Entah sudah sejak kapan Brooklyn berdiri di sana. Mengintai, menunggu dan menahan amarah yang sejak beberapa saat lalu menguasainya. Sampai detik ini, meskipun adiknya,Beverly sudah berusaha membujuknya untuk meninggalkan tempat itu, Brooklyn tetap kekeuh berdiri di tempat itu. Mengawasi. Beverly akhirnya menyerah dan membiarkannya menunggu pintu itu terbuka. Brook memang sudah gila. Dia akan semakin menggila jika berkaitan dengan Elsa.
Penantian Brook akhirnya tidak sia-sia. Pintu kamar Kayla akhirnya terbuka. Brook bersembunyi di salah satu ruangan agar mereka yang keluar dari pintu itu tidak melihatnya. Sesuai ekspektasi Brooklyn, pasangan Winata akhirnya keluar meninggalkan Kayla seorang diri. Bagus! Pikir Brook.
Brook berjalan menghampiri pintu yang sekarang tertutup lagi. Setelah memastikan pasangan Winata itu tidak melihat kehadirannya, Brook menyelinap masuk ke kamar Kayla. Tujuannya adalah memastikan Kayla mendapat ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. Yaitu, menghasut Elsa.
Mudah saja bagi Brook menyelinap ke kamar Kayla. Ia memiliki relasi yang cukup berpengaruh untuk bisa mengakses kamar Kayla dengan mudahnya.
Setelah ia berada di dalam satu ruangan bersama wanita yang ingin sekali di hajarnya, Brook terperanjat mendapati tubuh ringan Kayla berdiri di balkon. Tubuh itu terlihat rapuh, hingga mungkin saja angin kencang yang berembus saat ini bisa menerbangkannya. Brooklyn mengumpat. Ia tidak seharusnya merasa kasihan dengan wanita yang telah menghancurkan hidupnya itu.
Dalam balutan kaos berwarna coklat s**u dan rambut tergerai indah hingga menutupi sebagian wajahna, Kayla menyadari ada yang tengah mengawasinya. Wanita itu berbalik dan mendapati Brooklyn menatapnya marah. Sadar dengan tatapan mematikan itu, Kayla berusaha menenangkan dirinya.
"Apa yang kalu lakukan di sini?" tanya Kayla sembari meletakkan cangkir cappuccino-nya di atas meja. Angin berembus semakin kencang. Rambut coklat keemasannya bermain di udara akibat terpaan angin.
Brook mendekat. Sengaja mengancam Kayla dengan tatapan mautnya. Tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, Brooklyn berseru kepada Kayla. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang telah kau katakana pada Elsa?"
Merasa ada yang aneh, Kayla mengerutkan keningnya. "Apa maksdumu? Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan!"
Muak dengan sikap sok-bodoh Kayla, Brooklyn menyunggingkan senyum miring. "Jangan pura-pura bodoh, poor Cinderella. Kau tahu apa yang sedang kubicarakan!"
"I'm not Cinderella!"
"Oh, mulai mengelak? Lupa dengan sepatu kacamu yang kau lempar padaku semalam? Lupa dengan kesucianmmu yang kau berikan dengan sukarela pada-"
"Hentikan, Brooklyn Montano!" sentak Kayla. Baik Kayla maupun Brook sama-sama tidak tahu apa yang saat ini menimpa mereka. Apa yang membuat mereka berseteru.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kau mengatakan padaku apa saja yang kau katakana pada Elsa. Racun apa ang telah kau tanamkan di benakna hingga Elsa sangat membenciku! Sebenarnya apa tujuanmu melakukan ini semua? Apa kau sengaja menjebakku!" ucap Brook dengan amarah berkobar dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Kayla makin tidak tahu arah pembicaraan Brook. Masih berusaha mengendalikan amarahnya, Kayla menatap Brook penuh percaya diri. Sayangnya, aroma maskulin yang menguar di antara mereka mengingatkan Kayla bagaimana tubuh pria itu mendekapnya possesif.
Seharusnya kau tidak memikirkan hal itu, bodoh. Kau hanya pelampiasannya saja. Kapan kau sadar? Umpat Kayla dalam hati.
"Memanfaatkanmu untuk?"
Brook menegang. Pertanyaan yang sungguh menarik. Dan sangat masuk akal. Sayangnya, Brook tidak berpikir sampai sejauh itu. Tapi, ia tidak mau kalah. Tidak. Brook kemari untuk mendapatkan penjelasan. Bukan kekalahan. "Menurutmu untuk apa lagi?" Brook melempar pertanyaan Kayla dengan pertanyaan lainnya. Dalam hati ia berdoa semoga cara itu bisa membuat Kayla mengakui kesalahannya.
Kayla menyeringai, "Maaf, Brook, tapi aku tidak berniat memanfaatkanmu." Ia berhenti untuk merapikan rambutnya, menyelipkan sedikit rambut nakalnya di balik telinga. "Karena kau sama sekali tidak ada manfaatnya untukku."
Brook tidak habis pikir. Tadinya ia berharap Kayla akan ketakukan dengan gertakan-gertakan yang ia lontarkan. Tapi nyatanya? Kayla melempar tuduhannya dengan telak. Dengan pertanyaan yang membuat Brook kehabisan kata-katanya.
"Jaga ucapanmu! Katakan saja apa tujuanmu mengatakan hal itu pada Elsa."
Kayla memutar bola matanya jengah. "Oh, ayolah, Brooklyn, kupikir kau masih waras dengan datang kemari dan mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan konyolmu. Aku sungguh tidak mengeerti dengan arah pembicaraan kita. Kita terlalu bertele-tele, kau tahu? Oh, maaf, bukan kita. Tapi kau. Kau!"
"Apa kau melakukannya demi Freddy? Apa Freddy menyuruhmu!" bentak Brook lagi. Sungguh ia tidak tahan dengan sikap sok-bodoh Kayla.
Kayla melepar pandangan jijik pada Brook. "Sekarang apa lagi? Freddy? Setelah Elsa lalu Freddy, lalu siapa lagi yang ingin kau kaitkan dengan omong kosong bodohmu ini?"
"Jangan pura-pura i***t! Aku tahu apa yang kau rencanakan!"
"Apa!" seru Kayla tidak tahan dengan tuduhan-tuduhan Brooklyn.
"Kau sengaja membuat Elsa membenciku. Kau sengaja mengatakan pada Elsa tentang kejadian semalam. Bahwa aku sengaja menodaimu. Jadi, bisakah kau simpulkan apa yang sebenarnya kau rencanakan jika bukan keretakan hubunganku dengan Elsa."
Untuk sesaat, sesaat yang lumayan lama, ketika keheningan menggelayut di antara mereka, Kayla berpikir. Hubungan? Menghancurkan hubungannya dengan Elsa. Bahkan siapa pun bisa melihat mereka tidak memiliki hubungan apa-apa selain sebatas sahabat. Jadi, apa Brook masih berharap jika suatu hari nanti ia bisa menikah dengan Elsa? begitu
Mengenyahkan gagasan-gagasan bodoh yang menghantui benaknya, Kayla mencoba memahami tuduhan demi tuduhan yang dilontarkan Brooklyn. "Memangnya kapan aku punya wantu berbicara dengan Elsa. Sejak kejadian semalam, aku belum berbicara dengannya secara pribadi."
"Kau meneleponnya! Kau sengaja menghuungiku! Kau tahu saat itu Elsa tengah membawa ponselku!" Brooklyn memborbardir Kayla dengan tuduhan-tuduhan yang semakin lama semakin menyesakkan untuk Kayla. Ia tidak habis pikir Brook bisa memandangnya serendah itu.
Apalagi, setelah kejadian semalam. Sekali saja jangan berpikir bodoh, Kay!
Brooklyn tahu betul di mana ia harus menancapkan belati untuk menghujamnya. Brooklyn tahu betul bagaimana ia bisa dengan mudahnya membunuh Kayla dengan kata-kata kasar dan tuduhan tanpa bukti yang selalu ia lempar ke muka Kay;a.
Merasa muak dengan pria yang sudah sepuluh tahun terpenjara dengan sahabatnya, Elsa, Kayla akhirnya mengalah. Untuk pertama kalinya ia ingin mengalah demi Brooklyn. Dan mungkin untuk yang terkahir kalinya juga.
Karena setelah ini, tidak aka nada lagi Brooklyn dalam hidupnya. Cukup sudah.
"Mungkin kau tidak akan mempercayai kata-kataku-"
"Memang tidak!" potong Brook cepat.
"Aku memang sengaja menghubungi. Tujuanku adalah untuk memintamu menjaga rahasia di antara kita. Agar kau tidak mengatakan pada siapa pun tentang apa yang terjadi semalam. Itu saja. Tapi, aku sama sekali tidak tahu jika ponselmu di tangan Elsa. Aku tidak memiliki tujuan apa pun. Semua yang terjadi murni 'kecelakaan'. Aku tidak bermaksud menghancurkan hubunganmu dengan Elsa. Jika memang itu yang kau pikirkan. Sekarang pergilah!"
"Aku belum selesai bicara!" Brooklyn mengumpat. Emosinya kembali memuncak tatkala Kayla mendorongnya keluar dari kamar itu. Brooklyn ingin mencekik leher Kayla saat itu juga. Jika bukan karena Gadis dan Dewa yang kebetulan melintas di depannya, Brook bersumpah akan membunuh Kayla dengan tangannya sendiri.
Tidakkah wanita itu tahu tindakannya itu bisa mengancurkan hubungannya dengan Elsa? Brook mengeoalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.
"Brook, apa yang kau lakukan di sini?" Gadis bertanya dengan suara lembut.
"Tidak ada."sahut Brook ketus.
"Apa Kayla di dalam?"
"Tidak." jawab Brook seraya meninggalkan pasangan itu.
Sementara itu, di balik pintu yang menjulang tinggi di belakangnya, Kayla menumpahkan air mata yang sudah ditahannya sejak kedatangan Brooklyn. Kayla tidak sanggup lagi menahan beban yang menumpuk di hatinya. Sembari mengusap air mata yang mengalir bak air terjun yang tiada habisnya, Kayla memunguti serpihan-serpihan hatinya yang telah hancur lebuh bak gelas kaca yang dengan sengaja dibanting ke lantai. Hancur lebur, berantakan.
Satu jam kemudian, dengan ditemani Jackson Augustus Sharpe, Kayla berjalan menuju jet pribadi milik Jackson. Pria itulah yang selama beberapa tahun terakhir menemaninya serta membantunya menghadapi segala sesuatu yang menyangkut perusahaan yang kini berada di bawah naungannya.
"Kukira kau mengajak orang tuamu ikut dengan kita." Jackson membimbing Kayla dengan mengaitkan lengannya di lengan Kayla.
"Tidak. Mereka akan pulang beberapa hari lagi." dusta Kayla.
Sebenarnya, baik orang tuanya maupun kedua sahabatnya, tidak ada yang tahu kepulangannya ke Dubai. Kayla sengaja menghindar dan tidak pamit dengan mereka semua. Terlalu lama berada di sana hanya akan membuat luka yang di hati Kayla menganga semakin lebar.
**
Tiga bulan kemudian...
Gadis, Dewa dan Beverly baru saja kembali dari China. Perjalanan mereka dimaksudkan untuk membalas dendam kepada seorang mafia bernama Wang. Beverly terpaksa ikut karena Gadis dan Dewa kekurangan personil dalam penyerbuan kali ini. Kedatangan mereka bertiga disambut hangat oleh Elsa dan Freddy, juga Brooklyn.
Sejak kejadian tiga bulan lalu, Brook memang sengaja menetap di kediaman Freddy. Selain demi bisa bersama Elsa, Brook juga meyakinkan Freddy agar ia bisa menemani Elsa selama Freddy bertugas di luar kota.
Elsa tidak keberatan. Meskipun awalnya ia memang menolak mentah-mentah degan usulan Brooklyn. Namun belakangan, karena lelah dituntut memaafkan Brooklyn Elsa akhirnya mengalah.
Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan Elsa agar mau memaafkannya. Segala upaya telah ia lakukan demi mendaat ampun dari wanita pujaannya itu. Brooklyn tidak pernah sekali pun menyerah. Ia hampir melakukan apa saja asal Elsa mau memaafkannya. Asalkan tidak ada hubungannya dengan Elsa.
Namun belakangan, Brook mulai bosan dengan Elsa yang selalu menuntutnya untuk menemui Kayla. Brook bosan mendengar nama Kayla disebut di mana-mana. Brook juga bosan dengan aroma gadis itu yang masih saja memenuhi indra penciumannya padahal mereka suda terpisah selama tiga bulan lamanya.
"Brook, bisa kau ambilkan air untukku?" masih dengan mata terpejam, Elsa mengangkat sedikit tangannya.
"Ssstttt... diamlah di sana. Aku akan mengambilkannya untukmu."
"Terima kasih." Ujar Elsa.
Brook membantunya menegak air minum itu dengan susah payah. Keadaan Elsa sungguh sangat buruk. Sejak dokter mengatakan dia hamil, Elsa seolah kehilangan kekuatannya untuk hidup normal. Selama ini, ia hanya terbaring lemah di atas ranjang. Mual dan pusing selalu menjadi teman setianya.
"Brook..." gumam Elsa lagi.
"Ya? Aku di sini, Sayang."
"Apa Freddy belum pulang?"
"Belum. Mungkin satu atau dua jam lagi."
"Baguslah."
"Kenapa?"
"Aku merindukannya, Brook. kurasa anak ini merindukan ayahnya."
Jantung Brook mencelus mendengar itu. Elsa selalu bisa membuatnya jungkir-balik. Jatuh cinta dan juga patah hati di waktu yang bersamaan. Brook bahkan tidak bisa membayangkan hidup terpisah dari Elsa.
Ia rela berbagi cinta dengan pria mana pun asalkan bisa terus bersama Elsa. Seperti sekarang.
"Brook, bagaimana jika aku tidak bisa bertahan?"
"Apa maksudmu?!" sentak Brook tidak terima. Baginya, Elsa adalah wanita yang sangat tangguh. Mustahil sekali jika karena kehamilannya Elsa akan mengalami hal buruk. Lagipula, jika hal itu sampai terjadi, Brook tidak akan pernah memaafkan Freedy yang telah membenamkan benihnya di rahim Elsa.
"Aku merasa sangat berbeda, Brook. Tidakkah kau tahu itu? Aku merasa jauh lebih lemah daripada kehamilan sebelumnya. Aku tidak yakin aku akan bertahan-"
"Hentikan, Elsa! Aku tidak mau mendengar omong kosongmu!"
"Aku serius, Brooklyn. Aku pasti,"
"Kumohon jangan katakana itu. Kau harus bertahan. Apa pun yang terjadi. Aku rela melakukan apa saja asalkan kau mau bertahan. Kumohon, bertahanlah demi aku. Demi Freddy juga."
"Apapun?"
"Ya. Apapun. Kau harus kuat!"
"Aku punya satu permintaan."
"Apa? Katakan saja," ucap Brook tulus. Senyum di bibirnya tumbuh ketika senyuman Elsa menyapanya dengan hangat.
"Temui Kayla."