Sebenarnya Bejo itu orang yang sabar. Kalau ada masalah di tempat praktik dulu, dia pasti yang bagian menyelesaikan. Masalah teman-temannya juga beres ketika Bejo yang menangani. Dia tipe yang dingin, namun selalu memukul akar permasalahan di tempat yang tepat, tanpa perlu mondar-mandir lagi. Karena itulah Bejo selalu dijadikan ketua di tiap organisasi maupun kegiatan. Selain itu, Bejo juga bisa jadi sandaran. Sandaran ekonomi terutama. Orang kaya, anak tunggal, cucu kesayangan, dan berbagai predikat menempel padanya.
Bejo juga sangat bijak dan dewasa. Karena itulah semua orang selalu menunjuk Bejo kalau ada apa-apa. Cowok itu dengan sangat sabar selalu bisa menjelaskan dan mencari solusi. Iya, Bejo itu sempurna di mata teman-temannya. Bejo memang jomblo, tapi teman ceweknya banyak. Seksi dan cantik-cantik.
Hanya saja...
Kesempurnaan itu nggak akan pernah bertahan ketika dia berada di depan Heru, cowok SMA biasa yang tingkahnya iseng luar biasa. Sarkasnya menyakitkan. Belum lagi prinsipnya teguh dan nggak akan goyah. Keras kepala nama lainnya. Bejo nggak bisa menundukkan cowok itu, namun sekarang dia malah senang dengan tingkah dan sifat Heru. Padahal Bejo selalu menghindari tipe orang yang seperti ini. Bejo nggak suka bermain dengan hal-hal yang sulit diprediksi. Dia suka ilmu pasti, karena itulah dia jadi dokter.
Namun, Heru itu berbeda. Meski dia sulit menangkap maksud hati Heru, tapi dia senang-senang saja. Bahagia sekali. Lengkap rasanya. Heru itu sudah memperkenalkan dunia baru padanya. Dunia apa itu, hanya Bejo yang tahu. Pokoknya Heru itu unik. Nggak ganteng, tapi menarik. Nggak cerdas, tapi sarkas.
"Kamu udah hubungi dia, Ko?" Bejo memberanikan diri masuk ke kandang singa. Kandang singa yang dia maksud adalah kamar Chiko. Lah? Iya, sebenarnya kandang singa ini sangat manis dan nyaman, tapi isinya singa kelaparan yang selalu sensi tiap kali dia berkunjung.
Karena Chiko sekamar dengan singanya.
"Bejo datang jenguk Chiko?" tanya Gigih cepat. Bejo tersenyum. Dia nggak mau cari musuh. Meski Gigih selalu sensi dengannya, tapi Bejo nggak punya pilihan lain kali ini.
Demi Heru!
"Duduk, Mas! Mas Bejo ke sini mau nanyain pujaan hatinya."
"Apa itu, Chiko?"
"Mas Bejo kan naksir Heru." Chiko menjawab gamblang. Mas Bejo tersenyum miris. Ketika dia mendengar kalimat seperti itu, dia jadi makin malu. Tapi ketika mendengar itu, Gigih jadi nyengir dan juga bahagia. Wajah ketus dan tajamnya menghilang, berganti dengan wajah penuh kebahagiaan.
"Bejo cinta Heru?"
Bejo menggaruk tengkuknya. Singa itu dapat dijinakkan oleh pawangnya. Bahkan sekarang singa itu sudah duduk di depannya, menunggu dengan sangat antusias. Bejo mengangguk pelan. Gigih bertepuk tangan bahagia.
"Jadi, sekarang aku harus apa, Mas? Mas nggak bisa hubungi Heru sendiri, kan?" Chiko menawarkan bantuan. Mas Bejo mengangguk cepat.
"Aku udah nggak tahan lagi, Ko. Heru tuh maunya gimana, sih? Dibeliin HP baru dia nggak bakalan mau pasti."
"Udah keliatan, Mas. Harga dirinya tuh tinggi. Dibeliin ayahnya aja dia masih mikir dulu buat bayar."
"Lah?"
"Bawaan sejak kecil katanya. Dia udah biasa nabung sendiri kalau mau beli sesuatu. Jadi kalau barang itu rusak atau hilang, dia nggak merasa bersalah karena udah rusakin dan hilangin barang pemberian orang."
"Dia luar biasa, ya!"
"Mas Bejo yang terlalu cinta. Semua hal tentang Heru jadi luar biasa di mata Mas Bejo."
"Masa gitu? Emang gitu, ya, Gih?" Mas Bejo beralih ke Gigih. Gigih sedang duduk mendengarkan obrolan mereka. Meski dia nggak sepenuhnya paham, tapi Gigih hanya tahu satu hal.
Bejo naksir Heru. Sudah. Itu sudah jadi alasan yang cukup baginya untuk ikut serta dalam diskusi kali ini.
"Emang gitu apa, Bejo?"
"Kalau kita naksir orang, orang itu jadi luar biasa, ya?"
"Luar biasa gimana, Bejo?"
"Eng..." Mas Bejo sibuk mencari pengandaian, namun akhirnya dia ingat sesuatu. "Gigih sayang Chiko?"
Gigih mengangguk semangat.
"Chiko jelek, nggak?"
Gigih menggeleng kencang. "Chiko manis, Bejo! Chiko sempurna."
Chiko ngakak nggak keruan. Gigih sudah terlalu banyak nonton sinetron akhir-akhir ini, jadi cara bicaranya juga mirip. Bejo ikut tergelak.
"Heru di mataku juga gitu. Sempurna..."
"Tapi Chiko lebih sempurna, Bejo."
"Heru juga lebih sempurna di mataku."
"Bejo, Chiko lebih sempurna!" Ups, singa itu mulai galak lagi! Bejo tersenyum dan mengangguk. Dia mengalah karena tahu kalau Gigih harus menang.
Nah, Mas Bejo bijaksana seperti itu di depan orang lain! Dia bukan cowok kekanakan. Dia pintar membawa diri. Hanya saja...
"Trus gimana aku bisa hubungi Heru, Ko?" Mas Bejo minta saran. Sekarang ini hanya Chiko yang bisa dijadikan jalan menuju tujuannya. Chiko sendiri juga bingung. Dia sering menelepon rumah Heru dengan telepon rumah, hanya untuk bertanya PR.
Lihat, nggak efektif sekali, kan? Bahkan sekarang Heru juga punya ide untuk membuat orang lain kelimpungan.
"Mas mau beliin Heru HP beneran?"
"Ya beneran, lah, Ko! Masa HP mainan?"
"Kalo dia nggak mau gimana? Udah dibeliin juga..."
"Pokoknya dia harus mau! Aku udah nggak tahan lagi!" Mas Bejo sudah punya tekad yang kuat. Gigih mengangguk cepat. Chiko tersenyum geli. Sekarang dua cowok itu jadi kompak, ya? Kemarin-kemarin mereka masih nggak akur. Bahkan Gigih sangat membenci Mas Bejo. Kok sekarang Gigih seperti sedang mendukung Mas Bejo, sih?
"Mas beri sendiri ke orangnya, kan? Jangan pake nitip aku, Mas! Takut dia salah paham sama niatan Mas."
Mas Bejo mengangguk. Ingin beli HP merk apa? Tipe berapa? Bejo sanggup membelikan HP paling mahal untuk Heru, namun sayangnya dia tahu kalau Heru pasti akan lebih murka kalau dia melakukan itu. Jadi, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Chiko, Bejo sepakat untuk membelikan Heru smartphone, namun dalam kisaran harga yang kekinian.
"Kalau dia nolak, Mas bilang aja kalau Mas niat ngutangin, deh! Jadi Heru bisa nyicil gitu bayarnya. Mas diskon gitu bilangnya."
"Alasan macam apa itu, Ko? Absurd banget!"
"Mas tahu dengan siapa berhadapan, kan? Orang absurd butuh alasan yang absurd. Itu yang sesuai. Percaya, deh sama aku, Mas!"
Hari itu Mas Bejo sudah berlatih bicara di depan cermin. Salah kata, maka salah semuanya. Mas Bejo harus bisa mengambil hati heru dengan ucapan. Mas Bejo tersenyum lebar. Dia siap memberi Heru kejutan siang ini sepulang sekolah.
***
Bejo memantapkan hati.
Dia seperti pengangguran yang nggak punya kegiatan sekarang. Padahal dia sangat sibuk. Namun bukan Bejo namanya kalau sampai melupakan kekasih hatinya. Kalian iri, kan? Di mana lagi ada cowok yang memprioritaskan kekasihnya di antara kesibukan yang melanda? Kewajiban masih tetap dia jalankan, tapi dia juga punya hal yang sangat dia jaga dan dia rawat dengan sepenuh hati.
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Bejo sudah stand by dengan sangat manis di dekat gerbang. Heru masih nggak bawa motor. Mungkin motor itu sudah ditarik peredarannya oleh sang Ayah gara-gara tragedi keluyuran waktu itu. Heru naik bis pulangnya. Terkadang dia naik ojek, tapi dia yang menyetir. Aneh? Sekalian saja naik becak, kamu yang mengayuh, Ru! Abang becaknya yang duduk manis di depan.
"Apa lagi?" Heru mengacak rambutnya gusar. Rambutnya masih diikat di beberapa sisi dengan karet bungkus nasi. Tadi sebelum bel pulang, dia iseng bersama teman-temannya. Karena kalah, dia harus mempermalukan diri sendiri dengan mengikat rambutnya dengan karet.
Ada... tujuh kunciran.
Dan sekarang dia mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Mas Bejo, cowok yang paling ingin dia hindari sekarang ini.
"Aku mau ngomong. Ini nggak akan lama, kok!"
"Aku nggak bicara dengan bahasa planet. Cari translator dulu sana!"
"Ru..."
Heru mencoba sabar. Sekarang ini nggak elit kalau dia harus teriak-teriak di depan sekolah. Lagi pula, banyak sekali teman-teman yang belum pulang. Mereka nongkrong di tukang batagor dan juga tukang es kelapa muda.
"HP kamu nggak bisa pake translate?"
Ups, Bejo salah ngomong!
"Ternyata alien amnesia itu bukan mitos." Heru menghela napas sok prihatin. Padahal dalam hati dia sudah mengumpat berkali-kali. Dia nggak mau mengumpat sekarang. Dia takut ketahuan guru dan dihukum lagi.
Bejo menggaruk tengkuknya. Sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk memberi Heru HP, namun dia masih ingin bicara dengan Heru. Dia ingin sekali mendengar Heru bicara setiap hari. Bahkan Bejo punya jadwal gila. "Jadwal Menelepon Heru" namanya.
Pagi sekitar pukul enam Bejo harus menelepon Heru untuk mengucapkan selamat pagi dan mengingatkannya sarapan. Pukul tujuh kurang limat belas menit Bejo harus menelepon Heru untuk mengatakan hati-hati di jalan. Heru harus berangkat ke sekolah di jam-jam itu. Selama itu juga Bejo akan mengirimi Heru SMS. SMS romantis begitu. Lalu ketika bel istirahat, Bejo berinisiatif meneleponnya. Mengatakan banyak hal pokoknya. Entah cerita bagaimana sekolah Heru, atau bertanya apa Heru sudah makan siang...
Sayangnya Bejo lupa. Dia bukan pengangguran. Dia itu dokter yang dibutuhkan oleh banyak pasien. Meski dia masih belum resmi jadi dokter, tapi masa depannya sudah terlihat. Dia bisa jadi direktur rumah sakit swasta milik keluarganya. Masa depan yang cerah sekali!
"Ini, buat kamu!" Bejo mengulurkan sesuatu. Heru merinding.
"HP?" tanyanya balik. Meski dibungkus kertas kado begitu, tapi Heru peka kali ini. Barang apa lagi yang akan Mas Bejo berikan?
Pasti HP, lah! Mungkin karena Mas Bejo sudah merusakkan HP-nya, jadi cowok itu merasa bertanggung jawab dan akhirnya membelikan HP baru. Heru memang butuh, tapi menerima sesuatu dengan alasan nggak jelas pasti sangat melukai harga dirinya.
"Iya. Waktu itu HP kamu rusak, trus aku merasa bertanggung jawab."
Heru nggak terbiasa seperti ini. Dia nggak suka. Nggak nyaman. Apalagi yang memberikan HP adalah musuh yang paling ingin dia hindari. Heru merengut dan siap protes. Namun protes panjang itu dia ungkapkan hanya dengan dua kata saja. Kata yang terdengar kasar, namun di telinga Bejo terdengar manis meski melukai harga dirinya.
"Nggak sudi!"
"Kok nggak sudi?"
"Kenapa Mas beri aku HP? Baru, pula!"
"Mau benerin HP lama kamu juga nggak bakalan bisa balik, Ru."
"Nggak usah benerin HP-ku, nggak usah beliin aku HP baru... tapi... Mas nggak perlu hubungi aku lagi! Anggap kita nggak kenal!"
"Lah? Mana bisa gitu!"
Bejo nggak tahan juga. Dia siap memaksa kalau ini akan membuat Heru mau menerima pemberiannya. Sayangnya Bejo lupa. Heru itu keras kepala. Bahkan Chiko yang sudah berteman sangat lama dengannya saja nggak bisa menggoyahkan prinsip Heru, apalagi Mas Bejo yang masih baru ini! Mas Bejo nggak mau pergi dari Heru, jadi dia harus memaksa Heru menerima pemberiannya.
"Aku ogah!"
"Kenapa ogah?"
"Nggak suka!"
"Gimana biar suka?"
"Mas pergi."
"Nggak mau!"
Kenapa debat ini jadi terbalik, ya? Tadi Bejo yang memaksa, sekarang malah Heru! Mereka berdua itu memang... cocok! Saling melengkapi!
"Trus maunya apa?"
"Terima HP ini!"
"Ogah!"
"Kenapa ogah? Kalau kamu bilang nggak suka lagi, aku cium kamu sekarang di sini!"
Heru mengernyit dengan wajah jijik. Awalnya dia sengaja berputar-putar, namun ancaman Mas Bejo sepertinya nggak main-main. Cowok itu muka badak sekali, lebih badak daripada dirinya. Heru masih bisa gengsi, tapi kalau Mas Bejo sepertinya sudah dibentuk dari tanah liat yang sudah diekstrak dengan sari buah pisang. Pisang mengandung vitamin B. Makanya dia jadi Badak.
"Kenapa maksa, sih?"
"Aku nggak maksa kamu buat nikah sama aku, kan? Kenapa susah banget yang mau nerima pemberian orang?"
"Diajakin nikah kok jijik, ya?"
"Sttt...! Terima HP ini, lalu naik ke mobil. Aku anterin kamu balik."
"Aku dijemput!" Heru sok jahat. Wajahnya terlihat super sombong sekarang. Padahal kalau Mas Bejo tahu, Heru dijemput tukang ojek.
"Siapa yang jemput kamu?"
"Apa perlu Mas tahu sama siapa aku dijemput?" Heru merengut nggak suka. Apa, sih Mas Bejo ini? Kenapa dia ingin tahu sekali? Kenapa ingin tahu semuanya?
"Aku ingin tahu!"
"Nggak usah!"
"Cowok atau cewek?"
"Cowok, lah! Mana ada cewek yang jemput cowok. Nggak gentle banget! Harusnya aku yang jemput!" Heru keceplosan. Raut wajah Mas Bejo jadi nggak enak.
Kenapa, sih Heru ini senang sekali bermain dengan banyak orang? Kenapa nggak seperti Chiko yang mager? Yang malas gerak begitu! Meski bermain pun pasti bersama Gigih. Bejo juga ingin begitu bersama Heru. Nggak perlu ada orang lain. Dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Heru, tanpa intervensi dari berbagai pihak.
Tiba-tiba saja Bejo ingat pesan Chiko. Pesan absurd yang membuat Bejo akhirnya ingin melaksanakan.
"Jadi, Ru... aku nggak mau beri kamu HP ini secara cuma-cuma. Aku mau kamu bayar. Kredit HP gitu..." Nah, usul Chiko yang gila itu akhirnya dia keluarkan juga!
Demi Heru, dia rela malu!
"Berapa?"
Lah? Usul Chiko mujarab sekali!
"Sebulan... sebulan lima puluh ribu." Mas Bejo asal.
"Murah amat! Ntar lama, lagi! Ogah, ah!" Heru menggeleng. Benar juga! Kalau sebulan lima puluh ribu, artinya pelunasan itu juga semakin lama. Heru pasti akan makin lama berhubungan dengan Mas Bejo untuk melunasi HP-nya. "Keburu HP-nya punya adek yang lebih mumpuni ntar!"
"Kamu maunya berapa?"
Heru menggaruk tengkuknya. Dia nggak segila itu untuk mempertimbangkan usul Mas Bejo.
"Siapa bilang aku mau? Aku mau nabung aja, lah!"
"Ambil ini dulu, Ru!"
"Jangan maksa! Aku nggak suka!" Heru menggerutu. Mas Bejo menelan ludah. Iya, Heru nggak suka dipaksa. Dia bisa melarikan diri ketika dipaksa, karena itulah Bejo nggak berani mengaturnya. Dia gengsi, lah diatur-atur oleh orang yang bukan apa-apanya begitu!
Sudah begitu orang itu juga ingin mengkreditkan HP padanya! Kan nggak lucu juga kalau begini!
"Nabung sampe kapan?"
"Sampe aku punya duit buat beli HP."
"Kamu bisa minta ke ortumu, kan?" Bejo nggak sabar.
"Tapi aku nggak suka minta."
"Ru..."
"Kalau Mas mungkin enak, punya ortu kaya... trus juga udah terjamin masa depannya. Kalau aku nggak semudah itu, Mas." Heru sok sedih.
Dia ingin sekali membuat Mas Bejo trenyuh dan mengatakan, "Maaf, Ru! Aku nggak tahu kalau kamu sengsara. Mulai sekarang, aku nggak mau ganggu kamu lagi!"
Tapi sepertinya itu mustahil, ya!
"Nggak gitu juga, Ru! Aku juga kerja buat dapetin HP ini."
"Kalau Mas udah kerja buat dapatin HP itu, kenapa masih mau dijual juga? Kan itu usahamu, Mas."
Bejo tersindir. Niat hati ingin berbohong, namun dia malah diadili. Bejo menelan ludah gugup. Matanya mengerling dengan ekspresi nggak enak. Sepertinya dia memang ingin bicara lama dengan Heru, namun dia lebih menahan dirinya lagi. Dia ingin memeluk Heru, lalu mengatakan, "Ini! Pake HP ini buat menghubungiku! Pokoknya kamu harus stand by!"
Mas Bejo begitu egois akhir-akhir ini terhadap Heru. Bahkan dia juga sudah mencoba memanfaatkan kedekatan Chiko dengan Heru. Mas Bejo ingin sekali dicomblangkan. Sebenarnya, Gigih yang bisa melakukan tugas ini, namun sayangnya Gigih nggak begitu dekat dengan Heru.
"Ultahmu kapan?"
"Udah lewat. Kenapa?"
"Kan awalnya aku mau pake buat topeng gitu. Anggap aja hadiah ultahnya pake HP ini."
"Kita nggak sedekat itu buat saling ngasih kado."
"Anggap sedekah, lah!"
"Bener juga! Aku jual HP-nya, uangnya buat nyumbang ke masjid. Adil, kan?"
Hati Bejo mencelos seketika. Rayuannya berhasil Heru tumbangkan dengan sempurna. Heru menelan ludah gugup. Dia nggak mau terlihat makin mengenaskan, jadi dia berencana untuk pergi sekarang juga.
Semakin lama dia di depan Mas Bejo, dia makin jadi agak sinting. Juga terdengar makin menyebalkan. Heru menelan ludah. Dia berniat kabur, namun dia harus naik ojek. Kalau dia ketahuan naik ojek, Mas Bejo akan mengejarnya. Padahal Heru sudah beralasan dijemput tadi.
"Aku tunggu jawaban kamu. HP ini akan selalu aku simpan. Kalau kamu berubah pikiran, aku bakalan beri ke kamu." Mas Bejo kembali memutuskan. Heru melongo. Kalau alasan Mas Bejo, justru dia jadi makin malu.
Masa iya kalau Heru sudah mupeng dia akan menghampiri Mas Bejo dan bilang, "Mas, aku pengen HP-nya. Sini, aku beli!"
Ogah, ya! Gengsi! Mending Heru beli sendiri!
TBC