Bab 6 | Kamu Punya Kekasih?

1424 Words
Dipta pergi ke kantor setelah makan siang. Tadi mereka memutuskan mampir ke restoran padang setelah groceries, lalu mengantar Saki pulang dan dirinya bersiap-siap. Sedang Saki memilih mengerjakan pekerjaan yang bisa dia kerjakan dari rumah. Juga mengatakan kepada Pak Sakha jika dia stand by dari rumah. Jaga-jaga jika pria itu membutuhkannya. Saki mengecek email-email yang masuk, membalas email-email tersebut sesuai dengan hal yang telah dia diskusikan sebelumnya dengan bosnya, dan meminta beberapa dari mereka menunggu saat bosnya belum mengambil keputusan. Dia mengecek kembali jadwal Sakha untuk dua minggu ke depan, sebelum bulan berganti. Bosnya itu akan memiliki dinas ke Bandung dua kali dan ke Banjarmasin sekali. Ada meeting dengan para investor untuk project baru bulan depan. Ada project apartemen baru juga yang pasti akan sangat menyita waktunya dan membuatnya sibuk. Saat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Saki memilih menutup laptopnya. Sebenarnya kantornya selesai pukul empat sore, namun biasanya Sakha baru akan beranjak jam lima sore, jadi Saki stand by hingga jam lima sore. Saki membuka kulkas dengan wajah yang berbinar, melihat kulkas milik Dipta yang telah terisi penuh dengan bahan-bahan masakan. Dia selalu menyukai energi itu. Melihat kulkas yang penuh dan berwarna-warni, Saki tidak sabar untuk segera mengeksekusinya. Melihat bahan-bahan itu sambil berpikir apa yang bisa dia masak untuk makan malamnya. Namun dia kembali ke ruang tamu di mana dia meninggalkan ponselnya. -Mas, ada sesuatu yang kamu inginkan untuk makan malam?- Saki mengirimkan pesan itu, tidak lama ponselnya kembali berdenting. -Apa saja yang kamu masak.- -Oke deh.- Saki akhirnya memutuskan untuk membuat tumis pakcoy bawang putih dan juga udang crispy yang baru di belinya tadi. Memasak nasi, menumis dan menggoreng udang dia lakukan kurang lebih satu jam. Semua sudah siap di meja makan menjelang maghrib. Saki memilih untuk mandi dan menunggu maghrib. Mungkin Dipta pulang habis maghrib. Dia tidak ingin bertanya. Dipta masih belum datang sampai menjelang Isya. Pria itu benar-benar sibuk sepertinya, bahkan setelah H+1 pernikahan masih lembur di kantornya. Saki masih bertahan untuk tidak menanyakan jam berapa pria itu pulang. Dia memilih scroll instagramnya, membuka profil i********: Putri berharap menemukan petunjuk atas kepergian wanita itu. Keningnya mengernyit bingung, seingatnya postingan terakhir yang dia lihat bulan lalu adalah foto pertunangan wanita itu dengan Dipta, namun kini foto itu menghilang, dan hanya menyisakan foto satu tahun lalu, foto-fotonya dengan Dipta juga sudah hilang. Ada apa sebenarnya dengan Putri? Bagaimana bisa dia meninggalkan laki-laki seperti Dipta yang hidupnya begitu cemerlang dalam segala aspek kehidupan. Tampan, mapan, rupawan, penuh perhatian. Saki bahkan bisa merasakan pria itu baik dan cukup perhatian, padahal mereka baru mengenal tidak lebih dari dua puluh empat jam. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Telepon dari Budenya, semenjak dia merantau ke Jakarta, bisa dihitung dengan jari budenya itu menelpon. Kini budenya itu menelpon, pasti ingin menanyakan tentang Dipta. -Assalamualaikum, Bude.- Salam Saki setelah menyiapkan hati untuk menjawabnya. -Waalaikumsalam.- Nada suara di sana terdengar sangat ketus. -Bagaimana Dipta? Bude tau dia memang sangat baik dan menjadi incaran semua wanita. Tapi ingat, Saki! Kamu dilarang jatuh cinta! Dia hanya milik Putri dan Putri hanya menitipkannya padamu! Ingat itu!- -I..ya … Bude. Saki mengingatnya. Apakah sudah ada titik terang di mana Putri, Bude?- -Tidak usah kepo kamu! Ingat! Jangan jatuh cinta pada Dipta! Kamu tidak pantas untuknya! Kamu hanya gembel jika saya tidak mengangkat kamu sebagai anak!- Sekali lagi ucapan menyakitkan dan merendahkan itu mengusik hati Saki, mengantarkan luka lama yang kembali naik ke permukaan. Seharusnya dia sudah biasa dengan semua itu, dia telah menghadapi tabiat Budenya selama dua puluh tahun lebih, namun kenapa kata-kata kasar itu masih membekas dan meninggalkan luka yang sama? Panggilan sudah dimatikan. Bertepatan dengan itu, Saki mendengar Dipta yang mengucap salam dan memanggilnya. Membuat Saki langsung keluar kamar masih memakai mukenanya. “Hai, Mas. Sudah pulang?” “Hmm. Aku mandi dulu ya. Kamu masak apa jadinya?” “Tumis pakcoy bawang putih dan udang crsipy.” “Oke, keliatannya enak. Kita solat Isya berjamaah sekalian ya. Mihrabnya di sini, Saki.” Ucap Dipta menuju ke sekat yang berukuran sekitar dua meter, ruang yang tertutup dengan pintu seperti dinding kayu panel itu berada persis di sebelah kamar pria itu, yang ternyata langsung menghadap ke city view dengan dinding yang full kaca. Saki sampai menganga, indah sekali pemandangan itu, apalagi Dipta menjadikan tempat itu sebagai mihrab, seolah tempat paling indah di apartemen itu memang dipersembahkan sebagai tempat untuk menghadap Allah. “Mas ini indah sekali.” “Iya, kamu bisa berlama-lama di sini setelah beribadah. Nikmat rasanya, Saki.” Ucap Dipta dengan senyum yang indah, rasanya itu senyum paling jelas yang Saki lihat sejak dua puluh empat jam terakhir bersama pria itu. Sebelumnya Dipta hanya tersenyum tipis bahkan samar. Saki sudah menunggu Dipta untuk mengimaminya solat Isya. Adzan juga sudah berkumandang yang dia dengar di ponselnya. Dipta datang sudah memakai sarungnya juga peci yang membuat penampilannya terlihat berbeda, yang membuat Saki lebih terkejut lagi adalah bacaan pria itu yang indah, dengan suaranya yang merdu, tartil dan tajwidnya jelas, membuat Saki meneteskan air matanya. Dipta yang terlihat perlente dari luar ternyata juga mampu menjadi imam yang baik. “Assalamualaikum warahmatullah.” “Assalamualaikum warahmatullah.” Saki lalu mendekat pada Dipta dan mengulurkan tangannya, membuat Dipta menyambut uluran tangan itu dan mengusap lembut puncak kepala Saki yang masih menggunakan mukena. “Ayo makan, aku lapar.” Ajak Dipta membuat Saki mengangguk lalu memilih kembali ke kamarnya dulu. “Kamu bisa taro mukenanya di sini, Saki.” “Iya, Mas. Di kamar saja, aku tidak memakai hijab.” Ucap Saki yang langsung lari ke kamarnya, membuat Dipta hanya mengulum senyumnya dan membiarkan wanita itu yang masih enggan membuka hijab di depannya. Enak! Tiga kali dia makan masakan yang dibuat oleh wanita itu. Semuanya sangat enak! Rasanya dia bisa memiliki perbaikan gizi jika tinggal dengan Saki. Selama ini dia makan apa adanya, yang penting perutnya terisi. Lebih sering makan junk food, atau jika food delivery juga bukan makanan yang memiliki sayur. Namun baru sehari dengan Saki, rasanya semua gizinya terpenuhi. “Kamu menjabat sebagai sekertaris artinya sering ikut dinas juga ke luar kota?” Tanya Dipta memulai obrolan. “Tergantung. Pak Satya juga memiliki personal assistant. Biasanya dia yang me-handle tugas dinas dan aku hanya akan menyusun jadwalnya juga mengurus meeting yang bisa aku wakilkan jika beliau berhalangan hadir. Jadi aku jarang ikut keluar kota, hanya beberapa kali jika memang dibutuhkan.” Dipta mengangguk-angguk mendengar jawaban Saki. “Mas sudah lama menjabat sebagai Project Manager?” Kini Saki yang ganti bertanya. “Tiga tahun ini. Sekali pun aku bagian dari keluarga Danadyaksa, namun semua orang di keluargaku harus merangkak dari bawah dan menunjukkan kemampuannya sebelum akhirnya dipercaya untuk bisa menduduki jabatan direktur. Kami juga mengejar jenjang karir kami, dan hanya yang layak yang memiliki kemampuan yang bisa memiliki jabatan tinggi.” Dipta menjelaskan tanpa diminta, dan Saki cukup takjub dengan sistem yang diterapkan oleh keluarga suaminya itu. “Kamu ke kantor jam berapa?” Tanya Dipta yang sudah menikmati makan malamnya. “Jam tujuh, Mas. Mas sendiri jam berapa?” “Jam delapan. Kantor kamu di mana?” Tanya Dipta lagi. “Di Kebon Jeruk. Kalo Mas?” Saki selalu membalikkan pertanyaan, membuat Dipta mengulum senyumnya. “Di Sudirman. Besok aku antar.” Ucap Dipta membuat Saki langsung menggeleng. “Tidak usah, Mas. Aku naik transum saja. Jika kamu mengantarku mungkin kamu harus berangkat jam enam, padahal kan kamu bisa berangkat jam setengah delapan karena kita tinggal di Sudirman dan kantor kamu di Sudirman. Tidak apa-apa, aku biasa naik transum kok.” Ucap Saki dengan tatapan yang khawatir dan tidak enak. Sekali lagi Dipta melihat raut wajah itu, membuatnya kembali tersenyum dalam hati. Wanita ini benar-benar terbiasa apa-apa sendiri sepertinya. Perasaan tidak enak dan sungkannya sangat besar. Padahal biasanya Putri selalu manja memintanya diantar kemana-mana. 'Dipta! Berhenti membandingkan!' Dipta membatin dalam hati dengan geraman kesal. “Tidak apa-apa. Besok aku antar. Aku akan siap juga jam enam pagi.” Ucap Dipta kembali menyantap makanannya, membuat Saki menggigit bibirnya bingung. Dia sangat tidak enak pada Dipta. Dipta harus bolak-balik jika harus mengantarnya. “Saki …” Panggil Dipta yang kini menatap serius pada Saki. “Aku lupa menanyakan ini …” “Menanyakan apa, Mas?” Tanya Saki menunggu pertanyaan Dipta, apalagi tatapan pria itu begitu serius. “Apa kamu memiliki kekasih saat memutuskan menerima permintaan keluargamu untuk menikah denganku?” Dipta menatapnya dengan menuntut jawab, dia melihat Saki yang terdiam, seolah tidak menyangka dengan pertanyaan Dipta, mata wanita itu bahkan mengerjap-ngerjap. “Ke..kasih?” Tanya Saki dengan lidah yang kelu. Dipta mengangguk dan masih menunggu jawabannya. Kenapa begitu berat bagi wanita itu untuk menjawab pertanyaannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD