3

1040 Words
Hujan membasahi bumi pagi ini. Suara gemericik air, suara katak yang bernyanyi—musim kawin dan suhu udara yang sejuk dan segar membuatku begitu menikmati ini. Pelajaran Kimia telah usai dan kini aku tengah menikmati istirahat jam pertama. "Baal, nggak ke kantin?" tanya Fares. Aku menggeleng pelan. "Nggak, udah nitip Fira," jawabku. Fares hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya lalu duduk di sebelahku. "Mau aja Fira kamu suruh-suruh," ujar Fares iri. "Ya kamu nitip aja juga kalau mau, dia kan hobby banget ke kantin," usulku. Fares hanya tersenyum kecut. "Nitip dia, matilah aku!" gerutunya lemah. "Kok mati? Nitip doang," kataku heran. Fares nggak ngejawab, hanya memandang Ally yang sedang bicara dengan teman-teman cewekku yang lain. "Kalian marahan?" tanyaku mencoba menafsirkan muka melas Fares. Fares mengangguk. "Kok bisa? Bukannya kemarin masih baik-baik aja, kamu bahkan beliin semua yang dia minta," kataku heran. Fares menghela napas panjang. "Nah itu, malamnya aku ngajak dia ketemuan, kencan gitulah!" cerita Fares. "Lantas?" tanyaku, memancing Fares agar bercerita lebih. Fares menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, mulai ngerasa nyaman buat curhat. "Dia ngecek Hp-ku, di sana emang aku suka nyimpen foto member JKT-48 kesukaanku. Dia melihatnya dan ngamuk-ngamuk," cerita Fares dengan wajah mengenaskan. "Kenapa?" tanyaku bingung. "Cemburu," jawab Fares. "Lah, kan cuma foto artis, nggak apa-apa, dong? Ally juga suka nyimpen foto oppa-nya, ya nggak?" tanyaku. Fares menepuk pundakku pelan. "Baal, hukum kekekalan wanita : wanita selalu benar, bahkan meski salah, lelaki harus ngalah." jelas Fares yang langsung membuatku sedikit ngeri. Sejak kapan ada hukum begitu? Jika setiap wanita menganut hukum itu, lalu kapan lelaki benernya? "Kok gitu aja marah, sih? Trus kamu nggak minta maaf?" tanyaku lagi. "Udah," kata Fares. "Dimaafin?" Fares menggelengkan kepalanya. "Nggak, Ally tuh kalau ngambek dua hari dua malam, bahkan aku pernah nggak disapa seminggu," cerita Fares. "Waduh, parah. Nggak minta putus?" tanyaku. Fares menyipitkan matanya. "Jangankan minta putus, Baal. Aku bilang risih aja sama sikapnya dia cekik," jawab Fares sambil berwajah lemas. Aku rasa dia nggak bohong soal itu. "Padahal udah setahun lebih, kupikir kamu betah sama dia karena cinta eh nggak tahunya karena takut," kataku. Fares hanya diam, aku rasa dia sudah kehilangan masa mudanya. Ngomongin soal pacar, aku rasa pacarku-ya si Redha itu, nggak jauh serem dari Ally. "Ah iya, pacarmu nggak nelpon kamu Baal?" tanya Fares. "Heh? Siapa?" tanyaku masih memastikan siapa yang Fares maksud walau sudah jelas. "Redha," jawab Fares. "Oh, dia nggak nelpon aku tuh!" kataku. Fares menggaruk-garuk kepalanya. "Aneh, padahal udah aku kasih nomermu," gumam Fares heran. Aku nyaris menjerit saat kudengar apa yang Fares katakan barusan. "Kamu ngasih nomerku? Waduh, parah! Ijin dulu napa," protesku. "Dih, biasa aja kali, Baal! Lagian kan dia pacarmu." Fares beralasan. "Lalu kenapa kalau dia pacarku? Kalau dia mau, harusnya dia minta sendiri ya kan?" Aku mulai kesal. "Sorrylah, sorry." Fares memasang muka memelas membuatku menjadi nggak tega. Terlebih dia baru saja teraniaya. Doa orang yang teraniaya itu disegerakan jadi nggak ada pilihan selain memaafkannya. "Yaudah, jangan diulangi,” kataku mengalah Fares hanya mengangguk sambil nyengir. "Tapi beneran nggak ada yang nelpon atau wa kamu gitu, Baal?" tanya Fares nggak percaya, kembali ke pembicaraan awal. "Beneran, nggak ada," jawabku yakin. "Nggak ada nomer baru gitu?" tanya Fares lagi. "Nggak ada sih, cuma semalem aku diteror," kataku mulai teringat sama kejadian aneh yang kualami kemarin. "Diteror gimana?" tanya Fares heran. "Ada nomer pribadi yang nelponin aku mulu tapi kalau kuangkat cuma berdesis gitu," ceritaku kembali mengulang kejadian mengerikan yang kualami tadi malam. "Orang iseng kali," tebak Fares. "Orang iseng nelponin sampai puluhan kali?" tanyaku membuat Fares langsung bergidik ngeri. "Duh serem, yakin tuh bukan setan?" Fares memegang tenguknya, aku yakin dia lagi-lagi berimajinasi soal hantu, setan, jin atau golongan tak kasat mata lainnya. "Mana ada hantu bisa nelpon, Res? Kamu pikir di alam baka ada yang jual handphone berikut pulsanya?" gurauku. Fares hanya mengangkat kedua bahunya. "Mungkin aja, kan zaman now," sahut Fares. "Ngawur," desisku. Fares nyengir, memamerkan deretan giginya yang besar-besar. "Eh, itu Fira!" tunjuk Fares ke luar di mana Fira terlihat dari kejauhan dan kesulitan membawa makanan dan minuman. "Aku bantu dia dulu," kataku lalu beranjak dari kursiku. Aku menghampiri Fira dengan setengah berlari agar cepat sampai. Aku ingin segera membantunya, terlebih dia sudah membelikan makanan dan minuman pesananku. Hitung-hitung sebagai balas budi. "Fir," panggilku sambil senyum lebar.           "Oh, Iqbaal!" kulihat mata Fira yang tampak berbinar-binar. Sepertinya dia senang karena aku membantunya. Aku mengambil sebagian makanan dan minuman yang dia bawa. Kami pun berjalan beriringan menuju kelasku. Sampai di kelas, aku segera meletakkan makanan dan minuman itu di bangku Fira. "Aku ambil punyaku ya, Fir," izinku pada Fira. Fira hanya tersenyum manis. "Oke, Baal," katanya. "Thanks," kataku sebelum meninggalkan bangku Fira. Aku kembali ke bangkuku dan melihat Fares yang sudah bermuka kayak orang ngiler. "Kalau mau, beli," kataku segera membuat Fares langsung melipat bibirnya ke dalam. "Pelit," dengusnya kesal. "Bodo amat," kataku sambil nyengir. Fares meringis kesal. "Baal, dicariin tuh," katanya sambil menunjuk ke pintu kelas. Aku sedikit mengerjap, nggak percaya juga saat melihat Redha sudah berdiri di pintu kelasku. Tanpa menunggu lama, aku segera menghampiri Redha. "Ada apa?" tanyaku. Redha nggak menjawab, hanya memandangku tanpa ekspresi. "Ikut," suruhnya lalu berjalan duluan tanpa menunggu jawaban dariku seolah apa yang ia suruh mutlak harus dipatuhi. Kami berjalan dengan dia di depan dan aku di belakang. lalu dia berhenti saat kami nyaris tiba di parkiran. Dia menoleh kiri-kanan, seperti memastikan keadaan aman dan sepi lalu tiba-tiba melayangkan sebuah pukulan ke arah perut membuatku langsung meringis kesakitan. Aku nyaris muntah kalau saja dia nggak menarik kerah bajuku. "Aku harus menelponmu puluhan kali hanya untuk mencari keberanian menelponmu karena malu dan deg-deg.an tapi hari ini kamu malah tersenyum ke perempuan lain. Kamu bosan hidup huh?" katanya dengan geram. "Hah?!" "Jangan senyum ke cewek lain," tekannya. "Senyum ke aku! Cepetan!" perintahnya lagi. Aku pun terpaksa menarik sudut bibirku, kaku mencoba melakukan senyuman walau aku yakin pasti kelihatannya akan sangat mengerikan jika aku berkaca. Redha tersenyum cerah. "Good, Poochy!" pujinya lalu melepas tangannya dari kerah baju seragamku. "Yasudah, nanti kutelpon ya!" katanya lalu pergi, begitu saja, tanpa berbalik lagi. Kulihat ia hanya berlari-lari kecil dengan sesekali bersiul girang. Aku menghela napas panjang lalu kembali ke kelasku. Saat melihat Fira melemparkan senyum, aku hanya menundukkan kepala. Fira yang melihatku begitu tampak kesal. Maaf, Fir. Ini demi perpanjangan masa hidupku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD