11. Tanpa Pendekatan

1908 Words
“Taraa … udah sampai,” seru Moko bersemangat sesaat setelah menghentikan laju mobilnya. “Kok ke sini?” Risa mengerutkan keningnya tak paham. Moko tersenyum tenang lantas kembali meraih tangan kanan Risa untuk ia genggam. “Katanya mau dilamar ulang?” “Iya, tapi kenapa malah ke rumah gue?” Risa masih belum sepenuhnya paham dengan tujuan Moko yang malah membawanya pulang ke rumah kedua orang tuanya. Yang Risa pikirkan tentang permintaannya dilamar ulang adalah lamaran romantic seperti dalam drama-drama korea yang selama ini ia lihat. Lamaran manis di restoran klasik ditemani lagu-lagu romantis, banyak bunga, banyak hiasan lilin, tapi ini … kenapa Moko justru membawanya pulang? Moko tak berniat membatalkan niat untuk melamarnya kan? “Biar elo lebih yakin, gue lamar ulang langsung di depan Mama sama Ayah?” Lagi-lagi Moko mengusap punggung tangan Risa dengan ibu jarinya. Gerakan sederhana yang kali ini menimbulkan gemuruh asing di d**a Risa. “Hah? Eh … kok langsung sama Mama sih?” sahut Risa linglung. Namun Moko sudah membuka pintu mobil lantas berjalan memutar untuk membukakan pintu di sebelah Risa. Gadis yang baru saja ia lamar namun masih meminta dilamar ulang agar lebih yakin lagi. “Ayo, Ca,” ajak Moko ketika sudah berdiri di sebelah pintu mobil. “Harus sekarang ba- banget ya?” Risa hanya sesekali saja menatap bola mata Moko. Entah kenapa ia merasa kikuk sejak Moko mengutarakan perasaannya pada Risa. “Iya dong, lebih cepat lebih baik kan.” Moko mengangguk tegas. “Tapi gue—” “Eeh, kok masih pake ‘elo-gue’? ganti pake aku-kamu dong, Ca. Biar lebih mes—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Risa sudah mencubit gemas bibir Moko yang berdiri di depannya. “Berisik ah!!” ucapnya menutupi malu. Melihat gadisnya melenggang pergi, Moko segera menyusul Risa dan merangkul pundaknya pelan. “Kayak bukan Ica yang biasanya kalau pake acara malu-malu tapi mau gitu.” Moko menjawil dagu Risa untuk menggodanya gadis itu lagi. “Diiih … mulutnya berisik!!” Risa refleks mencubit kecil lengan atas Moko hingga pria itu mengaduh kesakitan. “Astaga barusan dilamar bukannya makin manis, malah sadis.” Moko menggosok-gosok lengan atasnya yang lagi-lagi menjadi sasaran Risa ketika gadis itu mulai kesal dengan tingkahnya. “Jadi gak sih?” Risa menghentakkan kakinya lantas menatap nyalang ke arah Moko yang masih cengengesan karena terlalu senang dengan luluhnya Risa. “Eeeh, ya jadi dong, harus jadi doong. Awas aja kalau gak jadi!” gerutu Moko cepat-cepat meraih tangan Risa lantas masuk rumah gadis itu untuk menemui Neni dan Sigit. *** “Tunggu … tunggu, jadi ini beneran?” Neni dan Sigit saling berpandangan penuh tanya setelah mendengar penjelasan dari Moko tentang niat pemuda itu melamar putri sulungnya. Moko yang duduk di sofa tunggal di depan kedua orang tua Risa mengangguk dengan sangat yakin. “Beneran Ma! seribu persen bener.” ulang pria itu lagi. “Ca?” Neni beralih menatap putrinya yang menunduk dalam tepat di sebelah Moko. “Bener, Ma,” cicit Risa sangat lirih. “Kalian berdua nggak nge-prank mama sama Ayah kan?” sambung Neni lagi. Moko mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya cepat. “Enggak Ma, enggak. Mana berani kami nge-prank orang tua, dosa besar tau.” “Perasaan baru semingguan lalu, mama bilang kalau Moko itu menantu idaman mama banget kan? Eeh … sekarang terkabul. Aminin dong, Ma. Kita tinggal kasih restu.” Kali ini Sigit yang bersuara tenang. Pria paruh baya tersebut memang jarang menguratarakan pendapatnya, namun sekalinya berbicara, keputusan-keputusan bijak yang selalu meluncur dari beliau. Sejujurnya Moko memang selalu menjadi calon menantu idaman dari keluarga Risa selama beberapa tahun terakhir. Setiap kali Risa membawa membawa kekasih barunya yang manapun ke hadapan kedua orang tuanya, secara tak langsung nama Moko selalu menjadi perbandingan yang sulit dikalahkan orang lain di mata Neni. “Iya, Yah. Ini Mama happy banget kok ini, cuman ya … ehm … kaget aja. Mama takutnya Moko terpaksa gitu mau ngelamar dan nikahin anak kita. Secara ya, kita tau sendiri track record Risa ke belakang kayak gimana,” sahut Mama Neni lantas terkekeh geli. “Iiissh, Mama iih ... Track record apaan coba? macem aku play girl aja,” gerutu Risa tersungut-sungut tak terima. “Eeeh, bukan play girl ya? lha mantanmu banyak sih, Ca. Cepet banget dapet pengganti kalo habis putus. Kalo Moko, mama malah belum pernah denger dia punya cewek sekalipun.” Moko ikut terkikik kecil dari tempat duduknya saat mendengar perdebatan kecil antara ibu dan anak itu. “Aku gak terpaksa kok, Ma—” “Yang ada Moko yang maksa aku, Mama,” sela Risa tak mau kalah. “Eh masa?” Neni membolakan mata sesaat lalu menoleh lagi ke arah Moko yang kini tengah mengusap tengkuknya salah tingkah. “Ya, biar gak ketikung lagi, Ma. Nanti keduluan Ica punya cowok lagi, makin lama lagi. Jadi ya langsung aku ajak nikah aja sekalian, gak pake pacaran-pacaran segala. Buang-buang waktu. Lagi pula .…” Moko meraih satu tangan Risa lagi demi meyakinkan gadis itu di depan orang tuanya. “We know each other very well.” Risa terdiam mendengar penjelasan dari Moko. Masih berusaha mencerna pemaparan dari sahabatnya yang terdengar sangat masuk di akal. “Sebenernya … hmmm sudah sejak lama aku menaruh perasaan ke putri Mama yang satu ini, cuma ya … terlambat menyadari aja. Jadi sekarang begitu kesempatan itu datang. Aku nggak mau melewatkannya lagi, Ma.” Tambah Moko terdengar manis di telinga Risa. “Jadi, hmm …” Moko sedikit meremas jemari Risa lantas melirik gadis itu sekilas. “direstuin kan Ma?” tanya pria itu lagi pada Mama Neni. Mama Neni tersenyum tenang lantas menoleh pada sang suami seolah meminta persetujuan. “Jujur, mama terharu banget karena baru kali ini lihat Moko bicara seserius ini sama mama juga ayah.” Selang sedetik kemudian Mama Neni berdiri dari duduknya lantas berjalan pelan mendekati Moko. Moko ikut berdiri begitu perempuan yang sudah ia anggap ibunya sendiri tinggal beberapa langkah darinya. Dan yang tak disangka adalah, Mama Neni langsung memeluk erat tubuh jangkung Moko sambil berkaca-kaca. “Mama restuin, Nak, mama restui.” Mama Neni menepuk pelan punggung Moko yang membungkuk karena perbedaan tinggi mereka yang terlalu mencolok. Masih memeluk erat Mama Neni, Moko tersenyum lega. “Terima kasih banyak, Ma.” Mama Neni yang pertama kali mengurai pelukan keduanya. “Mama perlu siapin acara resminya?” perempuan paruh baya itu bertanya dengan penuh hati-hati. Bagaimana tidak, puluhan tahun mengenal keluarga Moko sejak dirinya masih tinggal di Rembang. Neni sangat tahu apa yang terjadi dengan keluarga Moko. Hampir tiga belas tahun ini Moko hidup sebatang kara setelah ayah kandungnya meninggal dunia karena serangan jantung. Selang tiga tahun setelahnya sang kakek, keluarga satu-satunya yang tersisa juga menyusul berpulang untuk selamanya saat Moko berusia delapan belas tahun. Sedangkan ibu kandungnya sendiri tak diketahui keberadaannya sejak Moko duduk di bangku sekolah dasar. Perempuan cantik berdarah Vietnam tersebut memutuskan pergi dari Indonesia dengan membawa putri keduanya yang bernama Monica setelah bercerai dari ayah kandung Moko. “Silahkan Ma, tentu harus ada acara resminya. Biar putri sulung Mama itu makin percaya sama aku.” Moko menoleh ke arah Risa yang sedari tadi irit bicara. “Besok aku pulang ke Rembang, sekalian kasih kabar ke Pakde sama Budhe ya?” Mama Neni mengangguk mantap. “Humm … Mama tunggu kedatangan Pakde dan Budhemu ya.” Rembang adalah kota asal Moko. Mama Neni masih ingat betul ada beberapa saudara kandung dari ayah Moko yang masih menetap di kota itu. Salah satunya adalah Pak Wasis dan istrinya, yang merupakan kakak kandung dari ayah Moko, kerabat yang dipanggil Pakde dan Budhe oleh pria itu. Moko tersenyum lebar, setidaknya hari terakhirnya di Jakarta tak dilewatinya dengan sia-sia. Risa luluh meski belum sepenuhnya. Namun yang terpenting, pria itu sudah mengantongi restu dari kedua orang tua sahabat yang kini terang-terangan ia sebut gadis tercinta. “Katanya kamu ke Rembang ada urusan sama Rahman?” tanya Risa setelah ia hanya tinggal berdua dengan Moko di teras samping rumahnya. “Apa … apa? bisa diulangi?” Risa mengerutkan kening tak paham. “Apanya?” “Yang barusan itu, ulangi lagi. Tanya apa barusan?” pinta Moko. “Katanya ke Rembang ada urusan sama Rahman?” pekik Risa lebih kencang. “Bukan yang itu,” desak Moko gemas. Kening Risa makin berkerut lagi. “Terus yang mana yang diulang?” “Yang tadi itu, kurang satu kata!” “Yang mana sih?” Risa menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. “Yang tadi ….” “Hmm, katanya kamu ke Rembang ada urusan sama Rahman.” Risa berkedip beberapa kali setelah paham maksud dari Moko. “Naah … kalo panggilnya ‘aku-kamu’ gitu kan enak didenger.” Moko sengaja mencubit kecil puncak hidung Risa. “Ckk, kirain apaan.” Risa melengos menutupi rona pipinya yang bersemu merah setelah memukul kencang paha Moko yang duduk tepat di sampingnya. “Buruan jawab.” “Ckk, gitu doang udah kumat juteknya. Iya, aku ke Rembang memang ada urusan sama Rahman terkait Senorita,” jawab Moko ikut ber-‘aku kamu’ pada Risa. “Tapi sekarang ada tugas tambahan buat ngabarin tentang lamaran kita ke Pakde dan Budhe Wasis.” Risa mengangguk samar. “Ko,” “Hmm ….” “Elo yakin mau married sama gue?” “Yaah, kok pake elo gue lagi sih?” Moko mendengkus dengan raut wajah dibuat sok sedih dan kecewa. “Iiih ... geli dengernya, belum terbiasa,” rengek Risa bak balita merajuk pada ibunya. “Ya makanya dibiasakan dari sekarang, Sayang.” Moko lagi-lagi berhasil membuat Risa tersipu dan membuang muka. Risa memaksan untuk melepaskan jemarinya dari genggaman Moko. Sayang, tenaganya tak terlalu kuat, karena Moko sengaja mengeratkan tautan jemarinya. “Ya, Ca?” panggil Moko hingga mencondongkan wajahnya sangat dekat dengan Risa. Risa tergeragap saat menyadari wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Moko. “A- apa?” “Dibiasakan, aku, kamu. Ya kali nanti udah nikah udah punya anak, masih manggil lo gue lo gue?” seru Moko lantas mengulum senyum saat melihat Risa yang mengedipkan matanya beberapa kali tanda sedang gelisah. “Ya?” ulang Moko lagi. “Iy- iya, iya. Nanti dibiasakan pelan-pelan,” cicit Risa pada akhirnya. “Kok nanti, ya mulai sekarang dong,” desak Moko mengguncang lengan Risa. “Iya, iya aku biasakan dari sekarang,” jawab Risa lalu kembali menunduk. Malu. Dia dan Moko yang biasanya selalu ribut atau berdebat akan suatu hal, kini harus terlibat dalam hal sayang-sayangan yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. Tentu saja Risa belum terbiasa dengan atmosfir baru di antara mereka. “Iiih, sana dikit dong, deket banget sih?” Risa mendorong pelan pundak Moko agar memberi sedikit jarak dengannya. “Kamu makin cantik banget sih kalau salah tingkah gitu. Bikin gak mau jauhan.” Suara berat Moko yang mengalun dekat telinga Risa kembali membuat gadis itu kelabakan sendiri. “Jadi biasanya aku gak cantik?” Risa memutar bola matanya malas. “Biasanya udah cantik, sekarang makin makin cantik puolll, apalagi udah jadi calon istri aku.” balas pria itu dengan tenang, membuat Risa yang tadinya membuang muka langsung menoleh hingga tatapannya berbenturan dengan tatapan Moko. “Hmm, calon istri ya,” ucap Risa serupa bisik. “Iya, kamu nggak mau?” Risa menggeleng. “Kenapa nggak pendekatan atau pacaran dulu sih Ko? Kenapa langsung ngajak nikah?” Akhirnya Risa mengutarakan hal yang membuatnya penasaran selama ini. “Pendekatan?” ulang Moko lantas tergelak kecil. “Setelah kita kenal dan dekat selama hampir dua puluh delapan tahun, masih perlu pendekatan?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD