“Menangis karena luka memang tidak dilarang, tapi bila kamu ingin mengobatinya, bangkit dan buktikanlah karena kamu berhak bahagia.”
***
“Dimas memang akan segera menalakmu!”
Logat bicara ibu Mirna barusan, sangat mirip dengan logat bicara tokoh mertua kejji di sinetron yang mengusung kisah para istri terzalimi.
Acara yang nyaris setiap hari menghiasi salah satu layar televisi swasta di negara mereka, dan telah menjadi tontonan favorit para ibu-ibu di nusantara.
Dulu, sebelum televisi di toko mebel milik keluarga Dimas mati total, sambil menjaga toko setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Arunika sempat beberapa kali menonton acara tersebut demi meredam rasa lelah yang kerap membuatnya terkantuk-kantuk. Arunika terpaksa menontonnya karena channel televisi di toko mebel hanya ada satu dan itu stasiun televisi tersebut. Awalnya, Arunika hanya mengumpat karena geregetan pada tokoh para istri di sana yang baginya terlalu lemah. Namun sekitar lima bulan yang lalu, Arunika membuat acara yang ditonton tersebut mati total bersama televisinya yang turut serta. Karena efek emosi pada tokoh istri di sinetron episode saat itu, Arunika menggunakan martil di mejanya terjaga untuk menghantam layar televisi berisi si tokoh wanita.
Jadi, setelah apa yang terjadi, tentu saja kalian tahu jawabannya. Karena pada acara televisi saja, Arunika tidak bisa menerima, apalagi bila dirinya bahkan anaknya benar-benar mengalaminya.
Kini, ibu Mirna melangkah angkuh dan baru saja keluar dari balik punggung Kenanga. Bisa jadi, sebenarnya dari tadi wanita itu juga sudah menyimak apa yang terjadi antara Arunika, Dimas, dan juga Kenanga.
“Hanya sebatas talak agar kamu tidak bisa menuntut hak apa pun, apalagi hadirmu di sini tidak membawa apa-apa!” tegas ibu Mirna yang kemudian berkata, “Kamu harus tetap di sini, beres-beres rumah, menjaga toko, kemudian pergi ke sawah dan urus semua pekerjaan seperti biasa. Benar-benar tidak ada yang berubah selain statusmu. Mulai sekarang kamu pembantu abadi di sini, selain kamu yang hanya sebatas istri semu!”
Mendengar itu, Arunika langsung tersenyum miris kemudian menelan salivanya. Ia melirik Dimas seiring tubuhnya yang benar-benar panas seperti dipanggang hanya karena menahan kekesalan sekaligus kesedihan yang teramat besar. Rasanya benar-benar nelangsa, tapi Arunika masih berusaha mengontrol dirinya agar ia tak terlihat menyedihkan.
Arunika melirik Dimas yang mirisnya tidak membelanya. Jangankan membela, meliriknya saja, Dimas tidak melakukannya. Pria itu tetap menunduk tanpa menunjukkan tanda-tanda akan membelanya.
Apa yang kini terjadi menegaskan, bahwa kebucinan Dimas pada Kenanga sudah tidak bisa diakhiri. Dimas telah memberikan hidup dan matinya pada Kenanga, sementara pada Arunika bahkan Dika, Dimas hanya mampu memberikan janji. Benar-benar sudah tidak bisa diharapkan lagi. Bahkan Arunika yakin, semacam nafkah untuk Dika tidak akan pernah Dimas berikan mulai detik ini.
Kehancuranmu dan keluargamu hanya tinggal menunggu waktu, Mas. Dan cinta mati Mas pada Kenanga, akan menjadi penyebabnya. Langit dan bumi akan menjadi saksi, kelak kamu akan mengemis dan memintaku untuk kembali! Dan di saat itu, giliranku memperlakukanmu dengan keji! Sumpah Arunika dalam hatinya.
“Terima kasih banyak, Mas. Diamnya kamu menegaskan bahwa apa yang mamah kamu katakan, benar. Namun, satu hal yang tidak akan aku lakukan. Aku tidak akan menjadi bagian dari kalian karena bagaimanapun caranya, aku akan pergi dari rumah ini!” Arunika sengaja memberikan senyum terbaiknya, menatap ketiga wajah di sana termasuk wajah Dimas yang baru saja menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Kamu hanya boleh keluar dari rumah ini, bila kamu sudah memberikan ganti rugi biaya hidupmu selama di sini, Run!” tegas ibu Mirna.
“Ibu Mirna, mental miskin Anda benar-benar menyedihkan. Anda selalu haus pengakuan bahwa Anda orang kaya, tapi sekadar memberi kehidupan layak pada menantu saja, Anda tidak mampu!” tegas Arunika. “Membahas ganti rugi sama saja mengajak saya hitung-menghitung dengan Anda bahkan kalian semua. Jadi, bila Anda meminta ganti rugi, saya juga minta bayaran dari semua yang saya kerjakan di sini. Termasuk menjadi istri Mas Dimas dan melayaninya dengan segenap cinta. Tentu saja tarif saya jauh lebih tinggi dari Kenanga yang sudah terbiasa melayani banyak pria. Apalagi selain saya hanya melayani Mas Dimas, Mas Dimas juga menikahi saya dengan keadaan saya yang masih perawan, bukan janda seperti Kenanga yang sudah dipakai banyak pria!” Susah payah Arunika mengontrol emosinya agar tidak mengungkap perselingkuhan Kenanga yang juga merupakan alasan Dimas menikahi Arunika. Arunika ingin, fakta tersebut menghancurkan ibu Mirna di waktu yang tepat.
Gusar, dan tidak terima, itulah yang terjadi pada Dimas, ibu Mirna apalagi Kenanga, sebagai tanggapan mereka terhadap kata-kata Arunika.
Kecewa, itulah yang Kenanga rasakan karena baik ibu Mirna apalagi Dimas, tidak ada yang melawan Arunika terlebih membela Kenanga. “Mulutmu, Run!” Kenanga nyaris kehilangan kontrol emosinya. Setelah menatap Arunika penuh kekesalan, ia melirik Dimas yang hanya menatap marah Arunika. “Sayang, kamu harus tegas, dong! Dari tadi dia sudah menginjak-injak harga diri kita. Dia sudah menghinaku sejahat itu, tapi kamu masih saja diam?!” tuntutnya.
Bahkan sekalipun kalian memiliki seribu nyawa, aku benar-benar tidak takut! Batin Arunika.
“ARUNIKA FITRI,” tegas Dimas lantang sambil melirik kesal Arunika.
Arunika dapati, Kenanga dan ibu Mirna yang langsung harap-harap cemas menatap Arunika dan Dimas, silih berganti. Keduanya tampak tidak sabar menunggu lanjutan kalimat sekaligus tindakan yang akan Dimas lakukan.
“Mulai detik ini, talak satu dariku sudah berlaku untukmu. Dan seperti keputusan awalku, kamu harus tetap di sini!” lanjut Dimas menyikapi keadaan dengan angkuh bahkan kejam.
Kebahagiaan bahkan kemenangan tampak menyelimuti Kenanga dan ibu Mirna yang seketika mengembuskan napas lega kemudian mengulas senyum lepas.
“Kita lihat saja, Mas. Siapa yang akan menangis darah karena keputusan ini!” tegas Arunika.
“Renungkan semua kelakuanmu barusan, Dek!” tegas Dimas.
“Kamu bukan orang yang sepantasnya mengatakan itu karena selain suami doyan selingkuh dan doyan kawin, kamu juga bukan suami apalagi papah yang baik, Mas! Jangan lupa, sekelas banci pun tidak akan pernah tega melukai apalagi sampai main tangan kepada pasangannya. Harusnya kamu tahu maksudku, setelah apa yang kamu lakukan padaku dan Dika!” Arunika menatap Dimas penuh dendam. “Pergi dan nikmatilah kebahagiaan kalian. Karena andai kalian belum menikah, hal yang akan aku lakukan setelah mengetahui hubungan kalian adalah langsung menikahkan kalian!”
Dimas mendengkus pasrah kemudian mengusap wajahnya. Ia bergegas pergi dari sana, mengambil kunci yang masih tersangkut di balik pintu, kemudian menggandeng Kenanga.
Memboyong Kenanga dan ibu Marta, Dimas mengunci kamar keberadaan Kenanga dan Dika. Tekadnya tidak mengizinkan Arunika pergi benar-benar bulat meski ia sudah melayangkan talak satu pada wanita muda itu.
“Sini Mamah saja yang pegang kuncinya. Besok pukul empat pagi Mamah baru akan buka kuncinya biar Arunika langsung kerja seperti biasa. Apalagi sebentar lagi juga musim tanam padi, Arunika harus urus sawah secepatnya biar kita enggak ketinggalan sama petani lain. Sudah, kalian bersenang-senanglah.”
Suara ibu Marta terdengar sarat perhatian, membuat Arunika langsung tersenyum miris seiring air matanya yang berlinang.
“Mah, malam ini aku boleh nitip Mia, enggak?”
Kali ini, suara Kenanga yang terdengar dan sangat manja. Hal yang belum pernah Kenanga lakukan sebelumnya pada ibu Mirna bahkan selama Arunika menjadi menantu di sana.
“Oh, tentu saja boleh! Iya, biar Mia sama Mamah saja. Biar Mia juga cepat punya adik! Kalian enggak usah menunda-nunda, ya. Langsung dijadikan saja. Biar Mamah jadi punya dua cucu, Mia sama calon adiknya. Ya ampun, belum apa-apa sudah sebahagia ini.”
Sebelumnya, Arunika juga belum pernah mendengar ibu Mirna sebahagia sekarang. Kebahagiaan yang membuat hati Arunika serasa disayat dengan keji dan menorehkan banyak luka sebelum mendadak diguyur dengan air cuka. Remuk redam!
“Sudah, Ka. Hapus air matamu. Luka-luka dari mereka tidak akan hilang hanya karena tangis dan kesedihanmu. Luka-luka dari mereka hanya akan hilang ketika kamu membuktikan sumpah serapahmu. Bahagia tanpa mereka dan hiduplah menjadi orang yang disegani, itulah yang harus kamu lakukan mulai dari sekarang juga.” Hati kecil Arunika menasihati. Bergegas Arunika bangun sambil tetap mengemban Dika.
Kabur dan memulai lembaran baru adalah hal yang akan Arunika lakukan. Bermodal kain jarit yang ada di tempat tidur dan sempat ia gunakan untuk menyelimuti Dika sewaktu tidur, Arunika menggendong Dika tanpa membawa apa pun selain pakaian yang melekat di tubuh mereka. Tentu saja, luka-luka dari Dimas sekeluarga akan Arunika jadikan sebagai kekuatan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Arunika membimbing Dika keluar dari kamar melalui jendela di sebelah tempat tidur sesaat sebelum ia juga menyusul. Arunika sengaja membuat jendela kembali tertutup dengan hati-hati, kemudian bergegas kembali menggendong Dika.
Ketika akan melewati gerbang rumah yang tingginya ada dua meter, Arunika sengaja menggendong Dika di punggung dan meminta anaknya itu untuk berpegangan seerat mungkin. Terbiasa bekerja keras bahkan mengerjakan pekerjaan laki-laki, membuat acara memanjat gerbang Arunika berjalan tanpa halangan.
“Selamat tinggal dan tunggu kehancuran kalian. Kita lihat, berapa lama Kenanga akan baik kepada kalian. Namun feeling-ku, dalam waktu dekat Kenanga akan mengambil semua harta bahkan memperbudak kalian!” ucap Arunika sambil menatap marah rumah bergaya joglo dan bercat putih di hadapannya.
“Semoga, keluarnya aku dan Dika dari rumah ini, menjadi awal kebahagiaan kami. Sebel puyengku nempel ke Mas Dimas apa Kenanga saja!”
Bersama Dika, Arunika akan hidup bahagia. Memulai semuanya dari awal termasuk mendapatkan kesuksesan. Bagaimanapun caranya dan apa pun yang akan terjadi nanti, Arunika benar-benar akan berjuang agar ia bisa secepatnya membuktikannya pada Dimas sekeluarga.
Melangkah di tengah kegelapan malam yang benar-benar sepi dan gelap, tak membuat niat Arunika kabur, urung. Suasana perkampungan yang benar-benar minim penerangan dan jarang ada rumah selain pekarangan kosong penuh rumput liar, memang sangat menakutkan. Semua itu menguji nyali Arunika yang sampai merinding. Arunika bahkan sengaja memindah Dika ke dalam dekapannya, mengembannya kemudian menutup tuntas tubuh berikut kepala Dika.
Gerimis mulai menggilas kehidupan, mewakili luka-luka Arunika yang sengaja disembunyikan. Arunika sengaja mempercepat langkahnya. Membuat langkahnya makin kerap tersandung. Karena selain suasana di sana sangat gelap, jalanan di sana juga tidak rata. Masih berupa batu cabluk dan memang belum tersentuh aspal atau sekadar cor.
Meski masih satu desa, rumah Arunika dan orang tua Dimas terbilang jauh. Butuh waktu tempuh sekitar tiga jam bila harus dilalui melalui jalan kaki. Selain itu, ketika rumah orang tua Dimas terbilang sudah agak kota dan biasa dilalui kendaraan besar, rumah orang tua Arunika ada di pelosok yang sekitarnya merupakan pesawahan.
Aku kuat. Lagi pula, untuk apa juga aku menangisi pria tidak punya pendirian seperti Mas Dimas yang masih bucin ke mantan padahal sudah punya anak istri! Terus g****k-nya lagi, tuh mantan sudah pernah menyelingkuhi Mas Dimas sampai hamil dan sempat nikah sama pria lain! Batin Arunika.
Jalanan yang makin sepi sekaligus sempit dan kedua sisinya merupakan hamparan sawah siap tanam, tengah ia lalui. Suara jangkrik dan kodok bangkong, menjadi musik alami yang mampu meredam panasnya pikiran Arunika saat ini.
Pulang dan kembali ke orang tuanya yang hanya tinggal sang ibu. Wanita tua nan ringkih dan merupakan seorang janda yang semenjak Arunika menikah dengan Dimas, menjadi sangat jarang Arunika kunjungi. Arunika terlalu sibuk mengabdi menjadi istri sekaligus menantu pada Dimas sekeluarga. Kenyataan yang juga menjadi harapan terbesar Ningsih—ibu Arunika.
Terhitung, dalam satu tahun, Arunika hanya pulang di saat hari-hari besar semacam tahun baru, lebaran, atau beberapa acara selamatan termasuk hajatan kerabat terdekat di sekitar rumah.
Memasuki jalan setapak yang bahkan belum tersentuh batu, Arunika sampai di deretan rumah semi permanen. Tidak begitu banyak jumlah rumah di bagian sana, hanya ada lima rumah dengan sekitarnya yang dihiasi pohon kelapa, pohon mangga, pohon rambutan, serta kebun sayuran di setiap pekarangannya.
Sebuah rumah semi permanen perpaduan susunan batu bata dengan bilik di paling ujung, menjadi tujuan langkah Arunika. Terengah-engah, Arunika sengaja berhenti di bawah pohon mangga yang berbuah sangat banyak sekaligus sudah besar dan sepertinya ada yang sudah matang. Dulu, pohon mangga tersebut menjadi tempat favorit Arunika membuang penat setelah harus mengurus tugas-tugas sekolah sekaligus membantu orang tuanya mengurus sawah. Masih Arunika ingat, dulu ia akan memanjat pohon tersebut dan berlama-lama di atas sambil menikmati buah mangga hingga puas. Tak jarang, Arunika akan membawa bekal sambal rujak atau garam kasar. Dan ketika itu terjadi, Mbak Wiwin kakak sekaligus saudara tunggalnya akan berteriak, “Arunika, ojo mangan neng wit, marakna codot pada melu-melu!” atau yang berarti, “Arunika, jangan makan di pohon, bikin kelelawar ikut-ikutan!”
Mengingat itu, Arunika refleks tersenyum. Ia yang sudah kuyup antara terpaan gerimis yang berbaur dengan keringat, berangsur menyibak kain jarit yang menutupi wajah Dika.
“Sayang, kita pulang. Mamah jamin, di sini kamu akan jauh berkali-kali lipat lebih bahagia daripada di sana, bahkan sekalipun mulai detik ini kita akan hidup tanpa papah!”
Bersambung .....