2

1054 Words
Hari ini kelasku melakukan percobaan Biologi di jam kedua. Materinya tentang respirasi. Kami diharuskan melakukan percobaan untuk membuktikan bahwa makhluk hidup mengeluarkan karbondioksida sebagai sisa dari proses respirasi atau pernapasan. Untuk itu kami membawa berbagai macam alat yang diperlukan untuk percobaan kali ini seperti jangkrik, tabung, pipa respirasi, eosin dan lain-lain.             Selesai  melakukan percobaan, kami  diistirahatkan lebih awal oleh guru kami. Hanya tinggal menulis laporan yang akan dikumpulkan minggu depan. Kali ini, aku sekelompok dengan Fahmi, Fira dan Lutfi.             Saat percobaan usai, semua teman cewekku dan sebagian teman cowok segera keluar dari lab sehingga tinggal aku dan tiga teman cowokku yang lain. Kelasku terdiri dari 7 cowok keren. Setelah merapikan alat tulisku, aku pun keluar dari lab Biologi. Awalnya aku mau langsung ke kelas tetapi dicegah Fares. "Baal, nggak mau ke kantin aja dulu?" tanya Fares mengusulkan. "Boleh deh, ke kantin aja dulu. Haus," jawabku setuju. "Kamu gimana, Ryaz?" tanyaku pada Ryaz yang juga berjalan denganku dan Fares menuju kelas. Sementara Fahmi, Farid, Yoga dan Anton sudah  jalan duluan ke  kelas. "Nggak, deh uangku ada di tas," tolak Ryaz. "Pake uangku dululah," Fares menawarkan. "Nggak apa-apa, nih?" tanya Ryaz merasa sungkan. "Nggak apa-apa, kita kan temen," jawab Fares. "Sayang!!!" Teriakan itu membuat Fares seketika berhenti dan menoleh ke belakang. Aku melihat Ally, pacar Fares berlari mendekat. "Kenapa, Yang?" tanya Fares begitu Ally sudah berada di depannya. "Mau ke kantin ya?" tanya Ally tanpa memperdulikan pertanyaan Fares sebelumnya. Fares mengangguk mengiyakan. "Iya, kenapa?" tanya Fares lagi. "Beliin aku air mineral dingin, batagor dan kertas folio, dong," jawab Ally dengan nada manja. "Oke, uangnya mana?" tanya Fares meminta uang untuk semua barang itu. "Ya pake uangmu, dong," jawab Ally santai. Fares mengerucutkan sedikit bibirnya. "Lah, sayang aku nggak bawa uang banyak hari ini," kata Fares protes. Ally memanyunkan bibirnya. Ekspresi mukanya terlihat BT. "Tuh, demi pacar nggak mau berkorban, perhitungan amat sih! Dasar cowok pelit!" gerutu Ally. "Heh? Bukan gitu, Yang, maksudku-." "Tauk!! BT!" potong Ally cepat. Beberapa detik kemudian aku melihatnya mulai terisak. "Jahat!! Hiks." Ally mulai menangis dan membuat Fares panik. "Ya ampun, Yang. Jangan nangis, dong!" Fares mulai panik. Dia menggaruk-garuk kepalanya dan berwajah seperti maling yang baru saja ketahuan. Bingung. "Iya, iya, aku beliin," kata Fares. Ally tiba-tiba tersenyum sambil menghapus air matanya. Wajahnya yang awalnya merah kembali putih. "Nah gitu, dong. Makasih, Sayang," katanya lalu mencubit gemes pipi Fares. "Aku sayang banget sama kamu," katanya lalu pergi meninggalkan Fares yang hanya mampu menghela napas berat. Ryaz menepuk pelan pundak Fares. "Aku turut prihatin, Bro," kata Ryaz ikut berbelasungkawa. Aku hanya bergidik ngeri melihat Fares yang mulai berwajah lesu seolah rohnya baru saja melayang dari raganya. "Aku ke kelas aja, ambil uang. Kasihan kamu!" kata Ryaz lalu pergi sehingga hanya tinggallah aku dan Fares berdua. Fares hanya senyum dikit saat melihatku melongo menatapnya. "Makanya Baal, kusarankan kamu jangan mau dijadiin b***k cewek. Mereka mengerikan," ujar Fares. Aku hanya tersenyum kecut. "Kalau mengerikan kenapa kamu maksa aku buat jadian sama cewek yang nggak kukenal huh?" sindirku. Fares mendadak nyengir. "Oh, aku lupa! Kau juga udah taken ya, Baal. Jadi sudah punya nomer pacarmu?" tanya Fares yang mendadak semangat lagi. Aku menggeleng pelan. "Lah, gimana sih! Pacaran kok nggak tahu nomernya, kemarin kamu ngapain aja?" tanya Fares heran. "Ya, kenalan doang trus nembak. Eh malah diterima, apes," jawabku. Fares cekikikan, puas amat aku jadian sama cewek nggak dikenal. "Nggak apa-apa, lagian cewek itu nggak mungkin betah sama kamu. Atau kalau dia berulah, putusin aja Baal!" kata Fares ngasih saran. "Sok nasehatin, kamu tuh kalau menderita putusin aja Ally!" gerutuku kesal. Fares hanya nyengir kaku. "Nggak bisa," katanya. "Segitu cintanya?" tanyaku. Fares tersenyum getir. "Jangankan minta putus, aku balas chat cewek aja dia banting Hpku." kata Fares sambil menghela napas panjang. "Aku masih sayang nyawaku," kata Fares dengan pandangan mata kosong seolah dia benar-benar pernah mengalami hal buruk karena seorang Ally. Aku merasa nggak perlu khawatir. Walau pun udah taken, aku nggak kenal siapa pacarku. Kalau ketemu dia lagi, aku bakal putusin. Aku keluar dari kantin dan melambaikan tangan pada Fares yang jalan duluan karena Ally benci keterlambatan. Udah minta dibeliin minta cepat pula. Sungguh cewek yang mengerikan. Deg! Aku melihat Redha—pacarku berjalan pelan dari ruang guru menuju kantin. Aku rasa dia akan segera berpapasan denganku jika tetap stay di sini. Penampilanku saat ini sangat kucel dan penuh keringat, jadi akan malu sekali jika bertemu dengannya. Aku pun mengambil tisu yang baru saja kubeli, kuusap keringatku lalu mulai jalan ke kelasku, berharap dia nggak lihat. Aku terus jalan cepat dan saat aku tinggal berbalik dari lab biologi yang berada di ujung, tubuhku ditarik masuk ke celah sempit antara lab biologi dan tembok sekolah. "Mau kemana, Baal?" tanyanya dengan halus. Aku yang tersudut dengan tubuh menempel ke tembok sementara Redha di depanku dengan memegang kedua bahuku dengan tangannya hanya mematung. Kaget. "Anu, anu," kataku tergagap. Redha tersenyum dan entah mengapa melihat senyumananya begitu menakutkan. "Kamu tahu nggak salahmu apa?" tanyanya lagi. Aku diam, ngehank. Salah? Aku? Sama siapa? Dia? Kapan? Bagaimana? "Dih malah mikirin cewek lain," desis Redha dengan mata yang menyipit. Cewek lain? Aku lagi mikirin jawaban dari pertanyaanmu tauk! "Re, aku-." Grap. Redha mencengkram kuat pipiku membuatku membelalakkan mataku yang udah lebar. Aku menelan ludah, takut banget dan keringat dingin mulai bercucuran dari keningku. Redha tiba-tiba terpaku lalu tersenyum cerah. "Wah, akhirnya!" soraknya girang. Akhirnya? Kenapa? Dia kenapa coba? Redha melepas cengkeraman tangannya. Ia merogoh saku seragamnya lalu mengeluarkan tisu. Setelah itu dia seka keringat di kening, leher dan juga wajahku. "Yeay, dapet keringatnya Iqbaal!" Redha bersorak girang. Aku hanya melongo, nggak tahu harus merespon apa. "Nah, Poochy, lain kali jangan usap keringatmu sendiri. Itu milikku," katanya dengan sorot mata tajam penuh ancaman. "Kamu paham?" tanyanya lagi. Aku mengangguk cepat. "Paham?" tanyanya sekali lagi. "Pa-paham," jawabku dengan suara yang gemetar. "Bagus," katanya lalu pergi meninggalkanku yang langsung terduduk lemas. Itu barusan apa coba? Aku nggak lagi syuting film thriller kan? "Baal!" panggilnya lagi membuatku nyaris menjerit kalau saja dia nggak segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Ngapain coba dia balik lagi? "Aku sayang Iqbaal," katanya lalu tersenyum manis. Redha pun pergi, benar-benar pergi. Dia berjalan sambil sesekali meloncat kegirangan, sesekali pula ia mencium tisu yang tadi ia usapkan padaku. Aku mencoba menenangkan jantungku yang nyaris copot, nggak menyangka Redha bisa semenakutkan itu. Bagian paling menakutkan darinya adalah dia nggak tahu kalau dia itu ANEH.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD