Her

1528 Words
Ada dua jenis kenangan yang akan terus membekas; kenangan menyakitkan dan kenangan yang mengesankan.   *****   27 November 1997   Chanyoung pulang sekolah dengan senyum lebar yang tidak berhenti menghiasi wajahnya. Hari ini dia begitu senang, bukan hanya karena dirinya berulang tahun, melainkan juga karena dia berhasil mendapat nilai tertinggi untuk ujian matematikanya. Chanyoung begitu senang karena selama ini dia tidak pernah berhasil mendapatkan nilai setinggi ini. Sesampainya di rumah nanti, dia bertekad memberitahu kedua orang tuanya mengenai hal ini.   “Tuan Muda terlihat begitu senang. Pasti karena mendapat ucapan dan kado ulang tahun dari teman-teman, ya?” Pak Noh, sopir keluarga Park, bertanya. Chanyoung menggeleng tanpa mengubah senyum di wajahnya.   “Bukan hanya karena itu, Paman. Aku merasa senang karena hari ini aku berhasil mendapatkan nilai matematika tertinggi di kelas. Biasanya, yang mendapatkan nilai tertinggi adalah Kim Sooho. Aku senang karena akhirnya aku bisa mengalahkannya, Paman.”   Pak Noh ikut tersenyum mendengar cerita Chanyoung. “Wah, Tuan Muda memang hebat! Selamat, ya! Tuan dan Nyonya pasti senang mendengar hal ini.”   Chanyoung tersipu. “Terima kasih, Paman.”   Akhirnya, mobil yang membawa Chanyoung dan Pak Noh pun tiba di depan rumah megah bocah itu. Chanyoung langsung keluar dari mobil dan berlari ke dalam rumah. Tujuannya adalah ruang tengah, di mana sang ayah diketahui sedang tidak pergi bekerja. Benar saja, Tuan dan Nyonya Park sedang berbincang-bincang di sana.   “Ayah! Ibu!” sapa Chanyoung riang. Kedua orang tuanya pun menoleh dan tersenyum padanya.   “Kau sudah pulang, Nak?” tanya Nyonya Park usai Chanyoung melesakkan tubuh di sofa yang didudukinya.   Chanyoung mengangguk. “Ayah, Ibu, hari ini aku senang sekali. Tadi di sekolah teman-teman mengucapkan selamat dan memberiku kado. Lalu, aku juga mendapatkan ….” Chanyoung mengeluarkan kertas ujian yang sejak tadi dia sembunyikan di belakang punggungnya. “… ini.”   Dengan dahi berkerut, Nyonya Park pun mengambil kertas itu. “Ini apa?” Begitu membaca nilai yang tertera di bagian atas kertas, wanita cantik itu pun tersenyum lebar. “Wah, selamat, Sayang! Kau memang pintar. Ibu bangga sekali padamu.” Nyonya Park langsung memeluk Chanyoung dengan penuh rasa bangga.   Akan tetapi, hal berbeda justru terlukis di wajah Tuan Park. Dengan wajah dingin pria itu berujar, “Sini, Ayah lihat!”   Nyonya Park pun mengangsurkan kertas ujian Chanyoung pada sang suami. Senyum merekah masih menghiasi wajah Nyonya Park dan Chanyoung saat melihat Tuan Park membacanya. Namun, senyum mereka tergantikan dengan raut heran saat Tuan Park justru tertawa meremehkan dan melempar kertas itu ke atas meja. “Kau merasa bangga dengan hasil seperti itu?” tanyanya dengan nada meremehkan.   “Apa?”   “Kau sudah puas dengan mendapatkan nilai 90? Bagiku, itu bukanlah apa-apa! Harusnya kau bisa mendapatkan yang lebih dari ini.”   “Sayang ….”   Tawa meremehkan diloloskan lagi oleh Tuan Park. “Kau tahu, Chanyoung? Kau itu seorang pewaris! Seorang pewaris harus selalu menjadi yang terbaik—“   “Tapi, aku menjadi pemegang nilai tertinggi, Ayah—“   Brakkk!   “Itu belum cukup!” Kali ini Tuan Park membentak. Tatapannya juga begitu tajam. Wajahnya menunjukkan kalau dia tersulut amarah akibat ucapan sang putra tunggal. “Kalau aku bilang menjadi yang terbaik, itu artinya kau harus sempurna. Nilai 90 itu belum sempurna. Kau harus mendapatkan nilai 100 agar bisa menjadi yang paling di atas. Kau tahu Oh Sehan putra Oh Seungjun? Dia bahkan bisa mengikuti olimpiade matematika dan memenangkannya. Itu baru yang namanya hebat! Dengan nilai seperti ini kau belum ada apa-apanya dibanding dia.”   “Sayang, sudah cukup.” Nyonya Park menegur dengan nada lembut. “Jangan bicara seperti itu pada Chanyoung. Walau dia belum mendapatkan nilai sempurna, setidaknya kita beri dia apresiasi—“   “Dalam kamus hidupku, apresiasi hanya patut diberikan untuk orang-orang yang mendapatkan hasil maksimal.” Nada bicara dan tatapan dingin kembali diarahkan Tuan Park pada Chanyoung yang tampak membeku. “Apa yang diraih Chanyoung saat ini belum pantas mendapatkan pujian dariku.”   Begitu saja dan Tuan Park pun pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan Chanyoung yang menunduk sedih dan hampir saja menangis bersama dengan sang ibu yang menatapnya prihatin.   Sambil memaksakan seulas senyum, Nyonya Park mencoba menenangkan Chanyoung yang tampak terguncang. “Sayang, jangan terlalu dipikirkan perkataan ayahmu, ya. Dia—“   “Aku lelah, Bu. Aku ingin ke kamar. Ibu jangan khawatir, aku baik-baik saja kok.” Dengan sedikit tergesa, Chanyoung pun berjalan ke kamarnya di lantai dua. Dia bahkan tidak menghiraukan sang ibu yang memanggil namanya. Chanyoung menutup pintu dan melampiaskan rasa sedih, marah, dan kecewanya dengan menangis di sana. Sungguh, dia merasa begitu sedih. Dia tahu, ayahnya memang sosok yang tidak mudah terkesan akan sesuatu. Ayahnya juga sosok yang perfeksionis. Namun, tetap saja Chanyoung merasa syok diperlakukan seperti itu.   Setelah puas menangis dan sudah merasa lebih tenang. Chanyoung pun memutuskan untuk keluar kamar. Dia pergi ke ruang tengah dan menemukan bahwa kertas ujiannya masih berada di sana. Rasa kesal tiba-tiba muncul di dalam hatinya. Sambil melangkah penuh amarah, Chanyoung menghampiri meja dan mengambil kertas itu. Membawanya keluar dari rumah.   Rupanya, tujuan Chanyoung adalah taman kompleks dekat rumah. Sesampainya di sana, Chanyoung langsung menuju ke kolam ikan yang berada di sana. Dengan wajah kesal, bocah yang mulai beranjak remaja itu langsung meremas-remas kertas dalam genggaman dan melemparkannya ke kolam ikan itu.   Akan tetapi ….   “Hei, kau!”   Chanyoung yang begitu terkejut pun menoleh ke sumber suara. Seorang gadis seusianya datang dengan raut kesal yang menghiasi wajahnya. Derap langkah gadis itu pun seolah menunjukkan kalau sang gadis memang sedang marah. Chanyoung kebingungan dibuatnya.   Awalnya, Chanyoung kira gadis itu akan memarahinya, tapi ternyata tidak. Gadis itu mengambil sebuah ranting dan berusaha mengambil kertas yang dibuang Chanyoung tadi.   “Kau tidak tahu, ya? Kau tidak boleh membuang sampah di kolam ikan seperti ini,” ujar sang gadis dengan nada kesal usai kertas itu berhasil dia raih. “Apa kau tidak berpikir, bagaimana jika ikan-ikan di sini mati karena memakan sampah? Kau tidak kasihan pada mereka?”   “Eh, itu … aku ….” Rasa bersalah yang disertai rasa gugup dan bingung membuat Chanyoung tidak mampu berkata-kata.   Seolah tidak ingin ambil pusing dengan sikap Chanyoung, sang gadis pun membuka kertas itu dengan penasaran. Rautnya seketika berubah takjub melihat apa yang tertera di sana. “Hebat! Ini hasil ujianmu?” tanyanya sambil menatap Chanyoung penuh rasa ingin tahu.   Dengan kebingungan, Chanyoung pun mengangguk. “Ya, itu milikku.”   Lagi-lagi decak kagum diloloskan oleh gadis itu. “Nilai sebagus ini kenapa malah kau buang?”   Chanyoung menunduk saat menjawab, “Ayah memarahiku karena hanya mendapatkan nilai 90. Dia bilang seharusnya aku mendapatkan nilai sempurna. Nilai 90 bukanlah apa-apa.”   “’Hanya 90’ katanya? ‘Nilai 90 bukanlah apa-apa’? Wah, ayahmu kejam sekali.”   Komentar gadis itu membuat Chanyoung tersenyum getir.   “Kau tahu? Nilai 90 itu segalanya bagiku, apalagi jika matematika. Sejak dulu aku tidak pandai matematika. Jadi, nilai 90 sudah merupakan keajaiban bagiku.”   Mau tidak mau, Chanyoung pun tersenyum karenanya. Hatinya sedikit menghangat.   “Jadi, kau ingin membuang kertas ujianmu karena kau merasa kecewa dimarahi seperti itu?”   Chanyoung hanya mengangguk sebagai jawaban. Sang gadis berdecak.   “Sadarlah! Kau itu laki-laki. Masa kau menyerah begitu saja hanya karena dimarahi seperti itu? Jadikanlah ini sebagai cambuk bagimu untuk bisa mendapatkan nilai yang diinginkan oleh ayahmu.”   Chanyoung tampak ragu. Sepertinya, dia tidak yakin akan mampu mendapatkannya. Dihina seperti itu oleh sang ayah membuatnya begitu sakit hati. Mentalnya jatuh ke dasar jurang.   “Asal kau tahu saja, kau itu sudah hebat karena mendapatkan nilai 90. Tidak banyak orang yang bisa meraih nilai setinggi itu, apalagi mata pelajaran matematika. Contohnya aku. Aku tidak pernah mendapatkan nilai di atas 50, padahal aku sudah belajar mati-matian. Aku yakin, orang-orang di sekitarmu, kecuali ayahmu juga mengatakan hal yang sama sepertiku, bukan?”   Chanyoung mengamini dalam hati. Gadis itu benar, hanya sang ayah yang sama sekali tidak merasa bahwa itu merupakan pencapaian yang hebat.   “Ingat pesanku; jangan biarkan satu komentar buruk terlihat begitu berarti dibandingkan seribu komentar baik. Kau hanya harus membuktikan kalau kau juga bisa mendapatkan yang lebih dari pencapaianmu saat ini.”   Sungguh, Chanyoung seolah baru saja dipukul telak oleh gadis itu. Ya, gadis itu memang benar. Tidak seharusnya Chanyoung menyerah seperti ini. Kata-kata ayahnya memang kejam, tapi justru itulah yang harus dia jadikan sebagai cambuk untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi seseorang yang sang ayah banggakan.   “Kau benar.” Senyum lebar tersungging di bibir Chanyoung. “Seharusnya aku bangkit dan berusaha lebih keras lagi, bukannya bersikap seperti seorang pecundang seperti ini. Terima kasih, ….”   Gadis itu sebenarnya paham kalau Chanyoung menanyakan namanya, tapi dia memilih untuk menggeleng. Sambil menyeringai, gadis itu berujar, “Maaf, tapi aku tidak memperkenalkan diriku kepada seseorang yang baru pertama kali kutemui.”   “Apa?”   Gadis itu mengembalikan kertas ujian ke tangan Chanyoung. Dia pun berbalik dan meninggalkan Chanyoung yang tampak linglung begitu saja.   “Hei!” Chanyoung memanggil.   Gadis itu berteriak, “Kalau kita bertemu lagi, aku akan memperkenalkan diriku padamu.”   Chanyoung hendak membuka mulut untuk menimpali, tapi urung. Bocah itu hanya tersenyum dan membalas, “Baiklah, aku tunggu pertemuan kita selanjutnya.”   Sayangnya, pertemuan kedua itu tidak pernah terwujud sampai detik ini. Hal yang paling disesali oleh Chanyoung seumur hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD