2

1404 Words
Berpikir keras dengan sangat cepat, Sagi mengambil keputusan. Pikirnya, ia harus egois demi Barella. Soal bertanya? Tidak. Sudah Sagi tekankan bahwa ia akan egois jadi bertanya apakah Barella setuju atau tidak bukanlah suatu masalah. Apapun kondisinya, Sagi akan memaksa. Bagaimana pun Barella menghardik keputusannya nanti, Sagi tetap teguh. “Sudah ketemu?” Sagi menerima lungsuran map yang dibawa orangnya. “Sudah.” Mata Sagi terus bergerak. Tangannya membolak-balik kertas demi kertas dengan beberapa potret gambar di dalamnya. Gila! Batinnya. Ini lebih gila dari yang Sagi bayangkan. “Terus awasi pergerakannya. Laporkan setiap kegiatan apapun yang Keluarga Yudhistira lakukan.” Bawahannya mengangguk lantas beranjak pergi tanpa menunggu pengusiran. Pekerjaannya telah usai. Tugas baru sudah menunggu untuk diemban. Maka memangkas waktu guna menyelidiki setiap perintah Tuannya harus segera dilaksanakan. Kembali berhadapan dengan dokumen dan d******i otaknya yang terus menebak-nebak, suara pintu terbuka dan tertutup menyeret Sagi pada kenyataan. Cepat sekali. Kekehnya riang. Sudut bibirnya otomatis tercetak ke atas. Menambah kesan tampan dan jahat di satu waktu. Didapatinya Barella yang melangkah perlahan dengan wajah datarnya. Duduk begitu saja sebelum Sagi menyapa. Dan sapaan ketus Barella membuat tawa Sagi melebar. “Manja!” Sagi abai akan kalimat Bare. Itu terdengar seperti; halo sayang. Apa kabarmu hari ini? Harus Sagi akui dirinya menyukai setiap jengkal kata yang keluar dari bibir Bare. Mulai menekuri laptopnya kembali tanpa mengabaikan eksistensi judes di wajah Barella Sagi berkata: “Kita bisa bernegosiasi. Aku bawa kamu keluar dan kamu selametin perusahaan aku dari kebangkrutan. Impas, kan?” Bare mendengus. Merasa tidak suka dengan gagasan tersebut. “Syaratnya?” Sagi diam. Mendadak kaku. Lidahnya kelu padahal rencananya sudah di depan mata. Ia sudah berpikir secara matang tapi tetap saja, di tindas tatapan menghunus milik Barella nyalinya ciut. “Ayo kita nikah. Ayo kita bareng dalam artian yang sebenarnya. Bukan cuma kepentingan perusahaan dan embel-embel lainnya.” Sagi menjeda. Menelisik ekspresi Barella yang sayangnya tetap datar. Perkataannya berlanjut, “Aku ngga akan puas semisal ngikat kamu di jenjang pertunangan. Aku kenal kamu, Bare dan kamu kenal aku. Jadi, ayo nikah.” “Gila!” Bare membalas dengan lengkingan keras. Terkejut—tentu saja. Perempuan mana yang adem ayem diajak nikah dadakan? Cuma orang gila yang tenang-tenang aja. “Lu ngga perlu jadi pahlawan kesiangan cuma buat ngehibur gue.” Harga dirinya tersentil oleh ajakan Sagi—sejujurnya. “Jangan khawatir. Masalah hati, punya aku selalu sama. Masih utuh buat kamu. Selalu buat kamu.” Barella semakin tidak suka. Ingin sekali mengumpati Sagi keras-keras. Namun urung dilakukan karena ucapan Sagi, “Aku tahu semuanya. Aku udah lihat semuanya. Take it or leave it!” *** Barella tidak ingin mengambil kesempatan apapun yang dirinya miliki. Saat ini, ia cukup menikmati perannya. Entah bagaimana orang lain menilai bahkan memandang dirinya, Barella acuh saja. Ia tidak peduli jika dianggap b****k. Ia tidak peduli dinilai murahan. Ia bahkan tidak lagi bisa peduli pada setiap perasaannya. Ekspresinya menghilang seiring berjalannya waktu. Kesedihan selalu bercokol namun ia tutupi. Terlalu rapat sehingga orang sekitar menganggapnya aneh. Lalu apa yang harus Barella lakukan? Untuk orang-orang sekitar mau peduli padanya. Untuk keluarganya yang selalu mengesampingkan kebahagiaannya. Barella seperti disangkar emas. Keheningan masih terus melingkupi. Hanya suasana seperti ini yang selalu menemani dirinya. Ia tetap suka meski hatinya tak memungkiri rasa sepinya. Pernah Barella berdoa untuk mengirimkan satu saja seseorang yang bisa mengobati sepinya. Tapi yang didapatinya selama ini ialah dirinya yang selalu sendiri dan terbelenggu jerat tak kasat mata. “Kalo kamu ngga cocok, kita bisa selesai. Seenggaknya kita sudah mencoba. Kita sudah pernah bersama untuk saling mengobati.” Bare menghela napas. Jari-jari tangannya bertaut. Pikirannya berkelana. Apa sih yang ada dipikiran lelaki itu sehingga membuat perjanjian seperti ini? Apa dirinya terlihat sangat perlu dikasihani sehingga jalan seperti ini di ambil? Apa kondisinya sangat mengenaskan? Lagi pula, dirinya tidak lemah-lemah amat untuk menangani tekanan dari keluarganya. Ia sudah biasa mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Tapi Sagitarius Yudantha memang unik. Punya cara tersendiri untuk mencapai ambisinya. Padahal mengambil keputusan sebesar ini bukan tidak mungkin bertautan dengan risiko yang riskan. Hanya demi melindungi dirinya. Perlukah Barella tersanjung? Tiba-tiba Bare diserang rasa panik. Kata ‘tersanjung’ menjentik otaknya. Tidak! Raungnya. Itu tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh masuk ke dalam perangkap Sagi. Ia tidak boleh—sedikit saja—membantu semua rencana lelaki itu. Barella tahu—sangat mengenal—bagaimana pembawaan Sagi. Tapi rencana apa yang bisa dirinya lakukan? [] Berjalan lancar. Apa yang lebih membahagiakan dari sebuah keberhasilan? Saat kamu mendapat peringkat di kenaikan kelas. Saat memenangkan sebuah medali emas di perlombaan. Saat lulus dengan nilai sempurna. Prestasi menggunung. Selain bahagia. Apalagi? Sama halnya dengan Sagitarius Yudantha. Ia bangga, puas, senang, terlonjak senang dengan keberhasilan misinya. Tidak sesulit bayangannya. Hanya perlu menunggu dan berkorban. Barella Yudhistira memang sebuah euforia yang meletup layaknya kembang api. Meninggalkan jejak yang dengan jujur tida bisa Sagi gambarkan secara gamblang. Haaaahhhhhh! Begitu respon pertamanya. Sesaat setelah memasuki rumah barunya plus dengan isi dan semua perlengkapan yang telah dirinya siapkan; asisten rumah tangga, mobil, perlengkapan lainnya. Sungguh suatu kebanggan tersendirinya baginya. Pokoknya Sagi bangga akan pencapaian dirinya. Pada pengorbanan, perjuangan, tersitanya waktu sekian tahun membuahkan hasil. Barella miliknya. Miliknya! Tekankan sekali lagi. Kuat-kuat dan keras; MILIKNYA! Jawaban ‘ya’ dari Barella memang ajaib. Mengocar-acirkan pekerjaan yang sedang dirinya emban. Bayangkan! Ditengah rapat, Sagi kabur hanya untuk menemui perempuan berwajah datar itu lalu mengikrarkan janji pernikahan. Tidak main-main. Bukan siri seperti yang Sagi janjikan sebagai percobaan, namun pernikahan yang sesungguhnya. Secara sah agama dan hokum. Double killer memang! Hadiahnya melejit. Jika sudah seperti ini, Sagi bersumpah tidak akan pernah melepasan Barella. Catat itu! Apa pun yang terjadi. “Muka lo jijik banget sumpah. Takut gue.” Sagi memeletkan lidahnya. Tidak peduli pada ejekan Barella. Perempuan itu tampak berbeda hari ini. Jika biasanya, rambut hitam kelam panjangnya ia gerai, kini kuncir kuda menjadi pilihannya. Sesuai dengan outfit casual yang begitu pas di tubuh sintalnya. Wahhhh! Sagi bertepuk tangan riang. Ingin segera melihat bentuk tubuh Barella yang full naked. Yang lalu hanya sebatas d**a dan Sagi sudah turn on. Hebat! Suer! Astaga! Astaga! Ya Ampun, Sagi ingin bergumam bahwa ini sebuah keajaiban, keberkahan. Namun mengingat hubungan dirinya dengan Sang Pencipta saja amatlah buruk, ia jadi malu. Kata berkah sangatlah sakral sedang dirinya manusia kotor penuh dosa. Tapi masa bodoh dengan segala doa, baginya ia harus banyak bersyukur pada Tuhan yang sudah memihaknya. “Ah masa. Entar lo lihat muka sange gue ngajak praktek lagi.” Senyum Sagi melebar. Kedua matanya menyipit sehingga Barella beradegan memuntahkan sesuatu. Padahal itu hanya iseng sekedar hiburan. Namun bukan berarti Barella tidak memperhatikan kadar kecomelan Sagitarius Yudantha yang sangat cerah hari ini. Pasti, jawabannya tidak salah lagi, karena pernikahannya berjalan lancar dengan dirinya. Bukan pernikahan semacam angan setiap orang. Prosesi adat yang menyita waktu bahkan tidak ada. Kehadiran orang tua, boro-boro. Hanya penghulu, saksi dan wali nikah yang Barella ketahui sebagai orang terdekat Sagi. Eh? Apa barusan Barella menceritakan pernikahannya yang berjalan? Jika ya, ambilkan sebotol air untuknya mengguyur kepalanya yang mendidih. Bagaimana bisa mulutnya mulus bercerita seperti ini. Barella murka pada dirinya sendiri. Mendadak otaknya beku. Ada kutipan disebuah buka yang Barella ingat. Di mana hal paling berharga dalam hidup manusia adalah waktu. Barella masih manusia, kan? Apa dirinya memiliki waktu yang berharga untuk dikenang selama dua lima tahun di hidupnya? Apa itu waktu yang bagus? Atau buruk? Entahlah. Mana yang cocok untuk dirinya nilai, hidupnya tidak lagi sama. Setiap tahunnya ada perubahan-perubahan kecil yang tanpa disadari berubah menjadi beban. Ada masa terberat di perjalanan hidupnya tapi tidak dirinya rasai. Dan sekarang? Mimpi dari mana juga Barella tidak tahu. Satu yang pasti, semakin memperhatikan Sagitarius, semakin dirinya mengerti jika lelaki ini pernah Barella harapkan. Lelaki ini pernah menaungi perasaannya yang hancur. Lelaki ini pernah masuk ke dalam sepenggal doa sebelum matanya terlelap. Lelaki ini awal kesakitan yang tidak berkesudahan. Lelaki ini yang membuatnya tidak berarti di mata keluarganya, dia pula yang menariknya keluar. Rencana Tuhan sedahsyat itu. Sehingga diantara jajaran waktu justru pertemuan ini yang mengobati sakitnya. Ingatan ini yang membuatnya seperti merasai hidup. Memberi segala arti selama delapan tahun ini. “Gue tau bukan gue yang lo mau buat mengawali semuanya. Gue juga tau atas dasar apa lu setuju dengan ini.” Barella mendengus. Memalingkan muka seolah kalimat Sagi benar adanya. Lelaki itu tetap saja. Tidak banyak berubah kecuali wajah dan bentuk tubuhnya yang semakin atletis. “Sok tahu!” ketusnya menjawab. Barella hendak berlalu ke kamar atas ketika genggaman Sagi mengetat. “Sekali ini aja. Dengerin gue.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD