There is never a time or place for true love. It happens accidentally, in a heartbeat, in a single flashing, throbbing moment.
- Sarah Dessen, The Truth About Forever
*****
Suasana pagi ini di kediaman Keluarga Kim agak berbeda. Junhwan dan Jihyun dibuat kelimpungan karena anak gadis mereka yang keras kepala memaksa untuk berangkat sekolah. Padahal kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk pergi. Tubuhnya demam, kepalanya pusing, dan wajahnya tampak pucat. Biasanya kalau sedang sakit Nara merasa senang tidak masuk sekolah, tapi kali ini yang terjadi justru sebaliknya.
“Ayah, Ibu, aku baik-baik saja kok.” Kim Nara masih bersikukuh ingin bangkit dari tempat tidur, tapi Jihyun menahannya. Membuat gadis itu merengkut tak suka.
“Kau itu sedang sakit, Nara,” Jihyun menekankan. Tutur kata lembut yang biasa dilisankannya menghilang entah ke mana. “Kau tidak baik-baik saja, jadi sekarang lebih baik kau istirahat, oke?”
“Tapi, Bu—“
“Nara, Ayah dan Ibu melarangmu berangkat sekolah karena kami khawatir padamu,” Junhwan angkat bocara. “Tidak apa-apa tidak masuk sehari saja, toh kau juga sering membolos, kan?”
Nara membuka mulutnya untuk menampik, tapi urung. Bagaimanapun juga sang ayah benar, jadi percuma saja jika ia mendebatnya, bukan? Masalahnya hari ini ada pelajaran matematika. Nara bersikeras berangkat sekolah demi bertemu Sehan. Jujur saja, sejak ada Sehan, Nara jadi lebih semangat ke sekolah. Ia jadi punya semangat belajar. Keberadaan Sehan berhasil membebaskan Nara dari rasa bosan yang kerap membelenggunya.
“Aduh!” Tiba-tiba Nara merasa kesakitan. Ia memegang kepalanya yang terasa pusing. Pusingnya terasa begitu menusuk, seolah ada sebilah pisau yang menancap di sana. Sakit sekali rasanya.
Junhwan dan Jihyun menjadi panik melihat kondisi putri mereka. Keduanya kompak membantu Nara kembali berbaring di tempat tidurnya.
“Lihat! Kau jelas tidak baik-baik saja, Sayang. Sudah ya, pokoknya kita ke rumah sakit setelah ini,” Jihyun memutuskan. Wanita itu menyelimuti tubuh anaknya hingga sebatas d**a.
Nara tidak dapat menolak lagi. Ia hanya bisa pasrah karena pada kenyataannya, tubuhnya memang sedang lemah. Semakin lama ia sembuh, maka akan semakin lama juga ia terjebak di rumah. Jadi lebih baik ia turuti saja keinginan kedua orang tuanya, bukan? Toh jika ia cepat sembuh, ia bisa segera bertemu Sehan lagi.
*****
Hari ini Sehan merasa aneh. Seperti ada yang kurang selama seharian ini. Pasalnya hingga jam sekolah berakhir, batang hidung Kim Nara tidak kelihatan juga. Hal ini bermula ketika pagi tadi ia tidak melihat Nara di kelas. Biasanya Nara yang selalu rajin menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya, namun tadi keadaan kelas begitu sunyi karena tidak ada yang menjawab soal di papan tulis. Tidak hanya itu, di atap sekolah pun Kim Nara juga tidak dapat ditemui.
Ke mana gadis itu?
“Nara sakit, Guru,” jawab Chaeyoung saat Sehan bertanya padanya. Kebetulan Sehan baru keluar dari ruang guru saat Chaeyoung melintas di depan pintu. “Saya baru mendapat kabar dari Bibi Jihyun tadi saat jam makan siang.”
Sehan tertegun untuk beberapa saat paska mendengar jawaban gadis yang merupakan sahabat Nara itu. Ia merasa khawatir begitu tahu kalau Nara sakit.
“Memangnya ada apa, Guru?”
Pertanyaan Chaeyoung membuat Sehan terkesiap pelan dan tampak sedikit gelagapan. “O-Oh, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir saja karena tadi pagi ia tidak ada saat jam pelajaran matematika.”
Chaeyoung ber-oh ria sambil mengangguk. “Setelah ini saya mau ke rumahnya, mungkin Guru ingin menitipkan pesan atau ….”
Sehan langsung menggeleng. “Tidak ada. Hm, bilang saja padanya semoga cepat sembuh.”
“Baik, Guru. Kalau begitu saya pergi dulu. Permisi!”
Sehan hanya mengangguk menanggapi. Ia memperhatikan punggung Chaeyoung yang menjauh dalam diam. Benaknya entah kenapa merasa tak tenang. Memang sudah sepantasnya ia khawatir pada salah satu muridnya yang sedang sakit, bukan? Tapi kenapa rasanya ada yang aneh dengan rasa khawatirnya ini?
Sehan menggeleng keras. “Sudahlah! Aku tidak boleh memikirkan hal yang aneh-aneh. Lebih baik sekarang aku pulang saja.” Pria itu pun berjalan menuju parkiran di mana mobilnya berada.
*****
Sehan sedang duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Sebuah buku dalam keadaan terbuka berada di atas pangkuannya. Pemuda tampan itu tampak asyik menyelami kata demi kata yang tersusun di dalamnya.
“Rajinnya kekasihku ini!”
Sehan terkesiap pelan saat mendengar suara seorang gadis. Pemuda itu menoleh dan tersenyum mendapati sang kekasih sudah berdiri tak jauh dari posisinya saat ini. Gadis itu bersedekap sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Sehan mengernyit tidak mengerti.
“Ada apa dengan wajahmu? Kenapa ditekuk begitu?” tanya Sehan sambil menutup bukunya, menaruhnya di atas tas kemudian bangkit berdiri. Ia mendekati sang kekasih hati yang tampak merajuk entah karena apa.
Yang ditanya justru mendengus kesal dan mengalihkan atensi ke arah lain. “Aku kesal padamu.”
Sehan semakin tidak mengerti. “Memang apa salahku? Aku kan datang tepat waktu?”
“Ck! Bukan itu!” Akhirnya gadis cantik itu mau menatap Sehan juga. Dengan raut yang masih menunjukkan rasa kesal ia berujar, “Kita kan mau berkencan, tapi kenapa kau justru belajar?”
Sehan masih menatap gadis di hadapannya tak mengerti.
“Belajar dan berkencan itu ada waktunya masing-masing, Oh. Setiap kali kau membawa tas dan buku pelajaran saat kita berkencan itu membuatku merasa tidak enak. Seakan-akan aku ini mencuri waktu belajarmu hanya untuk berkencan, tahu!”
“Tunggu sebentar!” Sehan menukas sebelum gadisnya sempat melanjutkan kata-kata. Ia mengamati raut kekasihnya dengan seksama. Perlahan senyum miring tersungging di wajahnya saat mulai mengerti ke mana jalan pikiran gadis itu tertuju. “Jadi kau itu kesal karena tidak mau dianggap sebagai kekasih yang membawa pengaruh buruk padaku, begitu? Kau takut orang-orang mengira kalau kau itu memaksaku berkencan di tengah-tengah belajar?”
Raut gadis itu perlahan mengendur. Sambil mengangguk lesu ia menimpali, “Sebenarnya aku tidak peduli tanggapan orang-orang, hanya saja aku merasa bersalah padamu. Melihatmu belajar bahkan di sela-sela kencan kita membuatku merasa kerdil jika sedang bersamamu. Kau tahu sendiri kan, bagaimana peringkat kita di sekolah? Kita jauh berbeda. Kau juara umum, sedangkan aku peringkat menengah—“
“Sst! Hei!” Sehan sengaja menginterupsi dengan menangkupkan tangannya ke pipi sang kekasih. Sedikit memaksa gadisnya agar mau menatapnya. Sehan tersenyum menenangkan. “Kim, kenapa kau jadi membahas soal peringkat kita, hm? Dan kenapa kau harus merasa kalau kau seolah mencuri waktu belajarku? Kau sama sekali tidak seperti itu kok. Aku saja yang terlalu rajin membawa buku ke mana-mana. Maafkan aku, ya! Gara-gara kebiasaanku ini kau jadi—“
Gadis itu menggeleng. “Kau tidak salah kok. Aku saja yang berlebihan. Aku tidak merasa percaya diri karena punya kekasih seperti dirimu.”
Sehan tersenyum dan langsung menarik kekasihnya ke dalam sebuah dekapan hangat. Gadis itu membalas dengan sama hangatnya.
“Kau tidak perlu merasa seperti itu. Kau tahu? Aku justru sangat bersyukur karena memiliki kekasih seperti dirimu, Kim.” Sehan menarik diri dan kembali menatap wajah cantik gadisnya dengan lekat. “Ada yang bilang kalau dua orang yang menjadi pasangan itu harusnya saling melengkapi. Tidak ada pasangan yang sempurna karena manusia pun tidak ada yang sempurna. Mereka terlihat sempurna karena kelebihan dan kekurangan mereka saling melengkapi.”
Sehan mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, “Aku menyukaimu apa adanya, Kim. Kelebihan dan kekuranganmu telah melengkapi kelebihan dan kekuranganku. Itu sebabnya aku merasa beruntung karena memilikimu di sisiku.”
Mau tak mau perkataan Sehan membuat sang gadis tersipu. Ia tersenyum lebar lalu kembali mendekap tubuh tegap pemuda di hadapannya. “Kau tahu, Oh? Aku juga merasa sangat beruntung karena memilikimu di sisiku.” Ia menarik diri demi menatap wajah tampan Sehan. “Aku mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu ….” Sehan mendekatkan wajahnya ke arah sang kekasih yang mulai memejamkan matanya. “… Kim Dain.”
Kemudian dua material basah itu pun bersentuhan secara sempurna.
*****
Ting tong! Ting tong!
Sehan terkesiap bangun dari tidurnya setelah mendengar suara bel pintu. Sambil berusaha mengumpulkan nyawa pria itu memeriksa jam di atas meja. Masih jam 9 pagi rupanya. Siapa yang bertamu pagi-pagi begini? batinnya sedikit jengkel. Ya, hari ini adalah akhir pekan, itu sebabnya ia tidak punya kewajiban bangun pagi untuk mengajar. Wajar jika ia mengeluh, bukan? Apalagi si tamu ini berhasil membuyarkan mimpi indahnya. Mimpi yang berisi kenangan bersama sang kekasih hati, Kim Dain.
Mau tak mau Sehan pun bangkit dari ranjang walau sedikit kepayahan. Perlahan menyeret tungkainya menuju pintu. Namun, alangkah terkejutnya Sehan saat melihat siapa sosok yang telah berdiri di balik pintu. Saking kagetnya ia sampai melotot tak percaya, sebab sosok itu adalah sosok yang akhir-akhir ini mengingatkannya pada Dain.
“K-Kim Nara?”
“Selamat pagi, Guru!” sapa Nara ceria sambil membungkukkan tubuhnya sedikit. Ia membawa dua cangkir kopi dan dua bungkus roti di tangannya dan langsung dipamerkan di depan Sehan yang masih terlampau kaget. “Lihat! Aku membawa ini untuk sarapan.”
“Sedang apa kau di sini?” tanya Sehan tanpa membalas basa-basi muridnya itu. “Dan dari mana kau tahu alamatku?”
Senyum lebar Kim Nara luntur dalam sekejap dan digantikan raut masam. Gadis itu menghela napas pelan sebelum merespons, “Guru tidak ingin menyuruhku masuk dulu?”
Sehan terkesiap pelan. Awalnya ia memang ingin mempersilakan Nara masuk, tapi urung. Ia justru berujar, “Aku akan mengajakmu masuk, tapi sebelumnya kau harus menjawab pertanyaanku dulu. Apa tujuanmu datang ke apartemenku? Dan bagaimana kau tahu alamatku?”
“Aku ke sini untuk belajar dan aku tahu alamatmu ini dari Jung Jaeyoon.”
“Belajar?” Dahi Sehan mengerut.
Nara mengangguk cepat. “Guru tahu sendiri kan, kalau aku tidak masuk kemarin? Aku takut tertinggal, itu sebabnya aku ingin belajar denganmu.”
“Lalu kenapa kau tidak tunggu sampai hari Senin saja? Maksudku, kau itu jenius, Kim Nara. Tidak masuk sehari saja tidak akan—“
“Jadi, Guru tidak mau mengajariku, ya?” Nara menukas dengan nada sedih. Rautnya menunjukkan kekecewaan dan kesedihan yang begitu kentara. Membuat Sehan merasa bersalah karenanya.
“Kalau Guru tidak mau tidak apa-apa, aku akan—“
“Eh, baiklah, baiklah! Aku akan mengajarimu.” Sehan sedikit lega melihat binar-binar kegembiraan kembali terlukis di wajah Nara. Dengan sedikit rasa tak rela yang masih mengganjal di hati, Sehan pun menggeser tubuhnya agar gadis itu bisa masuk ke kediamannya. “Ayo masuk!”
“Yeay!” Nara bersorak dan masuk ke apartemen sementara Sehan menghembuskan napas berat sembari menutup pintu. Sehan hanya berharap semoga saja selama mengajar nanti ia tidak kembali teringat oleh sosok Kim Dain karena berduaan dengan Kim Nara.
******
"Jadi bagaimana? Kau sudah paham, kan?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Sehan, Nara justru asyik menopang dagu dan memperhatikan sang guru dengan tatapan memuja. Posisi mereka yang duduk berdampingan memudahkan Nara menikmati pahatan wajah tampan Sehan dari jarak yang begitu dekat. Bahkan ia juga dapat menghirup aroma sabun dan sampo yang dipakai oleh pria itu. Ya, sebelum memulai sesi belajar, Sehan memang mandi dulu mengingat Nara datang saat ia baru saja bangun tidur. Setelah itu, keduanya sarapan bersama dengan kopi dan roti yang dibawakan oleh Nara tadi.
Karena Nara tak kunjung menyahut, Sehan pun mengulangi pertanyaannya, namun dengan nada bicara yang sedikit lebih ditekankan, "Kim Nara, apakah kau sudah paham?"
Nara akhirnya tersadar dari lamunannya dan menjawab, "Y-Ya, aku sudah paham, Guru."
Sehan memicing menatap Nara yang sedang tersenyum lebar. Tidak adanya ekspresi berarti yang ditunjukkan oleh sang guru dalam waktu yang cukup lama membuat Nara menjadi gugup. Baru saja akan melisankan pertanyaan atas sikap aneh Sehan, tapi pria itu sudah lebih dulu berujar, "Sebenarnya untuk apa kau kemari, Kim Nara? Apa tujuanmu sebenarnya?"
Ah, sial! Nara mengutuk dalam hati. Ia lupa kalau Sehan sepintar itu dalam membaca situasi. Sebenarnya memang Nara tidak datang ke apartemen ini untuk belajar. Belajar hanyalah alibinya, lebih daripada itu, ia merindukan Sehan dan hanya ingin mencari alasan logis agar bisa bertemu dengannya.
"Sejak tadi kau bahkan tidak mendengarkan penjelasanku. Aku juga tahu kalau sebenarnya kau sudah paham materi ini, kan? Lalu, kenapa kau datang ke sini dan mengaku ingin belajar?"
"Aku memang ingin belajar, Guru," Nara menyergah. "Aku sungguh-sungguh ingin belajar kok."
"Lalu kenapa kau tidak mendengarkan penjelasanku? Kenapa sejak tadi kau—"
Kata-kata Sehan tidak pernah utuh, sebab pada detik selanjutnya Nara melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah dibayangkan olehnya. Sesuatu yang membuatnya merasa déjà vu karena pagi tadi ia baru saja mengalaminya dalam mimpi.
Kim Nara menciumnya tepat di bibir.