9. Menantu Idaman

1705 Words
“Ko,” bisik Risa ketika menciptakan sedikit jarak dengan Moko. Sahabat yang baru saja sukses membuat gadis itu mematung dengan ribuan tanda tanya di kepalanya. “Ehm … kamu, eh … elo nga- ngapain?” tanya Risa dengan semburat merah yang menjalar pelan di kedua pipinya. “Nyium elo.” jawab Moko sangat tenang tanpa melepaskan tatapannya dari Risa yang wajahnya terlihat merah padam. Entah sejak kapan, gadis yang selalu menemaninya hampir dua puluh delapan tahun itu, kini terlihat begitu menggemaskan di mata Moko. “Iya tau, tapi, alasannya?” cicit Risa semakin salah tingkah. Pelan, Moko meraih kedua tangan Risa dan menggenggamnya pelan. “Biar elo nggak sedih lagi, nggak ngelamun terus. Dan yang paling penting,” Moko mengambil napas banyak-banyak sebelum melanjutkan kalimatnya. “Gue sayang sama elo, Ca.” tegas Moko tanpa keraguan. “Sa- sayang?” suara Risa membeo. Moko mengangguk sekali. “Sebagai?” lanjut Risa masih penasaran dengan tindakan sahabatnya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Moko tersenyum manis, kedua tangannya masih memerangkap jemari lentik milik Risa. Pria itu begitu menikmati wajah penasaran dari Risa yang nampak seperti remaja baru merasakan jatuh cinta seperti ini. “Hmm … Teman.” jawab Moko setelah beberapa detik. Risa mendadak menggigit bibir bawahnya, seolah menahan kecewa. Semu merah yang tadi Nampak begitu cerah, sekarang berubah menjadi wajah datar tanpa sinar. “Tapi jujur, Ca. Gue pengen jadiin elo teman hidup. Untuk saat ini dan selamanya.” imbuh Moko sontak membuat Risa melongo tak percaya. “A- apa? gimana, gimana? tolong diulangi lagi pak?” gegas gadis itu menarik kedua tangannya dari genggaman hangat Moko. “Nikah sama gue, Ca. Jadi istri gue. Mau kan?” jawab Moko dengan nada serius. Risa memejamkan matanya dramatis. Lantas satu detik kemudian dia menarik selembar tissue di sebelahnya. Membersihkan bibirnya pelan, juga mengusapkan tissue tersebut ke kedua telapak tangannya. Tanpa suara dan tanpa menoleh pada Moko. Gadis itu bangkit berdiri, mengambil tas selempangnya dan berjalan keluar menuju pintu utama apartment Moko. Melihat Risa yang kembali datar dan seperti mayat hidup, tentu saja membuat Moko kebingungan. Mengambil langkah seribu, pria tinggi itu ikut bangkit lalu mencekal lengan atas Risa pelan. “Mau kemana Ca? elo belum jawab pertanyaan gue.” hadang Moko tepat di hadapan Risa. “Becanda lo nggak lucu sama sekali, Ko.” Risa melepaskan cekalan Moko dengan paksa. Tak ada senyuman, tak ada sorot mata manja dan bersahabat seperti sebelumnya. “Gue nggak bercanda, Ca. Sama sekali nggak.” Moko mengguncang pelan kedua pundak Risa. Lagi-lagi Risa melepaskan cekalan tangan Moko dari pundaknya. Gadis itu mencoba melewati Moko yang menghalangi jalannya. Namun gerakan Moko lebih gesit dan kembali menghadang langkah Risa. “Gue udah berpikir jernih dan matang, Ca. Gue nggak bercanda dengan kalimat gue tadi.” Risa tersenyum miring, seolah mengejek Moko. “Nggak ada angin, nggak ada hujan. Tiba-tiba elo nyium gue, tiba-tiba bilang sayang ke gue, nggak hanya berhenti disitu aja, dan sekarang elo minta gue jadi teman hidup dan istri lo. Elo waras, Ko?” sentak Risa emosional. “Ca, gue serius. Please.” “Gue nggak mau elo jadiin pelarian setelah nggak bisa dapetin Kinar!” Risa bergeser ke kanan hendak melewati Moko, namun pria itu lagi-lagi menghalangi jalannya. Bahkan kali ini Moko lebih berani dengan mendorong Risa, hingga punggungnya menyentuh tembok dan tak bisa bergerak kemana-mana. “Apa hubungannya sama Kinar? Gak ada niat gue jadiin elo pelarian dari Kinar, Ca!” sanggah Moko sungguh-sungguh. “Okelah gue emang oon karena terlambat mengenali perasaan gue sendiri.” imbuh Moko mencoba memaku tatapan ke sepasang manik mata milik Risa. “Tapi, perasaan gue ke Kinar gak ada bedanya kayak perasaan gue ke adik perempuan gue sendiri Ca. Bisa jadi karena di alam bawah sadar gue, diam-diam gue merindukan Monica yang entah sekarang ada di mana sama bunda.” Memberanikan diri, Risa membalas tatapan Moko. Mencoba mencari kebohongan di sana, namun tak ada yang bisa ia temukan selain kejujuran dari pria itu. Monica yang disebutkan Moko tadi adalah nama adik perempuan Moko satu-satunya yang ikut dibawa pergi oleh sang ibu sejak hancurnya rumah tangga orang tua Moko. Hingga detik ini tak ada informasi pasti dimana Monica dan ibu Moko berada. Beberapa tahun silam, Moko hanya mendapat kabar kalau ibu dan adiknya sudah menetap dengan keluarga barunya di Australia. Namun begitu mencarinya kesana, yang Moko dapatkan hanya kealpaan semata. “Perasaan gue ke Kinar gak ada apa-apanya dibandingkan dengan perasaan gue ke elo yang … yang…” Moko menelan salivanya susah payah. “Sayang gue ke elo beda, Ca. Gue mandang elo sebagai perempuan dewasa yang bisa melengkapi kehidupan gue. Bukan sekedar rasa sayang dibalik topeng pertemanan belaka. Meski terlambat menyadari, gue yakin yang gue rasakan ke elo ini tulus, Ca. Perasaan seorang pria dewasa yang mendamba perempuan yang ia cintai.” Risa semakin mematung setelah mendengat kalimat panjang lebar dari Moko. Gadis itu mendadak kehilangan kemampuan bicaranya. “Cintai?” ulang Risa serupa bisik. “Sorry kalau ini terlalu mendadak dan bikin elo bingung, tau gue serius, Ca.” Moko kembali mencengkram pelan lengan Risa. Menatap nyalang ke arah Moko, Risa tak percaya begiut saja. “Gue pulang!!” Risa mendorong pelan tubuh Moko agar tak menghalangi jalan di depannya. “Gue anter.” Moko berbalik, lantas mengunci pintu apartmentnya agar Risa tak langsung pergi meninggalkannya seorang diri. “Kok malah dikunci?” Moko kembali ke kamar utama, dimana mereka tadi bercengkrama. “Beri gue lima belas menit, gue mau beresin makanan kita tadi, Ca. Udah bersih, jangan sampai kotor lagi kena bekas makanan yang gak diberesin.” Moko menepuk pelan bahu Risa. Inginnya Risa tersenyum geli saat mengingat betapa disiplinnya si Moko ini. Tapi kan, gadis itu masih merajuk dan kesal luar biasa. Jadi yang bisa ia lakuan hanya diam sambil menghempaskan tubuhnya di sofa tunggal sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Tak sampai lima belas menit, Moko sudah kembali dan siap mengantarkan Risa kembali pulang. Untuk pertama kalinya, saat perjalanan meuju rumah Risa, sepasang sahabat itu terdiam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Risa lebih banyak membuka ke jendela mobil sambil menatap pemandangan Jakarta menjelang malam, sedangkan Moko tetap mencoba fokus pada kemudinya, meski sejujurnya pria itu tetap tak bisa melupakan respon Risa beberapa waktu lalu. “Eh, kalian berdua. Bisa samaan gini nyampenya sama Mama.” sapa Neni ketika baru saja keluar dari mobil dan mendapati putrinya yang juga baru sampai. “Ma, udah enakan ya badannya?” sapa Moko langsung mendekat dan mencium punggung tangan Neni. “Sehat dong, diajak jalan-jalan sama Ayah langsung sehat lagi.” jawab Neni tersenyum lebar. Berbeda dengan Moko yang membalas sapaan Neni. Lain halnya dengan Risa yang terlihat acuh dan malah berlalu ke dalam rumah tanpa menoleh pada kedua orang tuanya yang juga baru datang. “Kenapa si Ica?” tanya Neni pada Moko dengan mengendikkan dagu ke arah putrinya yang berlalu seperti orang asing yang tak mengenal mereka. Moko menggaruk belakang lehernya salah tingkah. “Ngambek Ma.” “Karena?” Neni berjalan pelan masuk rumahnya sambil melingkarkan tangan pada lengan Moko yang ikut serta ia aja masuk. “Salah paham aja, Ma.” jawab Moko mendadak kikuk. Padahal sebelum-sebelumnya ia selalu terbuka pada Neni yang sudah menganggapnya anak sendiri. “Ckk, kalian ini … udah pada gede juga tetep aja sering berantem.” gerutu Neni lagi. “Udah ah, makan dulu yuk Ko, Ayah beli nasi padang banyak banget ini tadi.” Kedua tangan Neni langsung membongkar dua plastic besar berisi beberapa kotak nasi Padang. “Tapi aku udah makan loh, Ma.” Tolak Moko secara halus. “Heleh, makan nasi emang udah?” Moko meringis lagi hingga menyipitkan kedua matanya. “Ya belum sih, Ma. Tadi cuma makan martabak aja sama Risa.” “Naah kaan, ya udah sini aja makan. Ini banyak banget, mubadzir kalo sampe ada yang gak kemakan.” Mata Moko memindai dengan cepat tumpukan kotak berisi makanan tersebut. Ada sekitar sepuluh kotak, sedangkan penghuni di rumah ini hanya empat orang, ditambah dua orang asisten rumah tangga dan petugas keamanan jadi tujuh orang. “Lagian beli banyak amat, Ma.” Moko dengan cekatan membantu Neni menata kotak makan tersebut di atas meja makan. “Nggak tau tuh si Ayah.” Neni melirik sang suami yang baru saja bergabung di ruang makan. “katanya buat temen-temennya Mita yang mampir main ke sini. Tapi ternyata udah pada pulang.” Selesai menata makanan Neni memerintahkan salah satu asisten rumah tangganya untuk memanggil Mita dan Risa agar turun dan makan malam bersama. Mita yang terlebih dahulu turun dari kamar dan duduk bersebelahan dengan sang Mama. Tak berselang lama, giliran Risa yang turun dengan memakai piyama pendek bermotif burung hantu. “Eh, elo kok masih di sini? Bukannya tadi langsung balik ke apartment?” Risa menunjuk Moko yang ternyata masih ada di rumahnya, bahkan ikut bergabung dengan keluarganya di ruang makan. “Diih, kok ngusir sih. Mama tuh yang nahan-nahan aku biar ikutan makan malam di sini, Ca. Tau lah si Mama, kalau anak perantauan macem gue jarang bisa masak enak.” jawab Moko santai. Risa memutar bola matanya malas. Gadis itu bukannya benci mendadak dengan Moko, hanya saja perkataan sang sahabat beberapa jam lalu masih mengganggu pikiran Risa. Belum lagi tindakan Moko yang main sosor saja mengambil ciuman pertamanya. “Habis makan buruan pulang deh ya!” usir Risa setelah dirinya menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Moko yang menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Ma, Yah ….” Moko beralih menatap Neni dan Sigit bergantian. “Aku diusir tuh sama Ica.” imbuhnya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Haduuuh kalian berdua itu ya, kalo lagi ngambek gini kayak suami istri lagi berantem deh. Yang cewek sok jutek, yang cowok sok berlagak melas.” komentar Neni menggelengkan kepala tak habis pikir. “Pengennya sih jadi suami istri beneran Ma, bukan ‘kayak kayak’ lagi.” celetuk Moko tanpa sungkan. Kepalanya menoleh ke arah Risa sambil bertopang dagu, mencoba menarik perhatian sahabat yang kini jadi tambatan hatinya. Meski Risa hanya melirik sinis ke arah Moko untuk beberapa detik, tak menyurutkan niatan Moko untuk memenuhi netranya dengan sosok Risa. “Beeuggh, kalau kamu jadi suaminya Ica, Mama welcome banget Ko. Udah cocok banget sama tipe menantu idaman mama.” sahut Neni dengan wajah ceria. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD