Duka Sabine

1140 Words
Tiga bulan kemudian ...  Sabine sudah mandiri sekarang. Hampir semua dia bisa lakukan dengan tangannya sendiri. Bahkan dia bisa menjahit bajunya yang sedikit robek. Kalau yang ini, Erni yang mengajarinya. Sabine juga tidak kesepian lagi. Sejak duduk di bangku SMP, Sabine memiliki dua sahabat yang dia sering ajak ke rumahnya, Bella dan Katie. Dua sahabatnya tidak jauh berbeda nasibnya dengan Sabine. Bella yang sedari kecil ditinggal pergi papanya selama-lamanya, dan Katie yang ditinggal mamanya yang menikah dengan lelaki selingkuhannya. What an irony. Dan mereka bersahabat baik, kadang kerap saling curhat. Tapi kali ini, sepertinya yang mereka bahas bukan kesedihan di keluarga mereka masing-masing, tapi membahas seorang laki-laki ganteng yang tengah mendekati Sabine. Wira namanya. “Sab. Lo geblek. Terima aja cintanya si Wira. Biar bisa samaan kita-kita, ngerasain cinta pertama dan ciuman pertama. Hmmmm,” desak Bella yang sedang tiduran di atas tempat tidur Sabine. Katie juga tiduran di sisinya. Sabine tersenyum. Sekilas dia mengingat kecupan hangat dari Niko dulu. Dan dia tidak ingin bercerita tentang kisah itu. Biar dia sendiri saja yang mengenangnya dan menikmatinya di tiap-tiap malam menjelang tidur. “Eh, ini foto siapa, Sab? Ganteng loh.” Tiba-tiba Katie yang sedang memainkan ponselnya membuka-buka laman IG Sabine. “Oh, guru private gue. Niko namanya,” “Kapan aja ngajarnya, kenalin dong?” “Udah nggak ngajar lagi. Orangnya udah nikah,” “Oh, ganteng lo, Bel. Mirip Luke Hemmings, versi pake kacamata,” Bella ikut mengamati. Dia langsung bangkit dari rebahnya. “Eh, iya. Udah kewong ya, Sab?” Sabine tertawa melihat sikap dua sahabatnya. “Ampuuun. Ganteng beeetttt. Gila. Lo apa nggak basah-basah gitu deket-deket dia?” Sabine tertawa terpingkal-pingkal. “Apaan sih. Biasa aja kali,” balasnya. Sabine mengakui Niko memang sangat tampan. Masih saja dia merasakan sentuhan tangan Niko ketika memandikannya dulu. Juga tatapan teduh Niko jika sedang membujuknya serta pelukan hangat Niko. Kini hanya tinggal kenangan. “Wah, lo tiap hari diajarnya apa gimana? Kalo dia guru gue, udah gue buang Daryl pacar gue,” “Savage! Sakit jiwa lo, Bel,” “Idih, kalian. Orangnya udah nikah, ngapain diharep-harep,” tukas Sabine sambil melempar bantal kecil ke arah dua temannya yang masih terus memandang foto dirinya yang mendampingi Niko wisuda dulu. “Eh, Sab. Lo makanya piknik yang jauhan dong. Mau pacar orang, laki orang, sambit aja kalo misal lo mau,” balas Katie. “Lo punya jiwa pelakor juga ya?” cecar Bella sambil menepuk punggung Katie. “Yaela, Bel. Kita kan sahabatan. Misal di antara kita suka ma laki orang nih, dukung aja kalo emang suka,” balas Katie lagi. “Benar-benar sinting lo, Katieeeee,” Katie tertawa terbahak-bahak. Sabine juga ikutan tertawa. Dua sahabatnya ini memang suka bercanda. Mereka juga sangat menyenangkan. “Eh balik lagi ke Wira nih. Gimana, Sab? Hampir tiap hari dia ngasih gue ferero rocher loh. Bisa bangkrut bokapnya gara-gara Sabun, eh, Sabine, hahaha,” “Yah. Gimana sih lo. Bukan selera gue si Wira,” decak Sabine. “Selera lo yang bijimana, Sab?” tanya Katie. “Yah,” Sabine senyum-senyum sendiri. “Ahahaha. Jangan-jangan selera lo si Niko nih. Ahahaha. Ngaku lo, Sab,” sergah Katie. “Apa-apaan sih lo lo pada,” balas Sabine malu-malu. “Bel, ayo turunkan ilmu lo ke Sabine, cara-cara mendekati laki atau pacar orang lain,” “Idih. Bukannya lo yang punya ilmu sihir,” “Pelet,” jelas Katie sambil melotot. “Mending pelet duda aja. Suksesnya di depan mata,” “Ayo ah, Sab. Gimana nih Wira,” Bella kembali mengingatkan topik utama diskusi mereka. “Lo disuap apa ama Wira? Mustahil cuma ferero rocheeeeerrrrr,” sela Katie. “Sumpe lo. Gue ikhlas bantu Wira nih,” Dan Sabine hanya tertawa menggeleng melihat tingkah lucu dua sahabatnya di sore itu. *** Sabine sedih. Mama Carmen akan pergi ke Singapore menemui suaminya, Baskoro Mahfouz. Mama dan Papa Sabine hendak merayakan hari jadi pernikahan mereka di sana. Sabine sebenarnya diajak, tapi karena Sabine harus mengikuti ujian sekolah, Sabine tidak bisa ikut. “Ma, bisa nggak Mama mandiin akuuuu. Aku pasti bakal kangen ditinggal semingguu,” rengek Sabine. Entah kenapa dia sangat manja saat Mama Carmen sedang bersiap-siap memasukkan baju-baju ke dalam koper. Mama Carmen terenyuh mendengar permintaan Sabine. Dipeluknya anak itu. Meski bukan darah dagingnya, Sabine sangat dia sayang. Dan sore itu Sabine benar-benar dimadikan Mama Carmen. “Wah, kamu sudah besar ya,” decak Mama Carmen. Ini kali pertama dia memandikan Sabine. Sejak bayi hingga lima tahun, ada beberapa pengasuh yang memandikan sabine, bukan Mama kandungnya. Karena Mama Lita sangat sibuk. Lalu ada Erni, Ika, dan terakhir Niko yang memandikan Sabine. Sabine memiliki kebiasaan sejak kecil, suka dimandikan. Dan hanya Niko yang mampu menghentikan kebiasaan Sabine yang satu ini. Karena memang saatnya Sabine tidak seharusnya dimandikan lagi. “Mama minta maaf nggak pernah mandiin kamu, Sabine,” ucap Mama Carmen ketika menyadari bahwa dia memang sama sekali belum pernah memandikan Sabine. “Nggak papa, Ma. Aku senang Mama sentuh aku sore ini,” balas Sabine. Senyumnya sangat lebar saat itu. Dia sangat menikmati sentuhan dari tangan Mama Carmen. “Sentuhan siapa yang paling kamu ingat, Sabine?” tanya Mama Carmen. “Mama,” balas Sabine penuh rasa bahagia. Mama Carmen tertawa. Diusap-usapnya punggung Sabine yang duduk jongkok di dalam bath up yang penuh busa. “Mama pikir Om Niko,” gumam Mama Carmen tertawa. Sabine juga ikut tertawa. “Om Niko juga,” tambah Sabine. “Udah lama nggak ketemuan sejak Om Niko menikah, kamu sama dia nggak salim kirim pesan?” “Medsosnya dipegang Tante Evi. Terakhir aku tanya, Om Niko sibuk banget di kantor. Kata Tante Evi beberapa kali Om Niko harus bolak balik Jakarta-Kuala Lumpur. Trus dia bilang ntar kira-kira dua bulan lagi baru bisa ketemuan. Soalnya pas Om Niko lagi senggang,” “Hm, Kangen kamu sama dia?” Sabine mengangguk. Pasti kangen. Sudah lama sekali Sabine tidak mendengar suara Niko yang hampir tiap saat memanggilnya saat mengasuhnya dulu. Suara lembut yang mengiringinya tidur di tiap-tiap malam. Suara yang sama sekali tidak pernah membentaknya. Suara penuh dengan kata-kata nasehat. *** Seminggu sudah Sabine ditinggal pergi Mama Carmen. Kini dia tengah berada di ruang tunggu Bandara, menunggu kedatangan Mama Carmen. Semalam Mama Carmen mengingatkannya agar tidak lupa menjemput. Karena Mama Carmen sudah sangat merindukannya. Papa Sabine juga menghubunginya agar bersiap-siap menerima berbagai oleh-oleh dari Singapore. Sabine senang sekali. Dia menunggu dengan perasaan sangat riang. Namun perasaan senang itu berubah menjadi sedih, saat mendengar jeritan salah seorang yang menunggu kerabatnya yang akan datang dari Singapore dengan pesawat yang juga ditumpangi Mama Carmen dan Pak Baskoro. Sabine semakin cemas, kala dilihatnya semakin banyak orang berteriak histeris di ruang tunggu. Pesawat dari Singapore mengalami kecelakaan. “Mama ... Papa,” lirih Sabine terduduk. Dia bingung. Karena datang ke Bandara seorang diri. Erni tidak bisa menemani karena dia sendiri sedang berada di kampung halaman. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD