3

1303 Words
Sagitarius Yudantha sangat berharap adanya kita—dirinya dan Barella—memiliki makna yang sesungguhnya. Sayangnya, yang sangat Sagi harapkan melenceng dari perkiraan. Memang, ya, Tuhan punya kehendak yang tak terduga. Padahal selama satu minggu ini, prioritas utamanya hanya Barella. Semua untuk Barella. Semua karena Barella. Ini itu Barella. Ke sana-sini Barella. Kanan Barella. Kiri Barella. Timur Barella. Barat Barella. Selamat Barella. Utara Barella. Barella-Barella-Barella. Dunianya sudah mati di Barella. Dan Barella membunuhnya. Sagi jadi berpikir bahwa ini karma. Ia menginginkan Barella lewat jalan yang tidak sebenarnya. Berbagai alasan dirinya buat. Ah pasti. Tuhan murka. Huh! Sagi dibuat pusing oleh sikap Barella; cuek, dingin, acuh semua yang buruk adalah Barella. Ada banyak yang ingin Sagi bagi. Termasuk perubahan dirinya selama ini. Ke mana saja selama delapan tahun ini. Bagaimana kehidupannya. Seperti apa perjuangannya untuk sampai di sini. Dan lagi-lagi, itu hanya Sagi yang memikirkan. Tanpa melibatkan Barella. Sudah ingin menyerah? Tidak semudah itu Ferguso. Mengembuskan napasnya, Sagi mengambil laptopnya dari nakas. Menyalakan layarnya yang gelap sempurna lantas jari-jari panjangnya berselancar di email. Satu per satu ia cermati dengan jeli. File masuk begitu menumpuk. Satu dari sekian banyak antrian, mata Sagi mengecek laporan keuangan terbaru. “Ah, sialan!” Sagi menggerutu. Kesal setengah mati pada laporan yang di kirim untuknya. Mereka sungguh tidak kapok mencari perkara dengan Sagi. Apa mereka pikir membangun perusahaan sebesar ini mudah? Apa mereka kira mengemban amanah semudah membalikan telapak tangan? Kenapa dalam otak mereka hanya terbayang uang-uang-dan uang saja? Tidakkah mereka berpikir keadaan keluarga—tidak—malunya anak-anak mereka ketika mengetahui orang favoritnya sebagai napi. Sagi menghela napas. Begitu dalam sampai di detik terakhir ponselnya berdering. Mengambil tanpa mengecek siapa si pengganggu, Sagi tahu itu salah satu orangnya. “Ya,” jawabnya santai terkesan ogah-ogahan. Perkataan orang di seberang menyorot ketidakpuasan pada Sagi. “Oh, oke. Kirim segera. Sekarang!” Selesai. Sagi melempar ponselnya sembarang arah. “Mereka memang b*****t!” dumelnya blak-blakan. “Lihat aja nanti. Mati lu semua!” “Mulut lo ngga bisa ya diajak ngobrol yang berfaedah dikit.” “Ya Allah.” Sagi kaget pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Barella mengomel—mengomentari—umpatannya tadi. “Lo bisa kali ngetuk dulu. Jantungan nih gue!” “Alah lebay banget. Kaya lo ngga doyan ngagetin wadon aja.” Moodnya lagi bagus, nih. Kayanya loh ya. Kayanya. Sagi nyengir lalu menowel-nowel pipi Barella. “Bar, kawin yuk?” siulnya diakhir kalimat. Mata Sagi menjelajah pada pakaian Bare yang tembus pandang. Gila! Ngaceng gue. “Memang anjing ya mulut lo.” “Heh! Ngga sopan amat. Suami lo loh ini.” “Bodo amat!” Bare menyerobot masuk. Ini kamarnya bersama Sagi. Lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk tidur terpisah. Tentu, ultimatumnya banyak. Melepas, melempar kaos bekas joggingnya, Barella cuek saja ketika Sagi kembali menyiuli dirinya. Justru dengan kuat, Bare menghempaskan sepatunya yang tepat mengenai wajah lelaki itu. Sampai suara aduh terdengar barulah Barella beranjak menuju kamar mandi. *** Mentari sore hampir kembali ke peraduannya kala Barella memasuki rumahnya. Rutinitas hariannya kini hanyalah rumah, kantor, tidur, makan, mengurus keperluan suami, dan begitu seterusnya. Agaknya sedikit berbeda dari hari sebelumnya. Barella dikejutkan dengan satu berita yang cukup membuatnya down. Walau menghalau pikiran positif mudah saja dirinya lakukan—karena Barella bukan tipe perempuan yang mudah meledak—maka menampung informasi itu menjadi jalannya. “Ya, paham.” Sambungan telepon berhenti. Manik kelam Barella menelisik halaman belakang rumahnya yang gila luasnya bersamaan redupnya fajar sore. Inginnya tidak mempercayai berita ini. Ada dua praduga dari informasi temannya tadi; pindah atau penjara. Dua kemungkinan ini tidak bisa Barella tebak. Karena mungkin saja terjadi. Tapi tetap saja, menerka-nerka bukan keahliannya kecuali meyakinkannya sendiri. Kalau pun berpindah tempat, sangat tidak etis pergi begitu saja. Kita bersahabat lama. Barella menjadi perempuan satu-satunya diantara ketiga lelaki pelindungnya. Layaknya berlian yang memancarkan cahaya, semua orang dibuat iri dengan keberuntungan Barella. Bagaimana tidak? Ketiganya tampan, mapan dan dari keluarga terpandang. Otak manusia mentok sampai di situ saja untuk menyimpulkan segalanya tanpa mau tahu kegetiran yang tertuang. “Bener-bener butuh Sagi.” “Tumben butuh aku?” Nampaknya Barella benar-benar dibelenggu pikirannya sendiri sampai tidak sadar suaminya berdiri tepat di belakang tubuhnya. Sejak—entahlah—yang pasti Sagi mendengar semuanya. “Ganti muluk.” Pengalihan yang bagus. Barella malas menanggapi keluhan yang di pertanyakan Sagi. “Tadi butuhin gue karena apa?” Suka-suka Sagitarius Yudantha—Maha Kuasa—ingin merubah panggilannya apa. Abaikan! “Oh …” Bare memberi jeda membuat Sagi berdecak. Perempuan emang ngga ada niat dikit aja buat ngomong terus terang. Apa-apa kode. Ini dikit kode. Gitu dikit kode. Kode kaya lebih penting timbang perasaan yang peka. “Salah satu temen gue ada yang masuk penjara. Tapi opsi lain bilang dia pindah. Cuma … itu aneh aja.” Alis Sagi menukik tampan. Kadar kegantengannya berlipat-lipat di mata Barella jika alis tebalnya yang bermain. “Terus?” Kok hawanya beda, ya? Panas-panas asem gitu. “Ya-ya lo, kan punya banyak relasi di kepolisian maupun bandara. Bantuin kek!” Fix. Sagi merasa tersisih. Bare lebih peduli pada temannya timbang dirinya yang berstatus suami. Huh! Mereka ini temenan, ralat, sahabat sejak orok tapi Barella segitu pedulinya sama orang baru. k*****t emang! “Oke.” Sagi berlalu setelahnya. Kalo misuh-misuh di depan dia, PeDe banget entar. Ngira gue cemburu lah. Cinta lah. Sayang lah. Padahal ma hiya. Taik! *** Usai makan malam, Sagi ogah-ogahan untuk membantu Barella. Sejak magrib tadi perempuan berambut panjang itu berisik sekali. Menanyai Sagi ‘sudah belum’—ya mending gitu kalo pertanyaan sudah belumnya buat dirinya yang masih sanggup nahan atau kagak! Lah ini, sampai ratusan kali, hampir-hampir berbusa itu mulut. Untung Sagi ngga lagi sekolah SD. Bisa-bisa hapal dialog. “Sabar, elah!” ketusnya menangkap maksud Bare yang ikut duduk di ruang tengah. Tepuk tangan riang dari perempuan itu tandanya. “Aku ganti baju dulu, deh.” Lantas berlari kecil menaiki kamarnya. Tak sampai lima menit dandanannya berubah total. Hanya dengan celana jeans robek-robek dan kaos kebesaran—jakun Sagi naik turun—memang outfit simple kesukaan Barella. “Yuk!” Ajakannya membawa Sagi berdiri tidak serta merta meremangkan tengkuk Sagi. Dadanya berdetak amat kencang hanya sebuah genggaman. Coba pikirkan. Tangannya di genggam oleh Barella. Wuah! Ingatkan dirinya untuk jangan cuci tangan tujuh hari tujuh malam. Oke! Lebay! “Ini kalau betul-betul temen gue di penjara, hah! Ngga kebayang gue?” “Kasus apa?” Sagi masih fokus menatapi tangannya dalam genggaman Barella. Sampai sepenuhnya berhenti di depan mobilnya, barulah Bare melepaskan. Intinya, perempuan itu tidak sadar sudah membuat detakan jantung Sagi menggila. “Belum jelas. Cuma katanya penggelapan dana.” Alis Sagi mengkerut. Gerakan tangannya yang hendak menstater mobil mendadak kaku. Pikirnya, sudah kasus seperti ini, prosesnya akan sangat Panjang. Dalam Pasal telah tertera berapa uang ganti rugi dan minimal penjara. Semuanya tertera dengan gamblang. “Setahu gue nih ya, itu masuk dalam pasal KUHP hm, berapa ya?” Sagi mencoba mengingat. Tapi lupa. “Pokoknya ada pengembalian dana yang udah dia ambil sama penjara empat tahun. Dia di bagian apa?” “Seinget gue tuh ekspor impor. Dia penanggung jawab di kantor pusat yang ada di Ungaran. Cuma anehnya kaya semacam jebakan gitu. Dia orangnya bersih banget soal ngatur kerjaan. Makanya gue nggak percaya semisal ini beneran.” “Namanya perkiraan itu bisa aja terjadi. Yang lu anggap bersih belum tentu kaya aslinya. Bar, semua orang butuh duwit buat hidup. Lo yakin sama asumsi lo? Bisa-bisa lu jadi saksi di persidangan nanti.” Dan juga omongan lo sepanjang gerbong kereta soal orang lain tapi ngirit habis ke gue. Sagi mendengus saja. Hujan tidak, panas iya dirinya kebakaran. “Kamu bisa bantuin, 'kan?” “Aduh bangke!” Sagi mengusap kepala belakang Barella. “Lo manis banget sumpah dengan permintaan tolong ini. Pake kamu segala. Basi, Bar!” “Gue serius Sagitarius Yudantha!” “Yes, Mrs. Yudantha.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD