“Jadi, Ibu nggak tau Sabine pindah ke mana?”
“Saya nggak tau, Mas. Mungkin ikut ke Melbourne. Sejak rumah ini dijual, Bu Lita sempat bilang ke saya mau jual rumahnya juga yang di Kemang. Laku atau nggak saya juga nggak tau.”
***
Lagi-lagi Niko tidak mendapat informasi mengenai keberadaan Sabine saat dia berdiri tepat di depan rumah megah Bu Lita. Ada spanduk bertuliskan kata SOLD yang terbentang di depan pagar.
“Orang yang punya pindah ke Australia, Mas. Kira-kira tiga bulan lalu,”
“Ibu itu bawa anak seumuran kira-kira sebelas atau dua belas tahun nggak, Pak?” tanya Niko. Dia belum yakin Sabine ikut serta ke Melbourne, karena dia tahu kakak-kakak Sabine tidak menyukai Sabine.
“Wah, saya malah nggak liat anak itu. Yang saya ingat dulu itu hanya Bu Lita sama dua anaknya saja di mobil Alphard yang mereka tumpangi menuju bandara. Yang kecil malah saya nggak liat.”
Niko menghela napas kecewa. “Ok, Pak. Terimakasih,” ucapnya pasrah.
Setelah dari Kemang, Niko kembali memutar setirnya menuju sekolah Sabine. Di sana, dia menanyakan ke mana Sabine pindah. Lagi-lagi Niko kecewa, karena pihak sekolah juga tidak mengetahui ke sekolah mana Sabine pindah.
Niko pasrah. Dia akhirnya berkesimpulan bahwa mungkin Sabine ikut keluarganya ke Melbourne.
***
“Terakhir dia kirim pesan pas kamu sibuk-sibuknya dulu. Trus, nggak pernah aktif lagi IGnya. Facebooknya juga tidak pernah online. Wanya juga nggak aktif lagi,” ujar Evi dengan raut wajah sangat sedih.
Niko lemas ketika tiba di rumah. Evi pun jadi ikut sedih melihat suaminya bercerita mengenai apa yang terjadi pada Sabine.
“Aku kangen, Vi. Kangen Sabine. Aku nggak sanggup membayangkan dia sendiri di Bandara tengah malam. Padahal aku dulu selalu jaga dia hingga dia benar-benar tidur di setiap malamnya,” isak Niko.
“Ya ampuun, apa mungkin dia pindah ke Melbourne?” gumam Niko tak percaya.
Niko terduduk lemas. Padahal dia sudah berencana mengajak Sabine jalan-jalan bersama Evi. Karena dirinya mendapat promosi kenaikan jabatan di kantor. Niko ingin berbagi kebahagiaan dengan Sabine.
Evi lalu memburu Niko, memeluknya.
“Mudah-mudahan ada kejelasan tentang Sabine, Sayang,” bujuk Evi.
Malam itu, Niko memang memejamkan matanya. Tapi benaknya dipenuhi wajah sedih Sabine. Niko masih ingat kala dia mengecup bibir Sabine yang tengah menangis kencang. Waktu itu Sabine memohonnya untuk memberinya kecupan.
Niko menggigit bibirnya, seolah masih terasa lembut bibir kecil Sabine dan hangat napas yang terhembus dari hidung mungil makhluk kecil itu.
“Sabine,” batinnya sendu.
***
Beberapa tahun kemudian…
Sore sepulang sekolah, seperti biasa Sabine menolong Bude Rita melayani pembeli di warung depan rumah.
“Nggak usah dikasih plastik, Neng geulis. Udah gini ajah,”
“Oh, oke, Bu,” Sabine langsung menyerahkan satu kotak berisi kue cucur ke Bu Teti, pelanggan yang rumahnya berada di seberang rumah Bude Rita.
“Rita....” Bu Teti menegur Bude Rita yang sedang menghitung uang di laci warung.
“Ya, apalagi,” tanggap Bude Rita malas-malasan.
“Eh. Gue bukan mau beli kue lu lagi,”
“La trus?”
Bu Teti menarik salah satu kursi plastik yang ada di warung kecil Bude Rita, lalu duduk dengan posisi yang serius.
“Eh, lu tau kagak. Bu Syahril yang tinggal di rumah petak wak haji Naim,”
“Oh, iya ngarti gue. Yang rumahnya lagi di renov kan? Lagi banyak duit tuh orang,”
“Hah, duit lendir,”
“Hush!! Lu kalo ngomong yang sopanan dikit napa?”
“Elaaa, kapan gua sopan, Ritaaa,”
Sabine yang sedang membaca buku dengan kaki yang diangkat di atas meja, tersenyum simpul mendengar dua ibu-ibu tua sedang bergosip ria di warung budenya.
“Duit lendir gimana? Bu Syahril yang tuir kayak gue, emang masih ada yang mau? Layu ah tuh barang. Kiwir-kiwir,” cecar Bude Rita sambil goyang pinggul.
Meski Bude Rita berasal dari Solo, tapi sudah puluhan tahun tinggal di daerah yang penduduknya kebanyakan dari suku Betawi. Logatnya pun berubah. Sangat Betawi.
“La, Bu Syahril kan punya anak perempuan yang kuliah. Asni. Yang cantiiiik kayak Yuni Shara. Mungil-mungil gitu. Denger-denger jadi piaraan Om-o*******g,”
“Masa? Bu Syahril kan baru umroh tahun kemarin?”
Bu Teti membuka kue yang dia beli, dan mengunyahnya dengan semangat.
“Sab! aqua gelas satu. Langsung ditusuk ya?” pinta Bu Teti ke Sabine yang masih membaca buku. Sabine langsung mengambil aqua gelas dan memberikannya ke Bu Teti.
Bu Teti mulai serius melanjutkan gosipnya.
“Jadi Ritaaaa, Leli ponakan gue kan satu kuliah ama si Asni nih ceritanya. Dia bilang ke gue, Asni ntu sekarang sudah nggak tinggal di rumah itu lagi. Tapi tinggal di apartemen mewah Senopati. Ke kampus bawa mobil tekuper kuper,”
“Apaan tekuper-kuper,”
“Ah. Gue lupa mereknya. Taunya kuper doang ujungnya, eh lu paham mobil tekuper-kuper nggak, Sab?”
Sabine kaget. Dia mengira dirinya tidak dilibatkan dalam gosip hangat Bu Teti dan budenya.
“Minicooper kali, Buuu,” seru Sabine.
“Ya itu. Minikuperrr. Yang harganya 1 miliar loh. Keluaran terbaru. Si Asni juga tambah glowing, kulitnya mulussss, ke mana-mana bawa barang branded puluhan jutaaaa.”
“Hm, yah mau gimana lagi … udah rejekinya, Tetiii,”
“Ih. Lu apa nggak gimana-gimana gitu? Geliii,”
“Ya. Lu justru doain ponaan lu supaya nggak ikutan gitu-gitu,”
“O, Leli mah anaknya alim gitu. Yah, gue yakin dia nggak bakalan jadi yang begonoooo,”
Dan selanjutnya, dua ibu-ibu tua itu ngobrol ngalor ngidul kesana kemari. Sesekali Sabine tampak tersenyum mendengar celoteh dua orang itu yang cukup menghibur sorenya saat itu.
***
Sabine sekarang duduk di bangku kelas 12 di salah satu SMA Negeri dekat rumah. Cukup ditempuh dengan jalan kaki. Penampilan Sabine lumayan berubah. Rambutnya tetap pendek seperti biasa, kulit tubuhnya masih putih mulus, wajahnya juga masih cantik terurus. Tapi, Sabine sedikit memberi kesan garang di tubuhnya dengan memberi tato kecil di leher bergambar bunga tulip, dan di betis kirinya, juga gambar bunga, bunga mawar. Kecil saja, biar tidak terlihat.
Sabine sudah tidak terlalu banyak berharap hidupnya akan kembali seperti dulu. Meski Pakde Yono dan Bude Rita menyayanginya, tapi tetap saja Sabine merasa segan untuk bermanja-manja. Sabine yang dulunya manja kini berubah sedikit cuek. Sabine sudah sangat pasrah dengan hidup yang sekarang dia jalani. Dia juga tidak dendam atau marah dengan kerabat terdekatnya yang seakan tidak menginginkan kehadirannya. Menurutnya, jalani saja.
Walau berubah, kebiasaan tiap malam mengenang kecupan pertama dari Niko masih rutin dia lakukan. Sambil melihat-lihat foto-foto bersama Niko saat wisuda, Sabine terus mengenang masa-masa indah bersama Niko. Buku-buku cerita favoritnya juga kerap Sabine baca sebelum tidur, sambil mengingat suara dan gaya Niko membacakannya.
Entah kenapa Sabine hanya senang mengenang Niko tanpa berusaha menghubunginya lagi. Mungkin karena ada pesan terakhir yang dia baca dari Evi, istri Niko. Maaf, Sayang. Om Niko sibuk sekali. Dia tidak bisa dihubungi kali ini. Sering bolak balik Jakarta-Kuala Lumpur hingga Kinabalu. Nanti Tante info waktu tepat kontak Om Niko ya?
Setelah itu hampir setiap hari Sabine menghubungi Niko, tapi tidak pernah mendapatkan jawaban. Bahkan pesannya seperti dihapus. Hingga musibah itu datang. Sabine tidak lagi mengaktifkan akunnya. Sabine memang kecewa, tapi tidak tahu kecewa dengan siapa. Evikah? Nikokah? Atau malah dirinya? Sabine akhirnya berkesimpulan Niko tidak lagi menghiraukannya. Dia sudah hidup bersama cinta sejatinya. Dia sudah punya kehidupan sendiri. Untuk apa diharapkan lagi.
Namun bagi Sabine, mengenang Niko sudah cukup membuatnya bahagia dan tenang dengan hidupnya.
Bersambung