Aku menawari Jun untuk membeli beberapa kue manju sebagai oleh-oleh. Kami banyak membicarakan tempat pariwisata yang menarik di Jepang. Seorang pelayan membawakan dua cangkir teh, “Permisi, tuan. Ini teh anda.” katanya. “Ah, terima kasih.” Jun tersenyum lebar hingga membuat wajah pelayan itu bersemu merah. Aku berpikir bahwa senyum Jun merupakan senjata yang mematikan dan pelayan itu tidak akan tahu seberapa berbisanya lidah Jun jika berbicara. Aku tersenyum diam-diam sambil menyeruput tehku. “Kenapa kau meninggalkan Xu Qiang?” tanya Jun tiba-tiba hingga membuatku tersedak langsung. “Kenapa kau menanyakan hal itu di sini...” aku membelalak padanya. “Tidak ada orang di sekeliling kita yang mengerti apa yang kita bicarakan. Bukan karena kau tidak mencintainya lagi ‘k