57 - June - Second Chance

1192 Words
    Aku menawari Jun untuk membeli beberapa kue manju sebagai oleh-oleh. Kami banyak membicarakan tempat pariwisata yang menarik di Jepang. Seorang pelayan membawakan dua cangkir teh, “Permisi, tuan. Ini teh anda.” katanya. “Ah, terima kasih.” Jun tersenyum lebar hingga membuat wajah pelayan itu bersemu merah.     Aku berpikir bahwa senyum Jun merupakan senjata yang mematikan dan pelayan itu tidak akan tahu seberapa berbisanya lidah Jun jika berbicara. Aku tersenyum diam-diam sambil menyeruput tehku.     “Kenapa kau meninggalkan Xu Qiang?” tanya Jun tiba-tiba hingga membuatku tersedak langsung.     “Kenapa kau menanyakan hal itu di sini...” aku membelalak padanya.     “Tidak ada orang di sekeliling kita yang mengerti apa yang kita bicarakan. Bukan karena kau tidak mencintainya lagi ‘kan makanya kau meninggalkannya?” Jun nampaknya tidak peduli jika ada yang mendengarnya.     “Perasaanku untuknya sama sekali tidak berubah. Bahkan sampai sekarang,” aku mengalihkan pandanganku ke rerumputan.     “Jadi, kenapa kau meninggalkannya?” tanya Jun lagi.     “Karena aku mencintainya... karena dia sangat berarti bagiku. Aku meninggalkannya demi kebaikannya,” jawabku pilu.     “Demi kebaikannya ya...” Jun kembali menyeruput tehnya. Ia kemudian menghela napas panjang.     “Aku kasihan padanya. Dicampakkan hanya karena dia seorang pangeran,” katanya langsung. Aku langsung membelalak memandangnya, “Apa???”     “Aku rasa kau hanya menganggapnya sebagai cinta sesaat, bukan? Tapi, baginya berbeda. Apa kau tahu seberapa besarnya rasa cintanya untukmu? Dia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya padamu walaupun ia dibesarkan dari kecil dan diajarkan untuk terus menjaga posisinya sebagai seorang pangeran. Dengan pemikiran seperti itu, perasaannya padamu bahkan bisa bertahan lama. Sedangkan apa yang kau lakukan? Mencampakkannya begitu saja tanpa memikirkan pengorbanannya?” kata-kata Jun benar-benar menusukku. Aku benar-benar terkejut dan merasa sesak di dadaku. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku setelah mendengar ucapan Jun.     Apa penyelesaianku??? Apa yang bisa aku lakukan untuknya??? Kata-kata Jun menusuk dalam hatiku. Aku benar-benar terobsesi hanya untuk melindungi Xu Qiang dan aku melupakan bahwa aku juga ingin membuatnya bahagia... Tapi, apa kebahagiaan yang sesuangguhnya bagi sang pangeran...? Aku tidak pernah bertanya padanya. Aku hanya memutuskannya bahw ia akan bahagia tanpa diriku...     Hatiku terasa sangat sesak hingga menyakitkan dadaku. Penyesalan pelan-pelan mulai merayapiku. Ini berarti Xu Qiang seharusnya telah memutuskan apa yang terbaik untuknya, melakukan tugas-tugasnya untuk masyarakatnya tanpa berhenti mencintaiku.     Mungkin akulah yang paling terpengaruh dengan gelarnya sebagai ‘pangeran’. Apakah keputusanku benar? Aku mulai meragukannya.     “Melihat ekspresimu, aku tahu kalau kau pasti sedang menyesali keputusanmu, bukan?” tanya Jun.     “...ya...” jawabku lirih.     “Aku harus menemuinya sekali lagi... aku ingin tahu apa yang dirasakannya... dan berdasarkan itu, aku akan mulai berpikir keras apa yang seharusnya kulakukan demi kebaikannya...” aku memandang Jun dan mengangguk dalam diam lagi.     “Aku memanggilmu kemari karena aku ingin mendengar jawaban seperti itu dari mulutmu langsung. Aku telah memastikan perasaanmu padanya. Aku tidak membutuhkanmu sebagai penerjemah lagi setelah hari ini,” Jun tersenyum memandangku yang terkejut.     “Apa? Apa kau yakin?” tanyaku. Jun tertawa melihat ekspresiku.     “Kurasa aku dapat mempercayaimu untuk menjaga Xu Qiang. Tolong berikan dia dukungan terbaikmu,” saat Jun mengatakan ini, aku dapat melihat senyum tulusnya sebagai seorang sahabat. Ia memandangku dengan sangat ramah.                                                                                           ***       Aku berterima kasih pada Jun karena berkat kata-katanya, hatiku mulai berubah. Aku melupakan kesedihanku dan berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku mulai mencoba untuk menghadapi kesalahanku sendiri... tapi, apa yang harus kulakukan dari saat ini? Aku harus memikirkannya dengan serius.     Aku masih merasa depresi, hanya pada bagian itulah yang tidak berubah pada diriku. Dengan terus mengingatkan diriku akan hal itu, aku terus melanjutkan pekerjaanku. Ketika aku akan tenggelam dalam tumpukan dokumen, aku mendengar Aya berseru lantang.     “Masalah serius telah melanda China!” katanya. Aku membelalakkan mata mendengarnya.     “Apa???” ketika aku memandangnya, Aya langsung mengambil remote TV dan menekannya. Aku langsung beranjak dan bergabung dengannya di depan TV kantor. Ternyata berita siang sedang berlangsung.     “...Presiden China sampai saat ini masih belum sadarkan diri. Sementara itu masih belum ada tanda-tanda akan membaiknya perekonomian China. Masyarakat China mulai melancarkan protes mereka karena ketidakpuasan dengan sikap pemerintah. Terjadi banyak unjuk rasa di beberapa tempat...”     “Pangeran berkilaumu sepertinya sedang dalam masalah. Tomoka, apa kau masih belum mengontaknya sama sekali?” tanya Aya.     “Be-belum, belum ada semenjak aku kembali...” jawabku dengan jantung berdentum keras. Aya mengangguk sambil menerawang memandang berita kembali.     Di dalam pikiranku, aku dapat membayangkan wajah Xu Qiang. Aku mulai merenung apa yang sedang dipikirkan olehnya saat ini. Aku juga berpikir apa yang terjadi dengan masalah pernikahannya bersama putri Garel. Jika aku berangkat sekarang, apakah aku masih sempat? Apakah aku masih memiliki kekuatan untuk mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya padanya?     Tapi, jika aku ke sana sebagai penerjemah biasa, tentu saja para pengawal istana tidak akan membiarkanku masuk hanya untuk menemui sang pangeran. Sekarang aku baru menyesali bahwa akulah yang terlebih dahulu memutuskan hubunganku dengannya. Pria yang sangat ingin kutemui sekarang berada di tempat yang jauh dari jangkauanku.     “Tomoka, ada telepon untukmu di line 1.” suara Pak Fuji mengagetkanku.     “Untukku?” heranku. Pak Fuji mengangguk. “Ya. Ada permintaan untukmu sebagai penerjemah lagi,” jawabnya. Aku mengerutkan kening. “Penerjemah? Siapa lagi kali ini?” gumamku sambil berjalan ke arah telepon. Pak Fuji hanya tersenyum dan terlihat geli sendiri hingga membuatku semakin penasaran.     “Itu dari Sean Lu.” jelasnya.     Apa??? Sean??? kagetku dalam hati.     Aku mengambil telepon itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Banyak pertanyaan yang mulai bermunculan dipikiranku.     “Ha... halo?” suaraku mulai gugup saat aku menjawab telepon itu dengan terburu-buru.     “Tomoka, lama tidak mendengar suaramu,” sebuah suara yang sangat familiar di telingaku membuat jantungku berdegup keras. Ini benar-benar suara Sean. Ada apa dia meneleponku? Dari semua kenangan yang bisa kuingat mengenainya hanyalah Sean selalu bersikap dingin padaku.     Ketika aku berpisah dengan Xu Qiang dan kembali ke Jepang pun kurasa Sean pasti sangat gembira. Aku jadi tidak bisa memikirkan satu alasan pun yang membuatnya meneleponku saat ini.     “Um... apa ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku pelan.     “Dalam beberapa hari lagi, tuan Xu Qiang dan pangeran Damian akan mengadakan pertemuan rahasia. Kami membutuhkan penerjemah terbaik untuk pertemuan itu dan bukankah kau juga bisa berbahasa Mongolia?” Sean terdengar sangat serius.     “Y... ya...” jawabku terkejut karena pertanyaan seperti itu.     “Apa kau masih mencintai tuan Xu Qiang?” kata-kata Sean selanjutnya benar-benar membuatku terkejut dan membelalak.     “Jika kau masih tulus mencintainya, kau harus datang kemari dan membantunya.” suara Sean semakin serius dari yang pernah kudengar sebelumnya. Aku dapat merasakan Sean sangat khawatir tentang Xu Qiang dari lubuk hatinya.     Jika Sean menghubungiku, berarti ia telah berpikir ada yang bisa kulakukan untuk Xu Qiang. Aku ingin meminjamkan kekuatanku pada Xu Qiang... aku ingin membantunya...     Aku menarik napas dalam-dalam dan memegang gagang telepon lebih erat.     “Aku... aku akan melakukannya!” jawabku.     Saat aku menjawab seperti itu, aku menyadari sesuatu dari dalam diriku. Aku tidak peduli seberapa banyak pengorbanan yang akan kuberikan untuk membantu Xu Qiang. Bahkan jika aku tidak bisa berada di sisinya dan bahkan jika aku tidak bisa memberitahunya perasaanku yang sesungguhnya... dia adalah satu-satunya pria yang kucintai...     Aku ingin menggunakan seluruh kekuatanku untuk membantunya melebihi apapun juga. Itulah penyelesaianku untuknya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD