“Yaa siapa tau kan, Moko itu ternyata jodoh kamu, Ca.”
Kalimat Neni, ibu Risa, kembali terngiang-ngiang di telinga gadis itu dan membuatnya bergidik seketika. Risa dilanda ngeri sekaligus geli dalam waktu yang bersamaan setiap kali mengingat pembicaraan dengan mamanya tiga hari yang lalu. Sebenarnya pembicaraan yang ringan, namun efeknya sampai sekarang masih sering membuat Risa keheranan karena ia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya.
“Jangan sok ngomong gak mungkin, gak mungkin gitu, Ca. Nanti kalau beneran jodoh sampe apa itu istilahnya … bucin ya? kamu sendiri loh yang malu.” sambung sang mama lagi saat itu.
Moko jodohnya? gumam Risa dalam hati.
Nggak mungkin banget kan!!
“Uyy, dipanggil-panggil malah bengong mulu. Jadi bantuin nggak sih?” sosok pria yang baru saja berlarian dalam benaknya, tiba-tiba saja sudah berdiri menjulang persis di depan Risa.
Seketika Risa terkesiap. “Mo- Moko. Eh, kok elo udah dateng?”
“Lah, gimana sih? kan tadi gue telpon, gue bilang udah deket, sepuluh menitan lagi nyampe.”
Risa melirik jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangannya. Sepuluh menit memang sudah berlalu sejak Moko menghubunginya tadi. Pantas saja kalau sahabatnya ini sudah tiba di teras rumahnya. Atau … Risa saja yang terlalu lama melamun ya? Ckk …
“Eh, iya … iya, gue kebanyakan ngelamun aja kayaknya.” Risa meringis sampai memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“Ya udah yukk langsung cabut aja.” ajak Moko mengulurkan tangannya kanannya hendak menggandeng tangan Risa seperti biasa.
Hanya saja, sekarang Risa yang merasa tak biasa. Bukannya cepat-cepat menyambut uluran tangan Moko, gadis itu justru mematung sambil memperhatikan telapak tangan besar yang biasanya hangat menggenggam tangannya.
“Diih, nih anak malah bengong lagi.” Tak meminta ijin lagi, Moko langsung saja meraih jemari lentik Risa dan menautkannya di jemarinya sendiri.
Risa menggelengkan kepalanya pelan, lantas berjalan mengekor di belakang Moko.
“Loh, kok malah masuk rumah. Katanya mau langsung cabut aja?” Risa mengerutkan kening ketika Moko malah membawanya masuk rumah lagi, alih-alih langsung menuju mobil yang tadi ia kendarai.
“Pamitan sama Mama dulu lah.” jawab Moko tanpa menoleh.
“Lha wong Mama lagi pergi sama Ayah kok.” ucap Risa membuat Moko menghentikan langkahnya.
“Eh iya?” Risa mengangguk demi meyakinkan Moko.
“Pantesan rumah lo sepi.” Moko berbalik arah lantas kembali menuntut Risa menuju mobilnya.
“Ya makanya gue mau bantuin gambar di apartment lo, soalnya gue sendirian di rumah. Mita lagi sekolah, Mama lagi diajak ayah treatmen ke salon. Sekalian akupuntur gitu katanya, biar badannya seger lagi.”
Moko mengangguk pelan. Dia sudah mendengar tentang kesehatan mama Neni yang mendadak drop sejak Risa mengabarkan batalnya pertunangannya. Tapi sekarang Moko bersyukur karena perempuan yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya itu sudah benar-benar pulih dan bisa beraktifitas lagi.
“Eh, alat tempur lo udah siap semua?” Moko menoleh pada Risa yang sudah duduk manis di sebelahnya.
“Udah dong, nih tas gue udah gendut kayak gini, ya isinya cat sama kuas.”
Selain berbakat dalam hal tarik suara, Risa ini juga handal melukis. Bakat alami yang ia dapatkan dari almarhum papanya. Maka dari itu, Moko berinisiatif untuk memanfaatkan bakat Risa tersebut untuk menggambar mural di salah satu dinding di balkon apartment yang beberapa hari lalu sudah ia bersihkan.
“Siip lah, nggak salah gue punya temen multi talenta kayak elo ya, Ca. Udah suaranya enak, pinter nyanyi, jago ngelukis pula.” puji Moko lalu mengacak pelan rambut Risa yang sudah tertata rapi dengan jepit bertabur mutiara diatasnya.
“Bayar lah, enak aja gratis.” Risa memicingkan matanya jahil ke arah Moko yang sedang berkonsentrasi pada kemudinya.
“Kan kemaren langsung gue beliin cat sama kuasnya yang paling oke. Masa kurang sih, Ca?”
“Laah itu mah emang wajib ada buat ngelukis. Tenaga orangnya beda lagi dong bayarannya.” sambung Risa mengacungkan telunjuknya.
“Astaga naga, cantik-cantik matre juga ya lo ternyata.” Moko menggeleng seolah tak percaya. Padahal ia tau betul, Risa hanya sedang menggodanya.
“Hari gini nggak matre, nggak hidup Ko.” celetuk Risa lantas terkekeh.
“Hidup sama gue deh, gue jamin lo sembuh dari matre karena pasti gue turutin semua kebutuhan lo. Selamanya, seumur hidup.” sahut Moko asal. Namun siapa sangka, kalimat spontan itu justru membuat Risa mengatupkan bibir rapat-rapat karena menangkap pesan yang berbeda.
Hidup sama gue, selamanya … seumur hidup. Ulang Risa dalam hati.
Itu ajakan untuk hidup bersama dalam rumah tangga bukan sih? Benak Risa mulai tak bisa diajak bekerja sama untuk menerka maksud dari Moko.
Tak sampai satu jam setelahnya, sepasang muda mudi itu sudah sampai di apartment Moko di daerah Semanggi. Moko segera menunjukkan salah satu dinding di balkon kamar utama yang ingin ia percantik dengan lukisan mural karya Risa.
“Dinding yang ini aja?” tanya Risa yang sedang memakai celemek lukis polyester dan sarung tangan untuk melapisi pakaiannya agar tak terkena cipratan cat.
“Yoi, kalau dinding yang sebelah sana,” Moko menunjuk dinding di belakang mereka berdua. “Gue pengennya polosan aja. Yang ada muralnya sekalian buat spot foto estetik ala-ala gitu deh.”
“Ckk, dasar narsis.” desis Risa terkekeh kecil.
“Sstt … sesama kaum narsis gak boleh saling sindir.” Moko mencubit kecil ujung hidung Risa hingga gadis itu meringis kesakitan.
“Iiish tangan lo bau amis malah pegang-pegang wajah gue!!” protes Risa hendak membalas perlakukan Moko, sayang pria itu langsung berlari cekatan agar tak sampai kena pukulan Risa.
“Gue abis nguras akuarium subuh tadi, Non.” bela Moko dari ruangan di sebelahnya.
“Alesan!!” pekik Risa mengusap ujung hidungnya dengan selembar tissue.
Begitu Moko meninggalkannya seorang diri, Risa mulai mengerjakan lukisan muralnya. Moko ingin lukisan sederhana dengan tema meteor, jadi Risa akan menggambar beberapa planet dan gugusan bintang di dinding dengan warna dasar abu-abu gelap itu. Sebelumnya, gadis itu sudah menunjukkan beberapa contoh sketsa gambar pada sahabatnya itu, dan Moko menyetujuinya.
“Istirahat dulu, Ca. Nih gue bawain martabak telor.” Moko kembali ke kamar utamaa sambil membawa kotak berisi martabak yang ia beli lewat aplikasi online.
Risa yang sedang menyelesaikan detail akhir lukisannya, menoleh dan tersenyum lebar. Setelah meletakkan kuas dan melepas sarung tangan juga celemek, gadis itu ikut duduk bergabung dengan Moko yang bersila di atas karpet bulu di tengah ruangan.
“Elo udah selesai beberes di kamar sebelah, Ko?” tanya Risa kita ia ikut bersila di sebelah Moko yang sudah tampak segar setelah mandi sore.
“Udah dong, tinggal nunggu catnya kering aja.”
Moko membuka kotak pertama yang berisi martabak dengan ukuran besar. Lalu lanjut membuka kotak kedua yang lebih besar yang ternyata berisi martabak manis dengan topping keju, kismis dan potongan oreo, seperti kesukaan Risa biasanya.
“Widiih, enak niih makanannya.” Risa mengusap kedua telapak tangannya tak sabaran seraya menunggu Moko menuangkan saus sambal untuk martabak telur mereka.
“Kesukaan lo banget kan ini?” Moko bersiul kecil.
“Banget banget dong. Jadi ini bayaran gue gambar nih?” tanya Risa menaikturunkan kedua alisnya tak beraturan.
“Anggep aja lah gitu, kalau masih kurang nanti gue tambah lagi.” Moko mengambil satu potong martabak telur, memberinya sedikit sambal lantas mengulurkannya ke depan mulut Risa. “Aakk.. dulu coba.” Moko berusaha menyuapi Risa.
“Ak- aku … gue bisa makan sendiri, Ko.”
“Sekali doang ih, lagian tangan lo juga masih basah kan?”
Risa menunduk sekilas melihat kedua tangannya yang memang masih basah karena baru saja mencuci tangan di wastafel dekat kamar mandi. Melihat Moko yang menunggunya membuka mulut, akhirnya Risa menyerah juga. Gadis itu membuka mulut dan mengijinkan sahabatnya itu menyuapinya. Padahal hal seperti ini sudah sangat sering terjadi di antara mereka berdua. Tapi yang kali ini, Risa merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya. Karena perhatian kecil Moko yang seperti itu justru membuat gemuruh hebat di dalam dadanya.
“Hmm, thanks Koko Moko.”
Moko mengangguk pelan. Tanpa sepengetahuan Risa, sahabatnya itu memperhatikan raut wajah Risa yang belakangan ini tampak berbeda.
“Kayaknya elo patah hati banget ya Ca, putus cinta yang kali ini.” seru Moko setelah beberapa saat mereka makan dalam diam.
“Gimana maksudnya? perasaan biasa aja deh.” jawab Risa santai.
“Dari tadi elo banyak melamun. Pasti karena masih sedih?” tebak Moko.
Risa menggeleng sekali. “Nggak juga ah.”
Risa memang sedih karena ditinggalkan begitu saja oleh Bimo. Dia merasa jalinan cintanya setahun kebelakangan menjadi sia-sia belaka. Risa juga sedih luar biasa karena mengecewakan kedua orang tua sudah menaruh banyak harapan padanya. Tapi … Risa jadi banyak melamun bukan karena teringat Bimo atau hubungan yang telah kandas itu. Astaga, sama sekali bukan karena itu.
Satu-satunya alasan Risa melamun justru karena pendapat sang mama yang mengatakan bahwa selama ini Risa gagal dalam percintaan karena terlalu sibuk dengan pria diluar sana dan menyepelekan seseorang yang justru selalu ada di sisinya. Tentu saja Moko maksudnya. Apalagi, mamanya dengan enteng sekali mengatakan kemungkinan jodoh Risa adalah sahabat yang selama ini menjadi tameng dan orang pertama yang selalu ada untuk Risa dalam keadaan apapun.
Diamnya Risa justru menimbulkan pikiran nakal di benak Moko yang siap ia utarakan untuk menggoda sahabat cantiknya itu. “Emang elo udah diapain aja sih sama Bimo? sampe susah banget kayaknya ngelupain dia.”
Seketika Risa mendelik horror mendengar celetukan asal Moko. “Heeh, Koko Moko Kodok!! enak aja kalau ngomong.” tangan kanan Risa dengan cekatan memukul kencang paha pria di sebelahnya. “Gini-gini gue nggak pernah ngapa-ngapain kalo pacaran. Gandengan okelah, pelukan jarang-jarang juga,”
“Ciuman?” goda Moko makin menjadi.
“Hmm, pipi doang. Itupun gue langsung ngeles.” Risa tak berbohong, karena memang itulah yang sebenarnya terjadi ketika ia menjalin kedekatan dengan mantan-mantannya terdahulu.
“Masaaa?” Moko mengerjapkan matanya beberapa kali mengusili Risa yang sedang menekuri potongan martabak dengan olesan saus sambal di atasnya.
“Serius gue, gini-gini bibir gue masih suci ya.” Dengan satu gerakan, Risa melahap martabak dengan sambal super pedas itu dalam sekali suap.
Moko tersenyum tipis. Namun dalam hatinya sudah bersorak sorai ribut sekali, karena mengetahui kenyataan ini. Meski keduanya bersahabat dekat, tapi Moko tahu batasan ketika Risa sedang menjalin asmara dengan pria pilihannya. Moko tak pernah bertanya atau mencampuri terlalu jauh. Tapi melihat kejujuran Risa barusan, entah kenapa membuat Moko lega luar biasa.
“Nggak pengen?” goda Moko semakin usil.
“Kalo pas lihat adegan kissing di drama-drama korea gitu, kadang pengen juga. Penasaran.” aku Risa dengan wajah polos yang membuat Moko gemas. “Tapi entah kenapa kalau sama mantan-mantan gue, kayak jijik gitu kalau mau mulai.” sambung Risa membuat Moko meledakkan tawa seketika.
“Diih, malah ketawa, gue ju- ju- jujur Moko.” gerutu Risa kesal. Dengan sebelah tangan ia mengambil jeruk hangat yang dibelikan Moko tadi. Gadis itu merasa mulutnya terbakar karena menuangkan terlalu banyak sambal ke atas martabaknya.
“Ckk, iya ... iya, kalau udah tau gak betah pedes, jangan ambil sambel banyak-banyak napa sih?” omel Moko lantas menuangkan lagi jeruk hangat ke gelas yang masih di pegang Risa.
“Elo sih, ngomongin ciuman-ciuman segala.”
“Laah, kenapa gue yang salah.”
“Ya gara-gara lo bahas kissing-kissing yang gue sendiri nggak tau gimana rasanya, gue jadi gak konsen sampe nuangin sambel kebanyakan.” cecar Risa masih ingin menyalahkan Moko.
“Ada-ada deh lo, Ca.” Moko mencubit gemas pipi Risa yang ikut memerah entah karena efek pedas atau karena hal lainnya. “Tapi lo gemesin kalo kepedesan gitu, Ca. Apalagi bagian yang ini.” Bola mata Moko tak lepas sedetikpun dari bibir Risa yang semakin merah, efek sambal bercampur dengan roba alaminya. Jemari Moko yang tadi berhenti di pipi Risa, kini bergerak pelan hingga tanpa sadar meraba bibir bawah sahabatnya.
“Kalau sekarang … elo penasaran nggak gimana rasanya?” suara Moko mendadak terdengar parau. Jemarinya masih berhenti di antara bibir dan dagu lancip Risa yang kini juga mematung dengan perlakukan Moko.
“Hah, yah? eh tap—”
Belum selesai Risa menjawab, Moko sudah menarik batang leher Risa hingga gadis itu sangat dekat. Dengan cepat Moko mendaratkan bibirnya di atas bibir Risa yang terasa hangat dan … manis.
“Sorry, Ca. Karena gue yang yang ambil ciuman pertama lo.” lirih Moko ketika mengurai ciumannya.
Risa membuka perlahan kelopak matanya, dan membalas tatapan Moko yang tampak sangat teduh. “Ta- tapi Ko—”
“Sekarang gue ambil yang kedua.” Lagi-lagi menggunting kalimat Risa, Moko kembali menundukkan kepala. Dengan gerakan cepat pria itu kembali memagut bibir Risa lebih dalam dan lebih … panas.
Ahh s**t, ternyata begini rasanya ciuman pertama, eeh … kedua juga. Batin Risa bergemuruh memalukan.
***