-hati. Xu Qiang mengernyit memandangku. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Kau akan membuang-buang waktu berhargamu dengan bersamaku.” jawabku gugup. Xu Qiang menatapku lama.     “Apa Sean ada mengatakan sesuatu tentang statusmu?” dia memandang tajam padaku. Aku terkejut dia menebak dengan benar. Melihat ekspresiku, ia langsung menarik napas panjang.     “Jika aku membuang-buang waktuku denganmu, aku tidak akan melakukannya. Dan tentang apa yang kulakukan untuk menghabiskan waktuku, itu adalah keputusanku sendiri. Tidak ada yang berhak menentukan.” jawabnya tegas.     “Kau tidak perlu khawatir tentang hal itu. Ini perintahku, kau harus selalu ada di sisiku.” Xu Qiang menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk kecil padanya.     “Kau harus berjanji padaku. Apapun yang terjadi, jangan melarikan diri.” katanya kemudian hingga membuat aku terperangah.     Xu Qiang kembali mengangkat tubuhku hingga aku kaget dan membelalak kembali padanya. Ia meletakkanku di tempat tidurnya dan tersenyum penuh makna padaku.     “Kau belum melupakan kejadian malam itu 'kan?” ia tersenyum menggodaku.     “A... apa???” gagapku. Wajahku mulai memerah. Kuakui memang aku masih belum bisa melupakan kejadian malam itu.     Si pangeran mendekat ke arahku yang sudah sangat malu. Wajahku benar-benar akan terbakar jika ia terus mendekat. Jantungku tak berhenti berdegup kencang. Aku takut apa yang akan dilakukannya padaku. Tiba-tiba, ia tertawa keras karena melihat ekspresiku. Aku membuka mata untuk melihat apa yang terjadi.     Ternyata, Xu Qiang mengambil sebuah bantal yang ada di atas kepalaku. Ia merasa sangat geli melihat raut wajahku yang sangat malu. Xu Qiang memindahkanku kembali ke posisi duduk. Bantal yang diambilnya tadi diletakkan ke kakiku. Aku mengernyit bingung.      Xu Qiang langsung merebahkan dirinya ke kakiku. Ternyata, ia menjadikanku sebagai bantal. Aku menghela napas panjang dan tersenyum geli. Dia masih tertawa melihat tingkahku.     “Bacakan buku itu untukku. Aku ingin tahu buku seperti apa yang membuatmu bisa begitu antusias.” perintahnya. Aku tersenyum karena ia ingin mengetahui lebih tentang diriku. Entah kenapa, aku merasa sangat bahagia dengan hal itu. “Tapi, kau tidak perlu menjadikanku sebagai bantal 'kan ?” heranku. Xu Qiang memejamkan matanya dan dengan tenang menjawab, “Aku sudah membuatmu senang. Tentulah aku harus mendapatkan imbalannya.”     Aku tertawa mendengarnya. Xu Qiang benar-benar seperti anak kecil yang sedang meminta permen. “Kau masih tetap kurus ya?” komentarnya hingga membuatku terkejut. “Terakhir kali aku menggendongmu adalah malam itu. Berat badanmu tidak berubah sama sekali.” lanjutnya hingga membuatku tersipu kembali. “A... apa kau masih ingat kejadian malam itu?” tanyaku dengan berharap. “Tentu saja aku ingat.” jawabnya langsung. Aku merasa bahagia karena ternyata ia begitu perhatian padaku. Diam-diam, bibirku membentuk sebuah senyum yang tidak dapat kuhilangkan.     Aku mulai membacakan buku Ivonne untuknya. Buku itu bercerita tentang seorang anak laki-laki yang tersesat di dunia lain karena mencari kakak sulungnya. Xu Qiang tiba-tiba membuka matanya dan terlihat merenung.     “Mirip denganku...” katanya pelan. Aku berhenti membaca dan memberikan pandangan bertanya. Xu Qiang terdiam cukup lama.     “Aku akan memberitahumu sebuah rahasia...” lanjutnya hingga membuatku begitu penasaran.     “Sebenarnya ada alasan lain aku datang ke Jepang selain melakukan kunjungan medis. Aku sedang mencari saudara tiriku.” kata-katanya langsung membuatku terkejut. Xu Qiang mengangguk pelan. “Satu-satunya yang tahu tentang rahasia ini hanyalah aku dan ayah.” ucapnya. “Jadi, kenapa kau memberitahuku rahasia ini?” tanyaku. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin kau tahu saja.” jawabnya menatapku. “Aku ingin kau mengetahui tentang perasaanku... tentang ide-ideku... pemikiranku...” gumamnya. Tangannya meraih pipiku.     “Kau berbeda dengan orang-orang yang pernah kutemui. Saat bersamamu, aku merasa sangat tenang walaupun mungkin kau adalah seorang mata-mata. Tapi, aku tidak menyesal mengatakannya padamu.” kata Xu Qiang. Ia tersenyum padaku. Aku melebarkan mataku memandangnya. “Aku bukan mata-mata!” jawabku langsung. Ia tertawa mendengarnya. “Aku tahu. Itu 'kan hanya 'mungkin'. Dan lagi, mana mungkin ada mata-mata bodoh sepertimu???” dia tersenyum dan mencubit pipiku dengan lembut. “Lanjutkan ceritanya.” perintahnya lagi.             Aku terus membacakan cerita untuknya hingga larut malam. Kami sama sekali tidak mengantuk. Setelah aku selesai membacakannya, kami mengobrol tentang banyak hal sambil menikmati onigiri buatanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD