10th

2367 Words
           Omelan ayah mungkin cepat selesai. Ayah menganggap Heru sudah cukup dewasa untuk introspeksi. Sudah besar, pikir ayah. Hanya saja ayah nggak terima kalau Heru menghilang tanpa izin dan membuat orang lain kelimpungan begitu. Setelah mengomeli Heru, ayah kembali seperti sebelumnya. Namun, bunda berbeda. Bunda masih baper dan terus mengomeli Heru tanpa henti. Heru sudah biasa diomeli, namun sekarang dia juga merasa bersalah. Kalau bunda mengomel tanpa henti, artinya dia memang keterlaluan kali ini. Ayah mencoba menengahi dengan mengatakan, "Dia kan cowok, Bun. Maklum kalau dia juga ingin keluyuran. Yang penting dia baik-baik aja, kan?" Sayangnya bunda nggak sependapat. Bunda terus marah, seperti, "Bunda yang mengandung dia selama delapan bulan karena dia keburu keluar, Yah. Bunda cemas dan takut. Ikatan batin ibu dan anaknya itu nggak sesederhana itu, Yah. Apalagi dia nggak bisa dihubungi. Gimana kalau dia luka, atau dirampok sama orang jahat?" Heru mendengarkan. Hera duduk di pangkuannya, memeluk sang Abang sambil menangis sesenggukan. Hiro sibuk mengerjakan tugas. Keluarga Heru itu begini. Setiap orang punya kepribadian masing-masing, namun yang paling aneh tetap Heru. "Bunda, jangan marahin abang lagi, Bunda..." Si Bungsu menangis. Heru tersenyum diam-diam. "Tuh, Yah! Lihat anakmu, Yah! Diomelin malah nyengir gitu..." Bunda masih marah. Heru maklum dengan kecemasan ibunya. Dulu bunda pernah keguguran hingga dua kali. Heru itu anak yang didapat dengan susah payah. Harusnya Heru jadi anak ketiga kalau dua kakaknya berhasil dilahirkan. "Iya, maaf... maaf... Heru kan udah curhat, Bunda. Jadi, karena masih ogah balik, Heru mampir ke sana kemari. Mampirnya ke tempat yang nggak aneh-aneh, kok." "Nggak izin gitu!" "Bunda... kalau marah gitu jadi makin cantik, deh!" Heru tergelak lagi. Bunda melotot ganas. Heru tersenyum sekali lagi. Hari ini tanggal merah lagi, sekaligus hari nanggung. Besok masuk, tapi lusa libur. Heru jalan-jalan juga karena sadar kalau hari ini libur. Jadi dia nggak kepikiran. Hanya saja dia belum dengar respon Chiko. Semalam dia nggak sempat menghubungi teman-temannya. "Bunda, pinjem HP, ya! Mau telepon Chiko, nih!" "Bilang makasih juga karena ikut repot nyariin kamu. Kamu udah telepon Bejo juga? Dia yang paling panik, tuh!" Heru merengut. "Kok malah Mas Bejo?" Sebenarnya Heru melarikan diri juga gara-gara Mas Bejo. Heru menghubungi Chiko. Baru saja tersambung, Chiko sudah menyapanya. "Iya, Tante?" "Chiko, ya? Heru kok belum balik, ya, Ko?" Suara Heru terdengar mirip banci sekarang. Chiko melongo. "Dasar biadab!" Chiko mengumpat. "Hahaha... kangen, yak?" "Kemarin kamu ke mana? Semua orang panik nyariin kamu! Bahkan aku udah kirim BC ke banyak orang, bilang kalau kamu ilang. Kayak anak kecil aja!" "Kamu nangis, nggak?" "Kenapa harus nangis?" "Kan pas Mas Gigih ilang kamu nangis." "Jangan mulai, deh! Baru juga ketemu udah bikin ulah. Kenapa balik, sih? Ngilang aja nggak apa." "Kalau aku ngilang dicari, kalau aku ada malah diusir. Kamu mah tsundere, Ko." "Aku bukan tokoh anime, Ru!" Chiko protes. Heru tergelak sekali lagi. Sekarang ini Heru hanya ingin curhat banyak hal pada Chiko. Heru sudah mendinginkan kepalanya kemarin, namun semua orang malah kelimpungan. Bukan hanya itu, ketika dia pulang... bunda dan ayah malah mengomelinya. Pikiran yang jernih pun kembali keruh. "Mas Bejo semalam gila, tahu!" Chiko menghela napas. Heru merengut dan akhirnya mengedikkan bahu sok cuek. "Dari dulu dia juga udah gila." "Semalam dia panik, bahkan dia sampe teriak-teriak ke aku, Ru. Nyuruh aku nanya ke temen-temen kamu ada di mana. Dia kayak kesurupan gitu." "Aih, ada, ya setan yang mau merasuki rajanya?" Heru menyindir. Ucapannya jadi kasar lagi sekarang. Setelah banyak hal yang terjadi, mood Heru kembali dalam mode semula. Sejak dulu Heru itu aneh, kok! Mood-nya terkadang naik turun nggak bisa diprediksi. Heru hanya butuh waktu sendiri. Setelah agak dingin, dia pasti akan kembali dalam sifat semula. Karena itulah Chiko nggak terlalu cemas ketika Heru menghilang. Dia sudah hafal dengan sifat Heru yang angin-anginan begini. Setiap orang punya caranya sendiri untuk menenangkan diri. "Sana bilang makasih dan maaf sama Mas Bejo!" Chiko memerintah. Heru menggeleng dan berdecih nggak setuju. "Males!" katanya. "Kok gitu?" "Kamu kok jadi ikutan bundaku? Bunda juga nyuruh aku bilang makasih dan maaf." "Kalau banyak orang yang menyarankan hal yang sama, artinya itu perbuatan yang tepat! Sana, telepon Mas Bejo!" Chiko rupanya sudah jadi orang yang paling sensitif dalam masalah ini. Gigih juga sempat memberi semangat pada Mas Bejo, jadi kalau Heru masih nggak mau, Chiko bisa minta tolong Gigih agar bicara dengan Heru. Gigih itu punya hal yang nggak bisa dimengerti orang normal lainnya. Gigih itu spesial. Meski cara bicaranya aneh, namun Gigih menyampaikannya dengan rasa. Chiko tersenyum licik. Dia menyerahkan HP-nya pada Gigih. "Heru..." Chiko berbisik pelan di telinga Gigih. Gigih menerima telepon Heru dan suara macho namun punya nada aneh itu akhirnya terdengar di telinga Heru. "Heru..." panggilnya. "Mas Gigih, ya?" Heru balas bertanya. "Heru, Bejo kasihan, Heru. Dia nangis, Heru. Dia bilang mana Heru ke Chiko. Lalu gemetar dan teriak. Bejo nyariin Heru, Bejo takut Heru nggak ketemu." Ketika mendengar suara Gigih, Heru mengerti kenapa banyak orang yang menyayangi cowok tunagrahita itu. Dia juga mengerti sekarang kenapa Chiko sangat memprioritaskan Gigih di atas segalanya. "Aku kan bukan anak kecil lagi, Mas. Jadi nggak perlu dicari gitu..." "Heru, anak kecil bisa hilang, Heru?" Gigih masih bertanya dengan nada lucu. "Iya, Mas. Anak kecil kan lupa jalan, sering nyasar." Heru tersenyum geli. Sindiranmu, Ruuuu! "Anak besar nggak bisa hilang?" "Kalau anak besar, pas ilang ya cari jalan sendiri. Nanya-nanya orang." "Heru nyasar?" Nah! Kapok! "I... Iya..." "Heru anak kecil?" Tawa Chiko menyembur begitu saja. Heru yang senang menjahili Chiko itu akhirnya kena karma juga. Chiko tertawa kencang hingga perutnya sakit. Heru membayangkan bagaimana bahagianya Chiko sekarang ini. Heru memang bisa menang melawan ucapan Gigih, namun pasti berakhir pada hal yang sama. Gigih berhasil membungkamnya dengan kepolosan. Chiko yang bicara kali ini, masih dengan tawa yang tersisa di bibirnya. Dia ingin dengar gerutuan Heru karena sudah melawan Gigih. "Sana minta maaf sama Mas Bejo! Bilang makasih juga." Chiko masih senang memerintah seenaknya. Tapi memang itu etikanya, sih! Heru sudah merepotkan banyak orang, dan sudah sewajarnya dia meminta maaf dan berterima kasih. Itu artinya banyak orang yang peduli dan menyayanginya. "Trus peluk Bejo, Heru! Cium! Bilang makasih dan maaf. Biar dimaafin, Heru." Suara Gigih kembali terdengar. "Aku nggak gila, Mas! Nggak mungkin aku kayak gitu ke Mas Bejo." Heru protes. "Gih nggak gila, Heru. Tapi Gih suka cium dan peluk Chiko." "Kalau peluk dan cium orang yang disayang kan emang nggak gila, Mas. Kalau peluk musuh itu gila namanya." "Bejo musuh Heru?" Gigih masih senang bertanya dengan nada polos. Heru memijat pelipisnya. Bicara dengan Gigih itu ibarat bicara dengan Hera, namun dalam mode yang lebih dewasa. Gaya bicara Gigih seperti itu karena dia merasa nyaman. "Heru, musuh-musuhan kayak anak kecil kata Chiko, Heru. Heru masih kecil?" Kenapa itu lagi? Heru memutuskan teleponnya dan akhirnya kembali memikirkan semua nasihat Gigih. Chiko juga memberinya nasihat, namun nasihat Chiko terdengar seperti perintah yang bercanda. Tapi saran Gigih itu terdengar seperti sedang menyindirnya telak atas sikap yang selama ini dia lakukan terhadap Mas Bejo. Ayo, dewasalah, Heru! *** "Ini penting! Terserah kamu mau mikir gimana, tapi aku cuma pengen bilang kalau kamu harus dewasa. Kamu nggak bisa kabur selamanya dari Mas Bejo. Kalau ada masalah, selesaikan! Jangan main kabur-kaburan kayak gini, Ru! Kalau kamu kabur lagi, semua orang juga kena masalahmu. Padahal mereka nggak ada hubungannya sama masalah ini." Chiko mengadili keesokan harinya. Heru memijat ujung hidungnya dan berdehem. "Aku emosi tiap lihat dia, Ko." "Trus kenapa kamu malah kabur?" "Aku bingung gimana mau meluapkan emosiku." "Semalam Mas Bejo ke rumah. Wajahnya suntuk banget. Kayaknya dia kurang tidur akhir-akhir ini. Dia minta tolong aku buat bikin kamu mau ngomong sama dia. Kamu masih nggak kasihan, gitu?" "Dia cowok, kok mau-maunya aja kayak gitu demi cowok..." Heru berkomentar. "Dia itu cinta sama kamu!" Chiko membentak. Seisi kelas sunyi mendadak ketika mendengar bentakan Chiko. Chiko nyengir dan menatap Heru. Dia malu sekali. "Kamu juga cinta aku. Cieee... cieeee..." Heru nyengir, lalu menoel-noel pipi Chiko. Chiko mendadak linglung. Ketika Heru dipermalukan, dia akan berbalik mempermalukan orang yang mempermalukannya. Lah? Ini kenapa jadi makin ambigu? "Diem!" Chiko menggerutu. Heru masih terus menggodanya, mengabaikan tatapan teman-temannya yang terlihat geli dan juga terkikik. Untungnya semua orang tahu kalau Heru itu memang lumayan gila. Nggak lumayan, tapi Heru itu memang benar-benar gila. Hingga bel pulang berbunyi, Heru masih menggoda Chiko. "Tuh, dia nunggu di sana!" Chiko menghentikan langkah, lalu menunjuk gerbang sekolah. Ada Bejo di sana, menunggu. Cowok itu terlihat kusut. Heru menelan ludah. "Seriusan, nih aku harus nyamperin dia?" "Kamu nanya aja sama diri kamu sendiri! Kamu tega lihat dia kayak gitu? Muka Mas Bejo sampe berantakan gitu emang kamu pikir gara-gara siapa?" "Tapi kan aku bukan homo, Ko." "Homo itu ada yang bukan bawaan lahir, kok! Bisa aja kamu homo karena Mas Bejo." "Trus aku harus apa?" Heru masih ragu. Dia masih ogah menghampiri Mas Bejo. Meski wajah Mas Bejo terlihat berantakan dan Heru jadi agak kasihan melihatnya. Akhirnya Heru melangkah. Bukan Heru namanya kalau nggak pemberani. Cowok itu melangkah perlahan, menghampiri Mas Bejo seorang diri. Chiko? Dia sudah pergi dengan alasan ingin bertemu Gigih. Heru yang berhadapan dengan Mas Bejo kali ini. Dia menghampiri Mas Bejo dengan wajah galau. Bingung dan canggung juga pada akhirnya. Apa dia harus mengucapkan terima kasih dan minta maaf karena sudah merepotkan? Ah, Heru kan gengsi! Lagi pula, kenapa Mas Bejo sampai berniat menghampirinya begini? Iya kalau Heru cewek! Ini Heru cowok, lho! Berbatang. Berbiji dua. d**a tepos. Lubang di s**********n hanya satu. Sisanya burung beserta telurnya. "Jadi, Mas ngapain di sini?" Heru membuka suara. Mas Bejo terlihat lemah sekarang. Tatapan matanya terlihat nggak fokus, namun ketika melihat Heru... Mas Bejo seperti tersentak begitu saja. "Kita harus bicara, Ru." "Iya." "Kamu bawa motor?" Heru menggeleng. "Nggak. Tadi pagi diantar ayah, takut aku keluyuran lagi katanya." Mas Bejo mengisyaratkan Heru untuk masuk mobilnya. Heru ragu. Bagaimana ini? Heru terpaksa menurut meski harus dikejar lebih dulu. Kalau memang Mas Bejo nekad akan melukainya, Heru akan segera melapor pada ayahnya. Tapi, nggak, Heru! Mas Bejo nggak terlihat ingin menyakitimu. Lihat saja tubuhnya yang terlihat ringkih itu! Apa dia masuk angin? Sakit? Ketika keduanya ada di dalam mobil, Heru bersuara. "Mas beneran nggak apa? Bisa nyetir? Kalau nabrak gimana?" "Aku nggak apa, Ru." "Tapi badan Mas Bejo kayak mau tumbang gitu. Apa aku yang nyetir?" "Kamu bisa?" "Nggak." Lah? Mas Bejo mau nggak mau menyunggingkan senyum. Ini pertama kalinya sejak kejadian di pantai waktu itu dia tersenyum. Heru yang mencabut senyumnya, namun mengembalikannya kembali. Mas Bejo kembali menghela napas, lalu menyentuh pipi Heru sekilas. "Aku nggak akan membahayakan nyawamu." Mas Bejo berbisik lembut. Heru kembali menghela napas. "Mas Bejo kenapa suntuk gitu? Nggak tidur, ya semalam?" Heru basa-basi. Padahal dia nggak mau membuka pembicaraan lebih dulu awalnya. Namun ekspresi Mas Bejo itu terlihat menyedihkan. Heru kan juga nggak tega. Hatinya itu lembut meski sering sarkas. Mas Bejo menggeleng dan menepikan mobilnya. Heru celingukan. Restoran Jepang. Ah, kan yang ingin ke sini justru si Chiko! Heru mengerjap beberapa kali. "Kok ke sini?" "Kita harus ngomong sama makan." Ah, lumayan! Batin Heru bersorak gembira meski begitu. Berteman dengan Mas Bejo itu terkadang menguntungkan. Anak holang kaya mah beda! Dia juga sudah punya masa depan yang pasti, cerah juga. Kalau dia nggak jadi dokter, dia bisa jadi pebisnis seperti ayahnya. Lagi pula, sejak kecil dia sudah dapat warisan kerajaan bisnis beserta isinya. Orang kaya! Heru mengikuti langkah kaki Mas Bejo dan buka lapak di salah satu meja. Heru ngiler sekarang. Ah, kalau saja HP-nya masih bisa... dia pasti akan mengirimi Chiko foto makanan-makanan ini! Kan Chiko mupeng sekali kemari. Sembari menunggu makanan datang, Bejo membuka suara. Suaranya terdengar serak. Mungkin dokter ini lupa untuk menjaga kesehatannya sendiri. "Maafin aku, Ru," katanya. "Karena udah rusakin HP kamu. Waktu itu aku terlalu emosi sampe nggak bisa mikir apa-apa." Heru menghela napas. Nasi sudah jadi bubur. Kalau diolah lagi jadi kerupuk beras. Ah, kenapa dia jadi ingin makan bubur dan kerupuk beras, ya! Heru, sadar! Ini restoran Jepang! "Nggak apa. Justru aku jadi tenang akhir-akhir ini, Mas." Heru mencari alasan yang baik. Dia nggak boleh menyulut api permusuhan ketika mereka sedang damai. Heru menghela napas, lalu mengerjap beberapa kali. "Kamu nggak apa, kan?" "Nggak apa. Aku malah yang minta maaf karena bikin kalian panik. Juga makasih karena udah nyariin aku kemarin." Mas Bejo bungkam. Sebenarnya dia marah. Dia ingin mengomeli Heru karena sudah menghilang seenaknya. Mas Bejo ingin sekali menendang p****t Heru karena nggak peduli dengan orang-orang yang kelimpungan karenanya. Dia juga ingin sekali memeluk Heru, sekaligus berterima kasih... karena Heru pulang dengan selamat dan nggak terluka sama sekali. Namun lebih dari itu, Mas Bejo justru menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja HP Heru nggak rusak, mungkin dia bisa menghubungi cowok itu. Bejo bisa bertanggung jawab, tapi kalau dia melakukan itu... Heru pasti akan menolaknya. Heru itu keras kepala. Prinsipnya mutlak, nggak bisa diganggu sedikit pun. "Kok aku jadi pengen meluk kamu, ya?" Mas Bejo kembali berbisik pelan. Suaranya terdengar serak. Tenggorokannya sakit. Sebenarnya ada sesuatu yang terjadi semalam. Karena kalut dan berantakan, dia butuh pelampiasan. Dia menyalahkan dirinya sendiri, namun dia nggak tahu harus bagaimana. Semalam Bejo minum bir. Awalnya dia mengira dengan begitu hatinya akan sedikit tenang karena mabuk dan tertidur. Namun nyatanya bayangan Heru masih berkeliaran di otaknya. Mas Bejo itu dokter, namun semalam dia cuek dengan kesehatannya sendiri. Dia begitu kalut dan lupa diri. "Mas minum?" Pertanyaan Heru menyentakkan Bejo. Dia mengerjap dan menatap Heru dengan tatapan kosong. "Kamu tahu dari mana?" "Baunya." Bejo mengendus bajunya. Nggak ada aroma apa pun. Ada bau parfum maskulin mahal yang dia semprotkan sembarangan tadi. Bejo juga sudah mandi, tapi kaos dalamnya nggak ganti. Malas. "Hidungmu peka banget..." Bejo berkomentar, tapi lebih dari itu... dia merasa malu. Kok dokter malah nggak peduli dengan kesehatannya sendiri? Kok dia jadi kekanakan dan memalukan begini? "Satu-satunya hal yang bisa aku banggakan cuma di sana. Soalnya aku nggak ganteng, jadi aku harus punya kelebihan lain." Heru mencubit ujung hidungnya sendiri. "Kamu udah sempurna, kok!" "Pujianmu jadi terdengar kayak sindiran dan ejekan, Mas." Heru masih sensitif. Dia menghela napas panjang, dan akhirnya kembali menatap wajah Bejo. "Abis minum langsung bahagia? Masalahnya selesai gitu aja?" Mas Bejo menggeleng. "Kalau udah tahu gitu, ngapain masih dilakuin?" tanya Heru sekali lagi. Mas Bejo tersenyum. Hatinya makin kagum dengan pemikiran Heru. Heru itu bukan tipe suka ngomel macam Chiko. Heru nggak suka ngomel, namun dia selalu berhasil memukul seseorang tepat di tempat yang sakit. "Maafin aku..." "Aku butuh waktu maafin buat yang kemarin-kemarin. Kalau gara-gara HP yang rusak, aku udah lupain." Heru masih baper rupanya. "Kenapa nggak bisa?" "Aku bukan masokis." Heru mengerjap beberapa kali. "Dan aku nggak mau dianiaya." Mas Bejo diam saja. Ada rasa bersalah yang kini menyelinap di hatinya. Heru memang nggak ceramah dan mengadilinya karena minum, namun ucapan Heru lebih mujarab daripada sekadar omelan. Heru nggak terdengar mengadili, namun Heru seperti sedang memukulnya, menaboknya hingga nyeri. "Kamu illfeel karena aku minum?" tanya Mas Bejo pelan. Heru mengedikkan bahunya cuek. "Kalau Mas adalah sahabat, kakak, atau saudaraku, mungkin aku bakalan mengadili Mas habis-habisan. Tapi, Mas bukan apa-apaku. Kenapa aku harus ngurusin?" Dan Bejo jadi ingin membuat dirinya jadi apa-apa Heru sekarang. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD