Aku mendengar Tomoka berbicara terlalu formal padaku hingga membuatku risih. Bagaimana aku bisa menikmati kehidupan di luar sana jika ia terus-terusan mengingatkan posisiku dengan kata-katanya?
Aku benar-benar sangat tertarik melihat dunia luar yang menurutku sangat indah berkelap-kelip dengan banyaknya orang yang lalu lalang. Mereka terlihat sangat bebas. Mungkin kedengarannya agak sedikit aneh. Tapi, walaupun aku pangeran yang pandai dalam teori & pemerintahan, aku tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan rakyat biasa. Beberapa hal cukup mengherankanku seperti televisi raksasa yang diletakkan diatas gedung bertingkat, mesin penjual minuman otomatis dan lainnya. Tomoka sangat sabar menjawab semua pertanyaanku. Mungkin dipikirnya aku seperti anak kecil yang baru pertama kali keluar rumah. Biarkan saja!
Aroma yang menggiurkan masuk ke dalam rongga hidungku. Tomoka bilang itu adalah takoyaki, semacam jajanan khas Jepang. Ia menyodorkan padaku sebuah tusuk gigi. Untuk apa? Oh, ternyata dia menawarkan padaku untuk mencicipinya. Tapi, yang benar saja! Aku harus makan makanan itu begitu saja??? Siapa tahu penjual itu adalah teroris yang menyamar untuk mengincarku. Ya, hidupku memang penuh dengan kewaspadaan.
Kusuruh dia untuk mencicipi terlebih dahulu seperti yang biasa dilakukan Sean. Begitu aku yakin tidak ada racun didalamnya, aku langsung memakan bola bersaus itu. Panas sekali! Tapi, setelah aku terbiasa rasanya mendadak menjadi luar biasa! Kenyal tapi enak sekali! Aku benar-benar heran bagaimana mereka bisa menjual makanan seenak ini dengan harga murah.
Aku benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan takoyaki ini. Aku terus memakan semuanya sampai habis. Begitu kami selesai, Aku mengajaknya untuk melihat tempat lain lagi. Tapi, tiba-tiba seorang pria paruh baya menahan Tomoka. Ada apa? Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya ekspresi Tomoka tidak terlalu senang. Aku langsung bertanya padanya. Ternyata pria itu ingin menjadikanku model. Hmph, apa dia sanggup membiayaiku??? Hahaha...
Tiba-tiba, Tomoka meringis kesakitan karena pria itu menahan bahunya kuat sekali. Entah kenapa aku langsung menyingkirkan tangan pria itu. Ada perasaan kesal yang muncul di hatiku. Mungkin karena dia mengganggu acara jalan-jalan malamku.
Setelah kejadian itu, ada sebuah tempat yang menarik perhatianku. Mesin-mesin yang berkelap-kelip dengan musik yang seru. Tomoka mengatakan itu adalah game centre, tempat pusat permainan yang ramai dikunjungi orang.
Mata Tomoka tersorot ke arah seorang gadis muda yang memeluk sebuah boneka kelinci putih. Saat ia mengatakan “Lucu sekali bonekanya...” aku jadi ingin memberikan boneka itu untuknya juga. Yah, anggap saja sebagai imbalan takoyaki tadi. Percobaan pertamaku pada mesin pencakar itu langsung gagal total. Aku yang tidak biasanya gagal dalam apapun jadi kesal sekali. Entah sudah berapa kali aku mencoba untuk mengambil boneka itu. Tapi, tetap saja gagal. Tomoka sabar sekali menungguku yang masih mencoba mesin itu.
Aku berhasil mendapatkannya! Yah, walaupun setelah percobaan yang ke-100 sepertinya. Aku langsung memberikan boneka itu pada Tomoka yang kelihatan kebingungan. Ekspresinya lucu sekali. Aku jadi tertawa melihatnya. Saat ia mengucapkan terima kasih, aku sedikit tersipu dengan senyumannya yang manis sekali...
Sean menemukan kami akhirnya. Dia benar-benar marah karena aku berhasil kabur di bawah hidungnya. Tapi, yang kupikirkan sekarang adalah dia pasti akan menyalahkan Tomoka yang pergi bersamaku. Ternyata benar dugaanku, Sean membentak Tomoka. Aku jadi iba melihat wajah Tomoka yang merasa sangat bersalah itu.
Yang lebih membuatku tersentak adalah Sean ingin memecat Tomoka sebagai penerjemahku. Ini salahku, aku tidak bisa membiarkan dia yang menanggung perbuatanku. Aku langsung mengatakan pada Sean bahwa aku tidak ingin ada pengganti penerjemah. Aku sudah cukup senang Tomoka mau menemaniku dan bersikap layaknya teman bagiku.
Aku langsung menyelamatkan Tomoka dan membawanya kembali ke kamarnya. Baru pertama kali aku meminta maaf pada orang lain selain keluargaku. Aku senang keluar dengannya dan dia juga bersedia menjadi temanku!
Aku jadi berpikir aku harus berterima kasih padanya. Dia benar-benar mengajarkan banyak hal padaku dan aku tidak bisa memberikan materi sebagai gantinya. Dia bisa tersinggung. Aku jadi ingat ketika aku mengecup sepupu perempuanku saat dia ulang tahun, dia sangat senang sekali. Mungkin aku bisa membuatnya senang...
Saat aku mengecup bibirnya, Tomoka terdiam. Nah, aku benar 'kan? Para wanita menyukai hal seperti itu. Tapi, tak sampai sepuluh detik, ia langsung mendorongku! Kelihatannya dia marah. Aku jadi bingung. Dia menjelaskan padaku bahwa seharusnya aku hanya melakukannya pada orang yang kusukai. Dia mengusirku akhirnya. Tapi, sebenarnya sewaktu aku melakukannya, aku dapat mendengar jantung Tomoka berdegup kencang. Wajahnya sedikit memerah. Tapi, mungkin itu hanya perasaanku. Aku tertawa karena wajahnya semakin merah saat aku mengatakan hal itu padanya.
***
Keesokan paginya, aku terbangun karena suara-suara dari luar kamarku. Sepertinya mereka sudah bangun, pikirku. Aku segera mandi dan merapikan diriku sebelum keluar.
“Jadwal hari ini hanya kunjungan ke perusahaan Tomoya setelah makan siang, tuan,” suara Sean langsung terdengar saat aku membuka pintu kamarku. Xu Qiang mengangguk sekilas dan memandangku yang keluar dari kamar.
“Kau sudah bangun? Cepat, sarapan,” katanya. Aku mengangguk dengan wajah tersipu karena masih mengingat kejadian kemarin. Tapi, nampaknya Xu Qiang bersikap biasa saja. Nada angkuhnya kembali terdengar, berbeda dengan malam itu.
Aku mengambil tempat duduk di samping Xu Qiang. Semua makanan yang tersaji benar-benar mewah dan membuat air ludahku hampir mengalir. Belum beberapa detik, Sean menepuk lenganku agar menoleh.
“Tempatmu di sana. Bukan di sini,” katanya dingin sambil menunjuk sebuah meja kecil di sudut dengan beberapa makanan yang kelihatan enak. Ah ya, aku lupa kalau aku ini hanya rakyat jelata. Mana mungkin bisa makan satu meja dengan pangeran.
Aku segera bangkit dari tempatku dan menuju sudut ruangan. Makanan yang disajikan untukku walaupun tidak semewah milik Xu Qiang, tapi tetap kelihatan enak.
“Ohh, ini enak sekali!” gumamku saat sesuap omelet masuk ke dalam mulutku. Aku makan dengan sangat bersemangat. Belum pernah aku menikmati makanan selezat ini. Xu Qiang menoleh ke arahku yang membelakanginya.
“Sudah jauh-jauh datang ke Jepang, kenapa sarapanku selalu sama seperti di China?” katanya dengan bosan.
“Maaf tuan. Itu untuk menjaga asupan gizi anda.” jawab Sean. Xu Qiang memberengut sebal.
“Hey, kau! Bawa makananmu ke sini. Aku mau melihat caramu makan. Sepertinya enak sekali.” katanya angkuh. Tapi, aku dapat melihat bahwa sebenarnya Xu Qiang merasa bosan dengan makan sendirian.
Belum sempat aku berkata apa-apa, Sean langsung mengangkat piringku ke meja makan. Wajahnya terlihat mencibir tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Aku pindah ke samping Xu Qiang. Dia diam saja dan melanjutkan makannya. Karena tidak bicara apapun, aku kembali makan dengan lahapnya. Diam-diam, Xu Qiang memandang cara makanku yang sangat bersemangat. Ia meletakkan sendoknya dan bersandar sambil melihatku yang tidak menyadari tatapannya. Ia terkekeh pelan hingga aku menoleh padanya.
“Kau semangat sekali. Aku tidak pernah melihat orang sepertimu. Sepertinya kau sangat menikmati makananmu.” komentarnya.
“Memang. Makanan ini enak sekali. Kau tidak makan?” tanyaku polos.
“Aku sudah kenyang. Lebih seru melihatmu makan seperti itu. Sampai-sampai kau tidak menyadari wajahmu berantakan.” tawanya.
Xu Qiang meraih tepi bibirku yang ternyata belepotan dengan makanan. Aku tersipu malu. Sean tiba-tiba berdeham hingga aku segera menarik wajahku menjauh dari tangannya. Aku harus sadar diri, pikirku. Aku melirik Sean dan ternyata ia sedang menatapku tajam.