When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Aku mengenakan baju hitam pemberianmu. Baju panjang berupa gamis sederhana yang menutupi seluruh tubuhku dengan sangat baik. Aku masih ingat di mana kita membelinya dan berapa harga baju itu. Katamu waktu itu, “Yakin mau dipakai, Ma? Kalau tidak akan dipakai, Ayah tidak suka. Mubazir. Allah tidak suka hal itu.” Saat itu aku memonyongkan bibir tanda protes. Aku tahu baju itu terlihat sangat-sangat sederhana, tanpa garis dan gambar, apalagi manik-manik yang membuatnya tampak istimewa, tapi aku suka, sangat suka. Engkau menatapku saat bercermin mencoba pakaian itu, lalu merogoh dompet. Aku menatap dari pantulan cermin, ada rasa sedih yang tiba-tiba mampir saat wajahmu terlihat berpikir keras pada dompet yang menipis, hari gajian yang masih lama dan permintaan dariku dengan sedikit memaksa.