Bab 5 | Pengakuan Mengejutkan

1995 Words
-Pagi, Pak Sakha.- -Iya, sudah terima e-mail dari saya? Maaf saya memperpanjang cuti.- -Ok. All good, ya Pak. Thank you.- -Dinas ke Bali, Pak? Oh itu, hotel dan pesawat sudah clear ya, Pak. Detailnya sudah saya e-mail sebelum saya cuti, Pak- -Ok. Pak. Have a good day.- Saki baru saja selesai mandi dan menerima telpon dari bosnya. Dia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tadi setelah sarapan dan obrolan yang tidak dimengerti itu, Saki memilih kembali ke kamar untuk mandi dan Dipta mengiyakan karena pria itu juga beranjak ke kamarnya. Dia harus pulang ke apartemennya untuk mengambil beberapa baju, tab dan laptop kantor juga masih ada di sana. Saat dia keluar kamar, dia juga melihat Dipta keluar kamar, pria itu juga sepertinya habis mandi. “Mas … Aku mau ke apartemen mengambil barang-barang ya.” Ucap Saki. “Oke, Ayo. Sekalian belanja, aku jarang menyetok makanan. Biasanya delivery.” Ucap Dipta yang mengambil kunci mobil di atas meja ruang tamu. Padahal tadi kan Saki hanya ijin mau pergi, kenapa pria itu juga ikut? Iya si, semalam pria itu mengatakan akan mengantarnya ke apartemen. “Aku lebih sering masak.” Ucap Saki jujur, karena dia lebih puas memakan masakannya sendiri. “Good then. Hidupku bisa jadi lebih sehat jika kamu bersedia membagi masakanmu denganku.” Ucap Dipta membuat Saki terkekeh dan mengangguk. Tentu dia akan membagikannya kepada Dipta dengan sukarela selama pria itu masih berstatus suaminya. “Ayo, mumpung masih pagi. Aku nanti harus ke kantor siang karena ada meeting.” Ucap Dipta saat mereka keluar dari apartemen. Saki jadi bertanya-tanya. Jika pria itu menikah dengan Putri, akankah pria itu tetap ke kantor untuk pergi meeting? Seharusnya mereka telah menjadwalkan honey moon kan? 'Ah, persetan dengan itu, Saki. Bukan urusanmu!' Saki menggerutu dalam hati. “Kamu bekerja di bagian apa, Mas?” Tanya Saki basa-basi, padahal ya jelas tau sebagai keturunan keluarga kaya raya, pria itu pasti memiliki posisi tinggi. “Aku di Project Manager. Bulan ini ada project baru dan masih mencari beberapa investor lagi. Jadi sedikit sibuk.” Ucap Dipta santai, Saki mengangguk. Mengetahui banyak tentang hal tersebut karena dia juga bekerja mengurus hal-hal tersebut “Sudah lama bekerja di tempatmu yang sekarang?” Tanya Dipta lagi, membuat Saki mengangguk. “Sejak lulus kuliah. Dulu awalnya jadi sekertaris site manager, lalu dua tahun kemudian menjadi sekertaris direktur hingga saat ini.” Ucap Saki membuat Dipta mengangguk-angguk paham. “Mas Dipta sudah lama kenal dengan Putri?” Tanya Saki penasaran, karena dirinya memang tidak dekat dengan Putri. Putri selalu menganggap dia adalah rivalnya, orang yang merebut kasih sayang ayahnya. Orang miskin yang seharusnya tidak menikmati semua kekayaan orang tuanya. “Tiga tahun.” Ucap Dipta singkat membuat Saki mengangguk-angguk, dia ingin bertanya lebih lanjut tentang apakah Dipta memiliki kemungkinan tentang alasan Putri kabur? Namun dia tau diri tidak ingin mengorek luka lama pria itu. “Kamu sudah lama dong tinggal di Jakarta?” Dipta kembali bertanya, kini mereka berjalan menuju parkiran. “Dari lulus SMA aku kuliah di Jakarta, Mas.” “Oh iya? Sejak SMA kamu sudah merantau ke Jakarta?” Tanya Dipta tertarik, Saki hanya tersenyum. “Iya, Mas.” “Aku kenal dengan Putri juga di Jakarta, padahal kalian sama-sama tinggal di Jakarta, tapi Putri tidak pernah membicarakan tentang kamu atau mengenalkanmu padaku.” Dipta terlihat menautkan kedua alisnya. “Iya, karena aku cukup sibuk, Mas. Masih meniti karir jadi tidak mau ambil cuti. Jadwal kita tidak pernah bertemu.” Saki menjawabnya standar, Dipta mengangguk sebagai tanda paham. Walau dalam hati, pria itu bertanya-tanya, kenapa Putri tidak pernah membahas sedikit pun tentang Saki bahkan mengenalkannya sebagai sepupunya walau sekedar di mulut tanpa harus bertemu? Mereka sudah tiba di apartemen Saki. Saki mencoba melepas seatbelt-nya, tapi kenapa macet? “Ada apa?” Tanya Dipta yang melihat Saki kesusahan. “Tidak apa-apa, sebentar, Mas.” Saki masih mencoba melepaskan seatbelt-nya. “Biar aku bantu.” Ucap Dipta, membuat Saki menggeleng dan menahan tangan pria itu. “Aku coba lagi.” Ucap Saki dengan senyumnya, dia tidak ingin pria itu berpikir jika dia mengambil kesempatan seperti drama-drama picisan yang menggelikan di mana untuk menarik perhatian si pria, sang wanita dengan pura-pura kesulitan membuka seatbelt. Dipta membiarkan, namun dia memang tau seatbelt itu kadang-kadang macet. “Tidak apa-apa, aku bantu.” Ucap Dipta, membuat Saki menahan lengan Dipta untuk yang kedua kalinya. “Mas, sumpah, ini seatbelt-nya memang macet. Aku tidak ada maksud apa-apa.” Ucap Saki yang langsung dimengerti Dipta. Pria itu mengulum senyum. Wanita ini memang dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif di kepalanya, padahal Dipta tidak memikirkan itu. Wangi parfum Dipta langsung menusuk hidungnya, wangi yang memabukkan dan begitu manis, Saki menyukai wangi pria itu. Sial! Kenapa adegannya benar-benar seperti di drama yang Saki tonton! Dipta pasti sudah berpikir jika dia memang tipe sekertaris gatel yang mencoba mencari kesempatan untuk bisa menggodanya. 'Duh! Kenapa harus macet, si? Seatbelt sialan!' Saki kembali menggerutu dalam hati. “Aku tau. Seatbelt ini memang sering macet. Sudah dari bulan lalu mau aku service tapi masih belum sempat.” Ucapan Dipta membuat Saki bernapas lega dan mengangguk. Ternyata tidak seperti yang Saki pikirkan. “Dia harus ditekan lebih kuat baru bisa terlepas.” Ucap Dipta yang berhasil melepas seatbelt itu. Pria itu sempat memandangnya, dan tersenyum, wajahnya begitu dekat hingga Saki harus menahan napasnya. “Ayo keluar.” Ucap Dipta membuat Saki hanya mengangguk kaku dengan jantungnya yang berdegup kencang. Pria itu selalu tiba-tiba, seperti saat malam pengantin mereka yang tanpa aba-aba membantu Saki melepas wedding veil tanpa aada rasa sungkan, seolah mereka telah mengenal lama. “Lantai berapa?” Tanya Dipta saat mereka masuk lift, Saki mengambil kartu aksesnya lalu menekan tombol 22. Berbeda dengan apartemen Dipta, apartemen Saki masih menggunakan kunci manual. Bukan smart lock door. Hanya ada satu kamar tidur, lalu dapur dan ruang tamu yang tidak memiliki sekat. Ada sofa memanjang dan juga tivi di sana, kesan pertama Dipta adalah wanita itu rapi dan menyukai keindahan. Semua perabotnya senada warnanya. Perpaduan putih dan cream. Rapi dan sangat bersih. “Mas, sepertinya aku akan lama, kalo mau kamu tinggal tidak apa-apa, nanti aku bisa kembali ke apartemenmu sendiri atau kamu bisa menjemputku.” Ucap Saki yang merasa sungkan. Dipta justru beranjak menuju sofa cream di sana. “Tidak apa-apa, aku tunggu saja. Atau ada yang bisa aku bantu?” Tanya Dipta, membuat Saki langsung menggeleng. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan, sebenarnya dia lumayan lapar. Tapi nanti saja lah, dia akan mengemas baju-bajunya dengan cepat dan membawa barang-barang yang perlu dia bawa. “Oke deh. Aku akan melakukannya dengan cepat.” “Santai saja.” Dipta memilih menyalakan tv dan bersantai sejenak, walau pikirannya ke mana-mana. Kembali melihat secara menyeluruh ruangan itu. Tidak banyak foto wanita itu. Hanya ada foto wisuda, namun tidak ada keluarga dari Pakde dan Budenya itu. Semua fotonya bersama teman-teman wanita itu. Apakah Pakde dan Budenya tidak datang ke acara wisudanya? Ada beberapa foto wanita itu dengan teman-temannya di acara gathering kantor. Dipta seperti mengingat satu hal. Wanita itu apakah memiliki kekasih? Jika iya, bagaimana wanita itu menghadapi kekasihnya? Sedang kini statusnya telah berubah menjadi seorang istri. Saki keluar dari kamar tiga puluh menit kemudian. “Mas, lapar tidak?” Tanya Saki yang membuat Dipta yang rebahan di sofa langsung beranjak. “Lumayan.” Ucap Dipta jujur. “Aku buatkan nasi goreng ya. Sepertinya aku masih ada stok nasi di kulkas.” Ucap Saki yang kini membuka kulkasnya. “Kamu stok nasi?” Dipta bingung, baru kali ini dengar ada orang yang stok nasi. “Iya, aku membekukan nasinya, aku baca-baca itu bisa mengurangi kadar gulanya juga. Aku panaskan dulu ya sambil menyiapkan bumbunya.” Ucap Saki dan kini Dipta justru tertarik melihat wanita itu yang memasak. Dia sudah duduk di stool bar, bisa memperhatikan dengan jelas bagaimana Saki yang cekatan menyiapkan bumbu-bumbunya. “Ya Allah. Aku lupa menawarkanmu minuman. Kamu mau minum apa, Mas?” Saki wajahnya berubah tidak enak, namun Dipta justru tersenyum. Wanita ini dipenuhi dengan kekhawatiran dan perasaan tidak enak. “Santai saja. Tadi kan aku sudah ngeteh pagi.” “Ada soda di kulkas, ambil saja ya, Mas.” Dipta hanya mengangguk, dia menyangga kepalanya dengan tangan, masih memperhatikan Saki yang sibuk memotong sayuran dan juga ayam fillet sebagai topping. Wangi bumbu yang telah ditumis oleh wanita itu membuat perut Dipta langsung keroncongan. Sumpah itu wanginya sangat nikmat. Dipta jadi membayangkan rasanya, pasti sangat enak. Makan di ruang tamu dan lesehan tidak pernah Dipta lakukan, namun kini dia melakukannya, karena apartemen Saki tidak memiliki meja makan, dan hanya ada meja di ruang tamu yang beralaskan karpet. Tapi, tidak terlalu buruk juga, wanita itu mengambilkan air dingin di kulkas, lalu dua gelas kosong dan juga setoples kerupuk udang. “Ah, aku sudah membayangkan ini sejak pagi. Lapar sekali.” Ucap Saki yang langsung menikmati nasi gorengnya, pun dengan Dipta yang menyuapkan nasi goreng itu. Rasanya? Jangan ditanya! Dipta akan mengingatnya dengan baik dan menjadikan itu nasi goreng terenak yang pernah di makan! Mengalahkan restoran bintang lima yang menjadi langganannya makan nasi goreng! “Kenapa bisa seenak ini?” Tanya Dipta masih dengan tatapan takjubnya, sedang Saki hanya tersenyum dengan wajah yang sedikit memerah. “Syukurlah jika Mas Dipta suka. Aku bisa membuatkannya selagi Mas Dipta menginginkannya.” “Oke. Aku tagih ke depannya.” Ucap Dipta mengambil kerupuk udang yang membuat nasi gorengnya terasa semakin nikmat. Saki yang mendengar itu terkekeh dan mengangguk. Mereka keluar dari apartemen setelah makan, lanjut berbelanja seperti ucapan Dipta. Di parkiran Dipta justru bertemu dengan temannya. Mereka berbasa-basi seperti biasa, hingga pria itu menanyakan siapa dirinya kepada Dipta. Dipta menoleh sejenak kepada Saki yang masih berdiri di sampingnya. Saki berpikir pria itu pasti enggan mengakuinya karena tiga tahun hubungan pria itu dengan Putri pasti telah diketahui oleh teman-teman pria itu. Namun, tanpa diduga pria itu menggenggam tangannya. “Kenalin, Bro. Ini Saki, istri gue.” Ucap Dipta yang membuat Saki menatap tidak percaya pada pria itu. Kenapa pria itu begitu ringan mengungkapkan statusnya? Bukankah lebih baik pernikahan mereka dirahasiakan agar lebih mudah bagi pria itu saat harus kembali pada Putri? “Ha? Yang bener lu? Bukannya kemarin lu mau nikah sama Putri, ya? Kok berubah?” Tanya pria di depannya dengan raut bingung. “Namanya juga jodoh, Bim. Gue udah putus sama Putri dan yakin nikah sama Saki. So, jangan bawa-bawa Putri lagi depan istri gue.” “Oke. Oke. Sorry ya Saki. Ngga ada maksud, cuma lumayan kaget aja. Kenalin gue Bima, sekantor sama Dipta.” “Hai, Mas Bima. Saya Saki.” “Cabut dulu, bro.” Ucap Dipta lalu membukakan pintu untuk Saki. Saki merasa gugup dan menatap Dipta lekat saat pria itu sudah melajukan mobilnya meninggalkan parkiran apartemen. Pria ini semakin aneh dan sulit ditebak. Mau dibawa ke mana sebenarnya pernikahan mereka yang tidak memiliki tujuan ini? “Mas … Kenapa mengatakan itu pada teman kamu?” “Itu apa?” “Jika aku istrimu.” Ucap Saki menatap penuh tanya pada Dipta, Dipta justru terkekeh. “Ya kan memang itu faktanya, kamu istriku. Lalu apa yang harus aku sangkal?” “Tapi, bukankah lebih baik kamu tidak perlu mengatakannya, agar saat nanti kamu kembali pada Putri, kamu tidak perlu lagi menjelaskan tentang hubungan kita pada teman-teman kamu.” Ucap Saki dalam satu tarikan napas, menunggu jawaban Dipta yang dia harap tidak lagi ambigu. “Memang siapa yang mau kembali dengan Putri?” Dipta menatapnya dengan kedua alis yang bertaut. “Memang kamu tidak mau kembali pada Putri? Kenapa? Kalian sudah lama menjalin hubungan. Saling mencintai, kepergian Putri mungkin memiliki alasannya, dan mungkin saat dia menjelaskan alasannya, kamu bisa mengerti dirinya di kemudian hari.” Ucap Saki mengungkapkan semua hal yang ada di hatinya. Dipta menatap lekat pada wanita yang kini menjadi istrinya saat lampu lalu lintas merah. “Memang kenapa aku harus kembali dengan Putri?” Sekali lagi, Dipta melempar pertanyaan balik kepada Saki, yang membuat lidah wanita itu kelu. Pria itu kenapa rumit sekali? Saki tidak memahaminya sedikit pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD