“Ak-aku mencintaimu, Mas! Sungguh, aku mencintaimu hiks hiks. Aku juga tidak bisa jika harus berpisah denganmu hiks huhu! Aku mencintaimu, mas Dika. Aku takut kau pergi meninggalkanku. Aku takut kau membenciku hiks hiks maafkan aku. Aku sudah gagal menjadi seorang istri, Mas. Aku tidak bisa memberimu keturunan. Maafkan aku, Mas. Tolong, jangan tinggalkan aku!” pinta Lina sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh Dika yang masih mendekapnya dengan erat.
“Tidak, Lina. Kau adalah hidupku saat ini. Aku tidak mungkin pergi meninggalkanmu. Aku tidak akan pergi sebelum maut memisahkan kita, Lina. Aku mencintaimu dengan seluruh jiwa dan ragaku. Tidak peduli bagaimana kondisimu, aku pasti akan tetap mencintaimu, Lina! Percayalah padaku! Semua akan baik-baik saja. Kita pasti bisa menjalani ini semua bersama. Percayalah padaku, Lina!” janji Dika dengan mantap. Dika berusaha meyakinkan istri tercintanya itu bahwa semua akan menjadi baik-baik saja, baik tanpa kehadiran seorang bayi atau pun tidak sama sekali, mereka berdua pasti akan melewati ini semua dengan baik. Dikecupnya dengan penuh penghayatan puncak kepala Lina untuk menyalurkan perasaannya yang begitu dalam terhadap wanita itu. Malam itu, Dika dan Lina menghabiskan waktu bersama dengan suasana haru biru. Sedikit pun pria itu tidak pernah melepas dekapannya pada tubuh Lina hingga wanita itu jatuh tertidur dalam dekapan hangatnya. Dika mulai merasa lega, bahwa sepertinya Lina mulai bisa menerima keadaan mereka yang seperti ini. Tidak henti pria itu mengusap-usap lembut rambut panjang Lina untuk menenangkan wanita itu dan menina bobokan dia dalam belaian selimut kasih sayangnya.
Sejak saat itu, mereka berdua kembali menjalani hidup dengan lebih tenang dan saling menguatkan satu sama lainnya sebagai pasangan sehidup semati. Hingga dua tahun kemudian, di malam hari yang begitu dingin, alam memberi tanda kepada mereka berdua tentang sebuah pertanda mengerikan yang telah menanti pasangan suami istri itu.
Kepakan sayap yang terdengar samat-samar dalam gelapnya malam diiringi suara kicauan burung aneh yang tidak pernah didengar sebelumnya oleh Dika atau pun Lina, terdengar di sekitar rumah mereka. Baik Dika maupun Lina hanya menganggap suara kicauan burung itu sambil lalu dan mereka kembali melanjutkan tidurnya. Tanpa menyadari bahwa kini ada sepasang kaki burung bercakar tajam dan berukuran besar tengah berdiri di depan pintu rumah mereka. Kedua sayapnya melebar dan membentang hingga menutupi tubuh miliknya dan sebagian rumah kecil mereka. Di suasana yang terlihat begitu sunyi dan gelap itu tidak ada siapa pun yang menyadari keberadaan seorang bayi tampan yang berada dalam gendongannya itu. Seorang wanita bertubuh mirip burung dengan bulu-bulu yang melekat di tubuhnya yang berfungsi sebagai pelindung tubuhnya itu tengah memerhatikan dengan lekat rumah kecil yang ada di hadapannya sana. Sekilas wanita bertubuh burung itu terlihat hanya memerhatikan rumah itu dalam mata telanjang saja, namun sebenarnya wanita itu tengah melihat aura yang terpancar dalam rumah itu. Sebuah aura positif yang memancarkan kebahagiaan dan kasih sayang dari pemilik rumahnya. Wanita burung itu menampilkan seringai kecilnya setelah menemukan apa yang dicarinya itu. Dengan tenang, wanita itu meletakkan bongkahan bayi tampan miliknya di atas lantai dingin di depan pintu rumah mereka. Diperhatikannya dengan wajah datar rupa bayi tampan miliknya itu. Nampak kedua mata bulat di depannya itu tengah membalas tatapannya dalam diam. Sekali lagi wanita burung itu tersenyum miring ke arah bayi tersebut sebelum kemudian wanita itu bangkit dan berbalik meninggalkan bayi itu sendirian dalam dinginnya malam begitu saja.
Oeekk! Oeekkk!
Dalam setengah tidurnya Lina samar-samar mendengar suara tangisan dari seorang bayi. Awalnya wanita itu berpikir bahwa dirinya hanya masih berada dalam mimpi tidurnya. Namun semakin lama suara tangisan itu semakin terdengar begitu kencang hingga membuatnya tersentak kaget dalam tidurnya. Lina mengerjap-kerjapkan kelopak matanya beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya dan memastikan kembali pendengarannya. Suara tangisan itu kembali terdengar dari telinganya. Segera wanita itu membangunkan Dika di sebelahnya yang masih tertidur pulas dalam tidur nyenyaknya.
“Mas, mas Dika, bangunlah!” pinta Lina sembari mengguncang pelan lengan pria itu.
“Hem? Ada apa, sayang?” gumam pria itu dengan suara serak khas bangun tidurnya. Kedua kelopak matanya hanya terbuka sedikit untuk melihat keadaan istrinya sejenak.
“Mas, mas coba dengar, ada suara bayi di luar!” pekik Lina dengan suara tertahan antara percaya dan tidak untuk mengatakan hal itu. Kedua alis Dika mulai mengerut mendengar ucaan Lina barusan.
“Apa yang kau katakan, Lina? Kau baru saja memimpikan seorang bayi lagi?” tanya Dika kemudian. Pria itu berpikir bahwa Lina kembali dirundung mimpi mengenai seorang bayi seperti 2 tahun yang lalu.
“Bukan itu, mas. Tapi-”
“Lupakan, sayang. Aku mohon padamu. Jangan kembali berharap seperti dulu. Aku tidak mau kau menderita seperti dulu lagi, kau mengerti kan?” pinta Dika dengan wajah seriusnya menatap lekat ke arah Lina. Dika tidak ingin kejadian dulu membuat istrinya itu kembali histeris tiada henti. Sudah cukup Lina menderita dan tertekan hanya karena masalah bayi, dan jangan lagi hal itu terjadi. Akhirnya Lina menganggukkan kepalanya mengerti maksud dari ucapan Dika. Lina tahu bahwa suaminya itu tidak ingin dirinya kembali menderita hanya karena masalah bayi, karena itu Lina memilih melupakan apa yang baru saja didengarnya dan kembali menganggapnya sebagai bunga tidur yang terdengar seperti nyata. Lina beralih masuk ke dalam dekapan Dika kembali berniat melanjutkan tidurnya. Dika membenarkan selimut mereka agar dapat membungkus dengan benar tubuh kecil istrinya itu. Mereka berniat melanjutkan tidur lagi sebelum kemudian suara tangisan bayi itu kembali terdengar dari luar. Sontak pasangan suami istri itu terpaku di tempat sambil saling menatap satu sama lainnya dengan raut wajah terkejut.
“Mas Dika, sungguh aku benar-benar mendengar suara bayi di luar sana.” ucap Lina dengan suara pelan namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Dika. Dengan sigap Dika langsung menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang, hendak menghampiri asal suara tersebut. Begitu juga dengan Lina yang langsung bertindak cepat menyusul suaminya itu keluar dari kamar mereka. Mereka sama-sama melewati ruang tengah menuju pintu utama. Di tengah malam seperti ini, tanpa ragu Dika membuka pintu utama dan langsung menatap ke sekitar rumah mereka yang sedikit berjarak dengan rumah penduduk lainnya. Lina berdiri di belakang tubuh Dika ikut memerhatikan suasana yang begitu sepi dan sunyi di luar hingga akhirnya pandangan mereka berdua tertuju ke bawah di mana ternyata terdapat seorang bayi tampan yang berbaring di sana. Dika dan Lina belum menyadari sebelumnya dan langsung terkejut bersama ketika melihat bayi itu. Lina menutup mulutnya menahan pekikan terkejutnya sembari menatap dengan tidak percaya bayi yang berada di bawah kakinya itu.
“M-mas, bayi!” pekik Lina kemudian. Dika bergerak menggendong bayi tampan itu dengan perlahan dan memerhatikan bayi itu. Nampak bayi tampan yang masih terlihat begitu mungil itu tengah membuka mata bulatnya dan menatap lurus ke arah Dika. Sejenak Dika seakan terpesona dengan sepasang butir mutiara hitam yang tercipta di sana. Keadaan Dika tidak jauh berbeda dengan Lina yang juga ikut memerhatikan bayi dalam dekapan tangan Dika itu. Dadanya bergemuruh kencang memerhatikan bayi mungil itu. Jiwa keibuannya yang selama ini tidak bisa disalurkan dengan benar kepada seorang bayi, kini seakan memberontak ingin memeluk dan mendekap bayi itu juga.
“Kita harus melaporkan bayi ini, dan menyerahkannya kepada pihak berwajib, Lina.” ujar Dika kemudian yang langsung menyadarkan Lina dari lamunannya mengenai bayi itu. Sontak Lina langsung menoleh terkejut kepada Dika. Pria itu hendak membawa bayi itu pergi untuk menemui kepala desa mereka. Lina segera mencegah langkah kaki Dika dengan tegas.
“Mas, tunggu!”
“Lina?”
“Bi-bisakah kita merawatnya saja? Bayi itu diletakkan di depan rumah kita, itu berarti siapa pun dia ingin kita merawatnya bukan?”
“Tapi-“
“Mas, aku mohon. Bisakah kita merawatnya?” pinta wanita itu dengan wajah memelasnya memohon di depan Dika. Dika yang sebenarnya juga menginginkan seorang bayi itu akhirnya mau tidak mau menganggukkan kepalanya, menuruti keinginan istri tercintanya itu.
“Baiklah. Tapi untuk sekarang kita tetap harus melaporkannya kepada Kepala Desa. Biar nanti aku yang mengurus kepemilikannya.” tutur pria itu kemudian dengan senyum kecilnya. Terlihat raut wajah lega sekaligus senang yang terpancar dari wajah Lina mendengar itu.
“Terima kasih, mas Dika!” seru Lina dengan tulus.
Akhirnya setelah melalui perdebatan kecil dengan beberapa orang dan mengurus beberapa surat untuk pengadopsian bayi tersebut, Dika dan Lina berhasil membawa pulang bayi tampan yang telah diberi nama Rio oleh mereka berdua. Rasa bahagia yang membuncah terpancar dari wajah keduanya setelah sekian lama mereka menantikan kehadiran seorang bayi dalam rumah tangga mereka. Meski bayi itu bukanlah bayi kandung mereka, namun sudah pasti Dika dan Lina akan merawat bayi itu dengan sepenuh hati layaknya anak mereka sendiri.
Kehidupan rumah tangga Dika dan Lina terasa lebih hidup dari sebelumnya berkat kehadiran bayi tampan itu. Bahkan beberapa tetangga juga terkadang ikut datang mengunjungi rumah kecil mereka hanya untuk melihat kehadiran bayi tampan tersebut. Kehadirannya yang secara tiba-tiba itu mengundang perhatian lebih dari banyak orang. Terlebih mereka juga mengetahui bahwa rumah tangga Dika dan Lina sebenarnya sangat mengharapkan kehadiran seorang bayi dalam keluarga mereka. Kehadiran Rio dianggap seakan memberi air segar dalam rumah tangga mereka. Setahun lebih Rio mendapatkan cinta dan kasih sayang penuh dari pasangan suami istri itu, membuat Rio yang kini berusia satu tahun lebih sedikit itu tumbuh menjadi sehat dan bahagia. Hingga kemudian Dika dan Lina akhirnya mendapatkan kabar yang selama ini benar-benar diharapkan keduanya. Sejak beberapa hari yang lalu Lina merasa tidak enak badan, dan perutnya terasa begitu mual hingga membuat Dika meliburkan diri dari pekerjaannya barang sejenak, hanya untuk menemani kekasihnya itu berobat. Dan tanpa diduga, dokter menyatakan kehamilan Lina yang sudah berusia beberapa minggu itu. Sontak saja baik Dika dan Lina menangis haru di sana dan tidak henti mengucap syukur mereka atas kehamilan ini. Kabar bahagia itu juga sampai di telinga warga-warga di sekitar. Mereka kembali mengunjungi rumah Dika Dan Lina hanya untuk mengucapkan selamat atas kehamilan Lina itu. Orang-orang yang selama ini datang untuk mengajak bermain Rio kini sebagian memusatkan perhatian mereka kepada perut Lina yang mulai sedikit membuncit itu. Dengan wajah bahagia mereka terkadang juga ikut mengelus dan mengusap perut Lina yang telah berisi jabang bayi di sana. Mereka tidak menyadari bahwa Rio kecil tengah memerhatikan mereka dalam diam dengan kedua mata bulatnya. Tanpa alasan bayi itu mengeluarkan suara tangisnya dengan kencang hingga membuat seluruh perhatian kembali tertuju kepadanya. Bayi itu menangis tidak henti meski berada dalam dekapan Lina sekali pun, membuat wanita itu menjadi bingung sendiri ada apa gerangan bayinya itu menangis. Lina memeriksa popok, dan tubuh bahkan membuatkan Rio s**u juga namun bayi itu tetap tidak berhenti menangis. Akhirnya beberapa tetangga yang juga ada di sana ikut membantu Lina menenangkan bayi tersebut. Mereka dengan kompak mengajaknya bermain dan berbicara dengan cara mereka sendiri hingga akhirnya berhasil membuat Rio kembali tersenyum cerah dan menghentikan tangisnya. Dalam sekejab, pusat perhatian mereka semua kembali tertuju kepada bayi tampan itu.