-Balas dendam memang selalu menghasilkan kepuasan sekaligus kebahagiaan tersendiri. Namun, apakah balas dendam bisa mengakhiri semua masalah bahkan menyembuhkan luka?-
***
Arunika tahu, dikhianati oleh suami yang sempat sangat ia hormati sekaligus sayangi, bukanlah akhir dari perjalanan hidupnya. Kehidupan akan tetap berjalan ada tidaknya perubahan yang ia lakukan untuknya mendapatkan bahagia. Semuanya tergantung Arunika tanpa terkecuali masa depan Arunika.
Berlarut-larut apalagi terpuruk juga bukan hal yang akan Arunika lakukan. Tekadnya memiliki kehidupan lebih baik tak akan goyah. Bahkan Arunika berpikir, masih ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan suami dan membiarkan anaknya dibuang oleh papahnya sendiri.
Terpejam pasrah, Arunika menghela napas pelan. Dadanya terasa sangat pegal hanya karena luka-luka yang tengah ia redam. Lepaskan, Ka. Lepas. Ikhlas ... enggak usah balas dendam yang hanya bikin kamu makin terluka. Balas semua lukamu dengan elegan, dengan kesuksesan. Sekarang kamu baru memulai, kamu belum apa-apa takutnya mereka menyerang balik dan kamu enggak bisa lawan atau sekadar bertahan. Cukup mbak Wiwin saja yang melakukannya karena sebagai kakakmu, mbak Wiwin memang berhak marah.
Sampai detik ini, Arunika masih bungkam, membiarkan Wiwin melemparkan telur busuk dan juga tomat busuk ke pintu rumah Dimas. Sekitar dua menit yang lalu, Wiwin sengaja memanjat gerbang rumah Dimas demi bisa melempar telur dan tomat busuknya dengan leluasa dan juga tepat sasaran.
Mengenai telur dan tomat busuk, Arunika juga baru tahu bila Wiwin sudah menyiapkan semua itu. Wiwin menyimpannya di bagasi motor Wiwin yang terbilang luas. Kenyataan tersebut membuat Arunika yakin bahwa semuanya sudah Wiwin rencanakan.
“Keluar kamu Kenanga! Ayo cepat hadapi aku!” lantang Wiwin. Kali ini, ia merogoh tomat busuk yang otomatis membuat tangan kanannya makin basah.
Wiwin tahu Kenanga dari keluarga berada. Namun, Kenanga termasuk w**************n. Demi uang dan memiliki kehidupan nyaman, apa pun akan Kenanga lakukan termasuk tidur dengan banyak lelaki, tanpa terkecuali lelaki beristri. Ibaratnya, Kenanga sudah paham cara menjual diri tanpa harus melalui perantara semacam mucikari. Sebagian warga di kampung mereka tinggal tahu, apalagi bagi mereka yang sudah memergoki semata-mata. Dimas saja yang terlalu buta dan percaya pada kemanisan Kenanga yang tentu saja ibarat madu beracun karena begitulah cara wanita sekelas Kenanga menjerat dan memperdaya mangsa.
Derit pintu yang dibuka secara kasar dan sampai terbanting, langsung membuat Wiwin terjaga. Begitupun dengan Arunika yang masih menjadi penonton baik di sebelah motor matic milik Wiwin.
Ibu Mirna merupakan sosok yang membuat pintu terbuka. Ibu Mirna membuka pintu sendiri tanpa bantuan bahkan itu ART di rumahnya. Detik itu juga ibu Mirna muntah-muntah.
“Apa-apaan ini?” teriak ibu Mirna murka. Ia mendapati keadaan pintu dan sekitarnya yang sudah sangat menjijikkan. Dan ia mendapati pelaku dari keadaan itu. “Wiwin Suwinten, ... si jandes gatel!” umpatnya geregetan. Ia berteriak lantang mengumandangkan nama lengkap Wiwin hingga terbatuk-batuk. Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuhnya yang sampai gemetaran karena menahan amarah yang berkobar-kobar.
Tepat setelah itu, lemparan telur busuk dari Wiwin mendarat di dahi ibu Mirna dan langsung pecah. Kendati demikian, Wiwin yang telanjur kecewa tak hanya sengaja melempar telur busuk pada ibu Mirna. Karena Wiwin juga buru-buru melemparkan tomat busuknya.
Buk!
Tepat sasaran dan ibu Mirna refleks memejamkan kedua matanya. Kemudian, dengan emosi yang berkobar-kobar, ia melantangkan nama penghuni kebun binatang dan menyamakannya dengan Wiwin, disertai sumpah serapah.
“Wanita preman, jandes miskin tak berpendidikan! Dasar jandes kurang ajaaar!”
“Lebih baik kurang ajar daripada menjijikkan! Anak dan menantu barumu, ... mereka wujud dari semua itu. Menjijikkan! Kalian sama saja, ... sama-sama menjijikkan!” lantang Wiwin.
Ibu Mirna murka. Ia ingin membersihkan wajahnya menggunakan kedua tangannya, tapi ia ragu karena jijik. Ia menangis karenanya, dan ia mendapati Arunika di depan sana. Seumur-umur, baru kali ini ia berlumur kotoran.
“ARUNIKA FITRI! Berani-beraninya kamu membawa preman ini ke sini!” lantang ibu Mirna terengah-engah. Kenyataan tersebut membuat aliran telur dan juga tomat busuk masuk ke mulutnya.
Ibu Mirna tersedak dan muntah-muntah sambil jongkok. Tangisnya pecah antara jijik, marah, juga ingin mati saja tak sanggup menahan rasa jijik serta rasa dari telur dan tomat busuk tersendiri. Ibu Mirna ingin membersihkan wajahnya sesegera mungkin demi meredam bau busuk yang begitu menusuk, selain rasa risi yang sampai membuatnya merinding. Kenyataan tersebut terjadi karena banyak gerakan lincah dari makhluk kecil dan mungkin itu belatung, di wajahnya.
Di dalam kamar, di depan jendela kamar, Kenanga panik dan ketakutan. Ia sedang menghubungi Dimas, dan berusaha mengabarkan apa yang terjadi mengenai kedatangan Wiwin yang sampai mengamuk.
Ya ampun ... Dimas ke mana, sih? Kok enggak angkat-angkat telepon aku? Kenanga mulai kacau. Berulang kali ia menggigit bibir bawahnya sambil sesekali mengamati suasana sekitar yang berantakan layaknya biasa. Karena bukan hal aneh bila tempat yang ia tempati apalagi tinggali kotor dan berantakan.
Kenanga tahu Wiwin seperti apa. Karena meski Wiwin wanita, Wiwin sangat tidak tahu aturan melebihi preman. Sampai-sampai, semua preman kampung pun tunduk kepada wanita menor itu.
Kalau si Wiwin sampai menyerang aku, batin Kenanga ketar-ketir.
Braaak!
Belum apa-apa karena berandai pun Kenanga belum selesai, seseorang mendobrak pintu kamar keberadaan Kenanga dan itu Wiwin.
Dengan aroma busuk yang begitu menusuk, Wiwin melangkah cepat menghampiri Kenanga yang masih berdiri di depan jendela. Di tangan kiri Wiwin ada kantong hitam, dan Kenanga makin panik ketakutan. Kenanga yakin keberadaan kantong hitam tersebut bertanda tidak baik untuknya. Kenanga mencoba melipir dan terus menghindar tanpa peduli pada Bunga yang masih lelap di tengah tempat tidur yang sangat berantakan.
“Win, kamu mau ngapain, Win? Kamu jangan macam-macam, ya! Berani kamu macam-macam ke aku, aku enggak segan laporin kamu ke polisi!” Kenanga tergagap karena Wiwin terus mendekat. Tak disangka, Wiwin nekat menjejalkan sesuatu yang wanita itu ambil dari kantong di tangan kiri.
Wiwin menjejalkan telur busuk yang sudah retak kemudian meremuknya di dalam mulut Kenanga dengan keji. Wiwin dapati, Kenanga yang langsung mendelik dan terlihat sangat syok, selain Kenanga yang sempat refleks menelannya. Tak lama setelah ia melepaskan Kenanga, w*************a itu terduduk dan muntah-muntah sambil berlinang air mata.
“Urusan kita belum berakhir, yah, Nga. Karena kalau kamu berani mengusik adikku lagi, aku kuliti kamu sampai mati!” tegas Wiwin sengaja mengancam.
Wiwin membanting kantong hitam di tangan kirinya kemudian berlalu dari sana. Ia dapati, Bunga yang terbangun kebingungan menatapnya dan Kenanga yang sibuk muntah, silih berganti. Namun, Wiwin berubah pikiran dan berhenti melangkah. Wiwin kembali memungut kantongnya dan memang masih ada isinya. Ia merogoh isi kantongnya kemudian membasuhkannya ke wajah Kenanga. Masih merasa belum puas, Wiwin pun menuang sisa isi kantongnya di kepala Kenanga yang seketika melayangkan sumpah serapah kepadanya.
“Kualat kamu, Win!”
“Bodo! Kalau aku yang begini kualat, kamu apa kabar? Neraka j*****m?”
“Urusan surga neraka itu bukan urusanmu karena ini hidupku, Win!”
“Tentu saja urusan matimu urusanku karena andai kamu cuma di neraka level setan, aku akan membuatmu masuk dan menetap di neraka level dakjal, Nga!”
Kemudian, Wiwin menatap sinis Bunga yang masih bungkam dan hanya kebingungan tanpa tindakan berarti. Baik itu takut atau justru menangis seperti yang selalu terjadi pada Dika ketika Arunika disakiti. “Lihat dan ingat, kalau kamu juga jadi l***e seperti mamakmu, nasib kalian akan sama. Bahkan di saat kamu dewasa nanti, pembalasannya bisa lebih keji! Kamu mengerti?!” tegasnya dan Bunga langsung mengangguk. Bocah perempuan itu tampak patuh, hanya begitu tanpa perubahan lain meski Wiwin telah meninggalkannya. Bunga sama sekali tidak menolong, sedih, atau sekadar iba kepada sang mamah.
Di depan gerbang rumah Dimas, Arunika yang masih berdiri di sebelah motor Wiwin, berangsur menunduk prihatin. “Satu hal yang harus Ibu tahu kenapa dulu, Mas Dimas justru menikahiku, bukan menikahi Mbak Kenanga. Semua itu terjadi karena Mbak Kenanga sudah menikah dengan papahnya Bunga, tepat tiga hari sebelum pernikahannya dan Mas Dimas harusnya digelar. Mas Dimas bilang, ternyata Mbak Kenanga selingkuh dan sampai hamil. Selain itu, alasan Mbak Kenanga selingkuh karena selingkuhan pilihannya lebih kaya. Mbak Kenanga membuang Mas Dimas sekaligus rencana pernikahan mereka. Jadi, demi nama baik keluarga, Mas Dimas meminta bantuanku. Dan aku yang kasihan kepada kalian, setuju menikah dengan Mas Dimas.” Arunika bertutur lemah sarat luka. Andai ia bisa mengulang waktu, ia ingin memperbaikinya dan tak mau menjadi bagian apalagi menikah dengan Dimas. “Aku pikir, alasan Mas Dimas merahasiakan kenyataan itu karena Mas Dimas ingin fokus pada hubungan kami tanpa berlarut-larut pada masa lalunya dengan mbak Kenanga. Namun, ternyata aku keliru. Karena sampai kapan pun meski Mbak Kenanga sudah melakukan kesalahan fatal, bagi Mas Dimas Mbak Kenanga tetap jadi ratu.”
Dengan mata yang basah, ibu Mirna menatap marah Arunika. “Kamu pasti bohong!” tegasnya gemetaran dan menolak kenyataan kabar yang baru saja Arunika sampaikan.
Arunika mengangguk pasrah. “Hal yang sama juga aku harapkan, bila aku ada di posisi Ibu. Lihat saja berapa usia Bunga, danberapa usia Dika? Kalau aku memang hamil di luar pernikahan karena aku sengaja menggoda Mas Dimas demi bisa hidup enak tanpa capek seperti yang Ibu tuduhkan, harusnya Dika lahir lebih awal, kan? Ibu bahkan tahu usia Dika saat masih janin—bukti di hasil USG tidak begitu meleset jauh, Bu.”
“Ibu kan orang berpendidikan, orang berada, masa hal semacam itu saja Ibu enggak paham? Balik sana ke sekolahan makan meja dan bangkunya biar Ibu paham! Ingat, Bu. Aku, baru hamil Dika setelah tiga bulan usia pernikahanku dan Mas Dimas.”
Wiwin yang baru saja keluar dengan langkah tergesa berkata, “Kalau masih enggak percaya juga, situ kan kaya, pergi ke hotel di kota apa hotel dekat Pangandaran, pelayan hotel maupun mereka yang suka nongkrong di sana pasti kenal Kenanga. Karena mereka sudah biasa melihat Kenanga menginap di sana. Oh, iya. Hati-hati, sudah biasa menginap jangan-jangan yang di perut Kenanga bukan cucumu. Dimas hanya dijebak biar anak di perut Kenanga punya bapak. ALHAMDULLILAH kalau begitu, senang banget aku! Aku bakalan jadi orang pertama yang potong tumpeng pakai dua puluh satu ingkung!”
Muak, ibu Mirna melepas sandal jepitnya dan menghantamkannya pada wajah Wiwin. Namun, Wiwin tak peduli meski sandal jepit ibu Mirna yang satunya lagi juga mengenai punggungnya. Yang ada, Wiwin balik badan kemudian mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana yang langsung ia lemparkan ke wajah ibu Mirna.
“Buat biaya bersih-bersih termasuk bersihin mulut dan perut. Tadi belatung sama telur busuknya sampai tertelan, kan? Oh, iya ... sekalian kongsi ke Kenanga, ya.” Wiwin mengakhirinya dengan senyum yang kelewat santai. Bahagia rasanya bisa melepaskan rasa kesalnya dan sampai membuat seorang ibu Mirna tak bisa berkata-kata.
“Ayo, Ka. Kita pulang. Biarkan saja sampah bersatu dengan sampah karena sudah sewajarnya mereka memang begitu. Kamu terlalu berharga buat sampah seperti mereka!” Dengan santai sekaligus bahagia tanpa peduli dengan dampaknya yang sampai membuat sekujur tubuhnya bau, Wiwin memanjat gerbang rumah Dimas hanya untuk meninggalkannya dan sampai pada Arunika.
“AKU LAPORKAN KAMU KE POLISI, WIN!” ibu Mirna berteriak dan sengaja mengancam.
Wiwin segera balik badan dan membuatnya menatap yang bersangkutan. “Kamu pikir aku enggak bisa jeblosin kamu ke penjara, hah? Ingat, kasus Arunika serta pernikahan Dimas dan Kenanga sudah menyebar, viral. Jangankan dilaporkan ke polisi, menginap di penjara Nusakambang saja, aku siap asal aku sudah bikin kamu dan keluargamu hancur!”
Ditinggal Wiwin dan Arunika, ibu Mirna menjadi terngiang-ngiang ucapan kakak beradik itu. Enggak mungkin, Kenanga enggak mungkin begitu! Kenanga hanya terlalu malas dan itu pun efek hamil! Kenanga wanita berpendidikan, beda dengan Arunika dan Wiwin yang memang preman. Semua cerita Wiwin dan Arunika pasti bohong. Mana mungkin Dimas membohongiku! Awas saja kalian, ya! Tunggu pembalasanku! Aku pastikan kalian akan langsung menyesal!
***