“Terbiasa akan membuat kita sangat kehilangan ketika yang bersangkutan sudah tidak ada.”
***
Suasana yang masih gelap dan benar-benar sepi ketika ibu Mirna membuka pintu kamar Arunika, membuat wanita itu naik darah. Ibu Mirna langsung mendorong kuat-kuat pintu yang handelnya masih ia pegang. Hingga yang ada, pintu tersebut terbanting menghantam dinding di belakangnya.
“ARUNIKA FITRI, sudah tahu kamu miskin, tapi kamu tetap enggak tahu diri, ya? Jam berapa ini, kenapa kamu belum bangun?!” teriak ibu Mirna sambil menekan sakelar di sana hingga suasana kamar yang awalnya gelap gulita, menjadi terang benderang.
Kosong. Benar-benar tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Menyisakan tempat tidur yang persis seperti saat terakhir kali ibu Mirna, tinggalkan sesaat sebelum Dimas mengunci pintunya.
Kedua mata tajam ibu Mirna langsung memastikan suasana sekitar. Bergerak cepat ia membuka lemari pakaian di sana, tapi semua laci masih dalam keadaan penuh. Tak ada laci yang berkurang mencolok sementara baik ransel maupun koper juga masih utuh tertata rapi di bagian atas lemari.
Kenyataan tersebut langsung membuat ibu Mirna memutar otak. Kedua mata tajamnya kembali mengamati suasana sekitar lebih teliti. Ia dapati, jendela sebelah kiri yang tertutup, tapi tidak terkunci.
“Dimaaaaas, ... Arunika minggat!” teriak ibu Mirna ketar-ketir sambil membuka tuntas jendela kamar bekas Arunika lewat.
Ibu Mirna merasa sangat kecolongan apalagi biar bagaimanapun, Arunika ibarat aset berharga yang serba bisa untuknya. Semua pekerjaan rumah, toko, bahkan sawah, bisa Arunika bereskan hingga ibu Mirna bisa menghemat pengeluaran tanpa harus membayar orang untuk mengerjakan semua itu. Arunika sungguh wanita perkasa yang juga pandai membagi sekaligus mengatur waktu, hingga semua pekerjaan dan harusnya dikerjakan oleh banyak orang, bisa Arunika bereskan sendiri.
“Dimas, cepat bangun, Arunika minggat!” Ibu Mirna masih sibuk berteriak, dan kali ini sampai menggedor-gedor kamar tamu keberadaan Dimas yang tidur dengan Kenanga.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Dimas yang mengenakan kaus lengan pendek dipadukan dengan sarung warna hijau aksen garis lebar vertikal, menyodorkan segelas besar teh manis hangat. Sang mamah duduk sambil menopang kepala menggunakan kedua tangan di sofa ruang keluarga—keadaan yang selalu akan terjadi di setiap ibu Mirna berpikir sangat keras.
“Mamah enggak butuh teh manis. Yang Mamah mau itu Arunika! Mamah beneran butuh Arunika, cepat kamu bawa dia ke sini!” omel ibu Mirna.
“Aku juga mau Arunika, Mah. Aku butuh Arunika karena aku sayang dia. Aku beneran enggak menyangka Arunika nekat minggat!” balas Dimas mencoba menyikapi keadaan dengan tenang. Meski yang ada, ia justru mondar-mandir di depan meja ruang keluarga.
Sesekali, ibu Mirna akan memijat kepala sambil menghela napas atau malah mendengkus emosi. tampang ibu Mirna terlihat sangat ngenes. Cukup lama itu terjadi, selain ibu Mirna yang sampai melewatkan salat subuh.
“Kita siap-siap subuhan dulu, yuk, Mah?” ajak Dimas berusaha meredam kemurkaan sang mamah.
“Subuhan enggak akan bikin Arunika tiba-tiba datang apalagi tiba-tiba jatuh dari langit di hadapan kita, Dimas!” omel ibu Mirna yang sampai melempar bantal sofa pada Dimas penuh emosi.
Dimas memungut bantal lemparan ibu Mirna sesaat sebelum menaruhnya asal pada sofa tunggal di sebelahnya. Ia kembali mondar-mandir sambil berpikir lebih keras dari sebelumnya. Membuat Arunika kembali ke rumah? Ini perkara sulit setelah apa yang terjadi. Pasti Arunika akan melayangkan syarat yang memberatkan Dimas khususnya hubungan Dimas dengan Kenanga!
Risih dan merasa sangat terganggu dengan kesibukan Dimas mondar-mandir, ibu Mirna berkata, “Ngapain kamu hanya mondar-mandir? Cepat bangunkan Kenanga dan suruh dia beres-beres rumah! Pastikan Kenanga menggantikan semua tugas Arunika selama kamu belum bisa membawa Arunika ke sini!”
Dimas menghela napas dalam dan menatap sang Mamah dengan sangat memohon. “Sebenarnya Kenanga sedang hamil, Mah. Kenanga enggak bisa banyak gerak semacam beres-beres apalagi masak. Itu kenapa, aku bawa Kenanga ke sini biar ada yang bisa jaga sekaligus bantu keperluannya. Karena di kontrakan, kalau aku enggak ada bersama mereka, Kenanga beneran hanya berdua dengan Bunga.”
“Maksud kamu, yang harus mengerjakan semua pekerjaan yang selama ini Arunika kerjakan itu, ... Mamah? Mamah harus jadi babu istri kamu?” todong ibu Mirna tak terima. Ia sampai berdiri dengan tampang garang sambil berkecak pinggang. Akan langsung ia hajar andai Dimas berani kurang ajar padanya.
Dimas terpejam pasrah tanpa berani melawan bahkan sekadar membalas tatapan sang mamah. Meski bila boleh jujur, Dimas ingin membenarkan anggapan ibu Mirna barusan. Karena bila tidak ada Arunika, tentu saja yang harus mengerjakan semuanya adalah ibu Mirna, kan? Sebab meski Kenanga bisa, tapi kehamilan Kenanga sangat lemah yang juga telah membuat kesehatan Kenanga ikut bermasalah.
Jeritan tiba-tiba dari ibu Mirna membuat Dimas buru-buru menjauh. Dimas melakukannya sambil menekap kencang telinganya menggunakan kedua tangan.
Pyaaaaar!
Gelas teh manis yang isinya saja belum sempat ibu Mirna sentuh, sudah wanita tua itu lempar ke lantai dan nyaris menimpa kaki kanan Dimas.
“Omong kosong apa ini? Apa-apaan kamu mau membabukan Mamah di rumah Mamah sendiri?” Ibu Mirna masih sibuk berteriak. “Padahal sebelum ini, Mamah selalu dimanjakan oleh Arunika!”
“Mamah enggak mau tahu, hari ini juga, kamu harus cari pekerjaan tambahan untuk bayar pembantu karena Mamah enggak mau keluar uang apalagi yang bikin Arunika minggat juga kamu!”
“Mamah enggak mau beresin rumah apalagi istri kamu juga masih ada yang tinggal di sini!”
“Masa iya Mamah harus jadi babu di rumah sendiri sedangkan istri kamu yang numpang tinggal ungkang-ungkang?!”
Dimas mengangguk-angguk paham. Kedua telapak tangannya terarah pada sang mamah, meminta sang mamah untuk diam dan tenang. “Oke, Mah ... oke.”
“Dan dengan kata lain, sekarang juga kamu kerjakan semua pekerjaan rumah dong!” semprot ibu Mirna tak mau lelah apalagi rugi.
Dimas langsung syok dan sengaja menghela napas pelan demi meredamnya. Karena jantungnya pun langsung berdetak sangat kencang hingga menimbulkan rasa pegal. Belum genap satu hari ditinggal Arunika, hidupnya langsung kacau bahkan susah.
“Masa iya aku yang beresin semuanya, Mah? Aku kan harus kerja dan pukul enam nanti harus sudah berangkat.” Dari semuanya, Dimas merasa paling dirugikan. Kepergian Arunika dan menjadikannya sebagai penyebabnya, benar-benar merugikannya.
“Salah siapa istri kamu yang sekarang cuma kamu jadikan bantal guling!” semprot ibu Mirna. Pada kenyataannya, semenjak Arunika menjadi menantunya, hidup ibu Mirna menjadi mirip dengan kehidupan seorang ibu suri yang apa-apa cukup perintah sambil marah-marah. Arunika benar-benar memanjakannya meski di beberapa kesempatan, mulut berisik Arunika yang kerap melawannya juga akan membuatnya naik darah. Bila hal tersebut sampai terjadi, mau tak mau, ibu Mirna harus kembali ngadem atau itu makan tanpa rasa dan hanya semacam rebusan guna menurunkan tekanan darahnya.
“Aduh ...aduh ... aduh ....” ibu Mirna mendadak kesakitan memegangi kepala bagian belakangnya menggunakan kedua tangan. Bisa dipastikan, tekanan darahnya naik tiba-tiba layaknya biasa di setiap ia emosi apalagi sampai marah-marah dalam waktu lama.
“Mah, Mamah kenapa, Mah?” Dimas langsung menghampiri, mencoba memastikan keadaan ibu Mirna.
“Kepala Mamah sakit. Kepala Mamah sakit banget, Dim! Goblog banget ih kamu, tolongin ini. Ambilin obat Mamah cepat! Kamu kok enggak sepeka Arunika, sih!”
****
Sekitar lima belas menit kemudian, Dimas sudah sibuk masak sendiri di dapur. Terdengar tangis Bunga yang meraung-raung keluar dari kamar ibu Mirna hingga mengusik keheningan suasana. Bunga memang cengeng, beda dengan Dika yang baru akan menangis bila melihat mamahnya dimarahi ibu Mirna atau justru karena Arunika terluka.
Tak lama kemudian, suasana rumah menjadi makin panas karena ibu Mirna langsung sibuk marah-marah.
“Kenangaaaaa! Ya ampun, ya. Mau belajar mati apa bagaimana? Anak nangis begini tetap saja bisa tidur!” teriak ibu Mirna.
Dimas yang sibuk menoleh ke belakang dikejutkan dengan aroma tak sedap dari wajannya. Celaka, wajan berisi nasi gorengnya sudah dipenuhi kepulan asap hitam, gosong.
“Ya ampun, masa iya aku harus sarapan nasi goreng gosong?!” rutuk Dimas jengkel sambil melempar spatulanya ke wajan. Ia mematikan gasnya bersama kekesalan yang masih tersisa hingga pikirannya kacau.
Dimas nyaris berlalu untuk menenangkan Bunga, tapi pemandangan mencolok di wastafel sebelah berupa gerabah menumpuk, langsung mematahkan niatnya. Dimas mencuci gerabah sambil sesekali membantingnya.
“Pecahkan semua, pecahkan!” teriak ibu Mirna, benar-benar cerewet.
Masa iya, Mamah secerewet ini? Rutuk Dimas dalam hatinya.
Karena di depan ibu Mirna kembali berteriak dan kali ini memanggil Kenanga sambil menggedor pintu, Dimas sengaja membanting panci dan biasa digunakan untuk merebus mi instan.
“Yang di dapur sibuk banting, yang di sini nangis terus, yang di kamar belajar mati—tidur enggak bangun-bangun!” teriak ibu Mirna. “Kacaaauu ... gila, semuanya!”
Dimas menghela napas dalam sekaligus pelan. Sabar. Ini salahmu! Batinnya sambil terpejam pasrah.
Setelah urusan dapur beres dan itu sudah membuat Dimas mandi keringat, Dimas masuk ke kamarnya dan Arunika. Biasanya sudah ada setelan pakaian lengkap dengan sepatu dan kaus kaki untuk Dimas kenakan sebelum berangkat kerja, selain secangkir kopi yang wanginya langsung membangunkan tidur Dimas dan dibuat langsung oleh Arunika. Biasanya sungguh senikmat itu. Bangun tidur sudah ada kopi, tapi Arunika mewajibkannya untuk minum segelas air hangat lebih dulu. Setelah itu, barulah Dimas bersiap mengambil wudu kemudian memimpin salat subuh keluarga kecilnya. Namun pagi ini, selain melakukan apa-apa sendiri bahkan segelas kopi pun tak ia dapatkan, Dimas terancam hanya sarapan nasi goreng gosong.
Mendengkus pasrah, Dimas kembali melakukan semuanya sendiri. Membuka lemari dan memilih pakaian, mandi, membangunkan Kenanga, tapi Kenanga tak mau bangun padahal perlengkapan make up Kenanga sudah berantakan di lantai, dibuat mainan oleh Bunga.
“Bunga ikut Papah, yok, kita sarapan,” bujuk Dimas.
Bunga menggeleng. “Enggak mau ... Bunga mau adi antik.” Buka menggosok-gosokan lipstik di kedua tangannya ke wajah.
Dimas yang telanjur lelah tak memiliki pilihan lain selain membiarkan Bunga melakukan apa yang membuat bocah itu tenang. Bahkan meski ketenangan Bunga membuat wajah sekaligus tubuh bocah itu bak luluran kosmetik.
Melangkah berat meninggalkan Kenanga dan Bunga, Dimas yang sudah menahan kaitan pintu kamar tamu keberadaan keduanya, menatap lama punggung Kenanga yang membelakangi keberadaannya.
“Dimassssss, kenapa kamu kasih Mamah nasi goreng gosong?!” teriak ibu Mirna dari belakang sana.
Telinga Dimas langsung berdengung. Setelah apa yang terjadi, Dimas merasa tak perlu sarapan lagi dan lebih baik langsung pergi. Segera ia mengambil tas kerjanya dari meja ruang kerja kemudian mengeluarkan motornya dari garasi sebelah tanpa memedulikan teriakan sang mamah.
Bekerja menjadi manager pelaksana di salah satu bank swasta di kota tempatnya tinggal, membuat Dimas harus lebih rajin sekaligus menjadi contoh baik untuk karyawan lain. Meski andai fakta pernikahannya dan Kenanga terungkap, kenyataan tersebut bisa menjadi reputasinya yang selama ini terkenal baik, menjadi tercoreng.
Lalu, bagaimana kabar Arunika dan Dika tanpa Dimas sekeluarga?
***