When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Umi menarik napas perlahan. Gedung dua tingkat di depannya membuat Umi tiba-tiba gamang. Diremasnya ujung hijabnya yang panjang, air matanya menetes. Bukan perpisahan yang ia inginkan. Bagaimana pun ia pernah berjanji untuk mencintai suaminya sepenuh hati, ujian pasti datang dalam rumah tangga siapa saja, tapi apakah jalannya kali ini benar. Diliriknya map yang berisi surat-surat penting atas gugatan cerai yang akan ia lakukan, tapi Umi mendadak ragu. Air matanya tidak bisa berhenti, wajah Gibran berulang-ulang melintas di matanya. Senyum Gibran pun membuat hatinya menjadi perih kali ini, apalagi saat mengingat Gibran mengatakan dengan jelas kalau ia mencintai Nadia, madunya yang jelas-jelas membuat hancurnya rumah tangga mereka. “Ibu, Ayah. Maafkan Umi. Umi tidak mau perpisahan sepert