TWO

2857 Words
                Pemakaman ayah baru saja selesai dilaksanakan. Albert, Wafda dan juga salah satu adik ayah yang mengantarkan ayah ke persemayamannya. Tangis penuh kesedihan dari ibu, Aira dan juga anggota keluarga lainnya sangat terdengar ketika jasad ayah di kebumikan. Ayah benar-benar sosok yang takkan mungkin terlupakan. Mungkin jika bukan terlahir sebagai manusia ayah pasti sudah dijadikan Tuhan sebagai salah satu malaikatnya yang sangat baik. Bahkan sebagai manusia saja, hatinya bagaikan malaikat. Ia juga rela berkorban untuk keluarganya.                 Lelaki paruh baya yang baik hati itu adalah sosok idaman yang selalu dirindukan dan diidolakan. Bahkan jika mungkin ayah bisa diduplikat menjadi lelaki yang lain, Aira ingin sosok sepertinya yang nanti akan mendampingi hidupnya. Laki-laki dengan tutur kata yang santun, berkepribadian baik, suka menolong, pintar, pekerja keras dan rela membela keluarganya. Sosok lelaki sempurna yang menjadi menantu idaman setiap mertua yang menginginkan untuk meminang anak gadis mereka. Begitupun dengan ibu yang selalu menginginkan Aira, anak perempuan satu-satunya bisa mendapatkan sosok lelaki seperti ayah yang selalu bisa memberikan kasih sayang dan melindunginya dengan baik.                 Selesai berdoa dan acara penaburan bunga di atas makam ayahnya. Seluruh keluarga dan kolega yang turut mengantarkan ayah ke peristirahatan terakhirnya satu per satu pulang. Bisa dibilang banyak sekali yang melayat dan menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga. Ibu dan keluarga bahkan sangat bersyukur karna banyak sekali yang turut mendoakan ayah dan ikut mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya.                      Sesampainya di rumah, Aira diantarkan seorang sepupunya dan Wafda ke kamarnya. Wafda tak henti-hentinya mendampingi Aira dan berdiri di samping wanita itu, menggenggam tangannya dengan sangat lembut dan memperlakukannya dengan sangat baik. Lelaki itu sudah berjanji untuk menemaninya selama berada di Semarang. Aira dan Wafda bahkan sangat cocok bersama. Beberapa orang mengenali wajahnya tapi tak mengganggunya selama di sana, mereka benar-benar mengerti jika sekarang keluarga Aira sedang dalam keadaan berkabung dan butuh ketenangan.                   Wafda meminta sepupu Aira untuk meninggalkan mereka berdua di kamar dan saling berbicara. Aya, sepupu Aira yang mengantarkannya kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan permintaan Wafda untuk berbicara dengan Aira yang baru saja kehilangan ayahnya. Aya juga bahkan menyebut ayah Aira dengan sebutan Pakde. Ia juga ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Aira saat ini. Pakde yang menjadi panutannya juga kini telah berpulang dan ia termasuk salah satu keponakan yang sangat bersedih dengan kepergian pakdenya itu. Wafda kemudian menarik sebuah kursi untuk ia taruh di sebelah ranjang yang Aira tempati. “Kamu makan ya, Ra.” Kata Wafda membujuk Aira agar wanita itu mau makan.                 Karna sejak semalam mereka berdua bertemu, Wafda masih belum melihat Aira makan. Biarpun sedih tapi wanita itu harus mendapatkan asupan gizi yang baik juga. Jangan terlalu terlarut dengan kesedihannya.                   Aira hanya menggeleng sambil sesekali menyeka air matanya yang masih turun dari matanya. Pipinya sudah basah karna derasnya air mata yang turun. Bahkan matanya sudah bengkak akibat tak henti-hentinya wanita itu menangis. “Kamu harus ikhlasin Ra. Ayah udah ga sakit lagi sekarang.” Kata Wafda sambil menggenggam tangannya dan mengelus pucuk kepala Aira dengan sangat lembut.   “Ini terlalu mendadak buat aku, aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal padanya. Aku juga belum bisa memberikan kebahagiaan padanya. Dia belum melihatku menikah, Wafd.” Katanya sambil menangis. “Ya aku ngerti Ra. Tapi aku rasa ayah sudah bangga dan sangat bahagia melihat kamu sekarang, dengan karir kamu yang sedang menanjak ini. Ia juga pasti bahagia dan bangga melihat bang Albert dan mba Lia sedang bahagia. Sudah ya nangisnya, kasian ayah kalau kamu begini. Kamu juga harus melanjutkan kehidupan kamu. Ayah sudah bahagia di sana.”  Ujar Wafda sambil berusaha tersenyum tipis untuk menghibur Aira. “Iya, terima kasih.” Ucap Aira dan berusaha tersenyum di tengah kesedihannya.   * * * * * *                       Semenjak kepergian ayahnya, Aira lebih pendiem dan lebih jarang keluar rumah. Benar-benar hanya untuk urusan pekerjaan saja ia lakukan di luar rumah, itupun jika tidak terpaksa sekali Aira akan senang untuk melakukannya di rumah. Ibunya juga sudah diminta Albert untuk pindah ke Jakarta. Tapi ibunya masih menginginkan untuk tinggal di Semarang dan akan memikirikan untuk pindah ke Jakarta atau tidak. Albert, Lia dan Aira memahami kondisi ibunya yang masih terpukul dengan kepergian sang ayah. Namun mereka berusaha untuk selalu menghubungi ibunya untuk mengetahui kabarnya. Walaupun di rumahnya ibu tidak sendiri, tapi Aira dan Albert sangat ingin ibunya ada di sisi mereka.                     Hubungan Aira dan Wafdapun semakin dekat. Jika mereka ingin bertemu, Aira menyuruhnya untuk datang ke rumah. Selain demi menghindari wartawan dan paparazi, mereka juga menghindari keramaian. Walapun belum resmi sebagai sepasang kekasih, mereka sudah sangat dekat. Beberapa orang wartawan sudah mempunyai foto ketika mereka sedang bersama. Sudah ada yang menghubungi Wafda untuk mengkonfirmasi hubungan mereka. Tapi Wafda masih enggan untuk mengkonfirmasinya. Wafda juga tidak mau Aira terbawa-bawa. Ia masih takut jika Aira malah jadi menjaga jarak dengannya lalu ia bisa kehilangan Aira. Itu sama sekali bukan hal yang ia inginkan. Apalagi launching novelnya sebentar lagi, Wafda tak mau membuat wanita itu jadi banyak fikiran. “Hai,” kata Wafda begitu sampai di depan pintu rumah Aira. “Hai,” balas Aira dengan senyum manisnya, kemudian mempersilahkan lelaki tampan itu untuk masuk.                 Aira menyuruhnya untuk duduk di meja ruang TV. Di sana sudah ada Albert dan Lia yang juga sedang menonton TV. Kemudian Aira mengambilkan 5u5u coklat hangat kesukannya kemudian memberikannya juga kepada Wafda. Di luar sedang hujan jadi lebih baik menyuguhkannya segelas 5u5u coklat, agar ia tetap hangat. Kebetulan mereka semua menunggu Wafda untuk makan malam juga. “Hai Bang, Mba.” Sapa Wafda ketika bertemu dengan Albert dan Lia. “Udah dateng lo?” Albert tersenyum. “Iya Bang. Tadi abis shooting video clip jadi malem begini datengnya. Maaf ya.” Kata Wafda melontarkan kata maafnya pada kaka dari wanita yang sedang dekat dengannya. “Di mana? Emang udah mau ngeluarin album lagi?” tanya Lia kini ikut nimbrung dengan pembicaraan suami dan juga teman adiknya itu. “Iya Mba, bulan depan juga. Mudah-mudahan sih ga sama tanggalnya jadi masih bisa dateng ke acara launching novelnya Aira,” ujar lelaki itu tersenyum. “Nih, 5u5unya.” Kata Aira sambil memberikan segelas 5u5u coklat hangat buatannya. “Makasih Ra,” menerima suguhan 5u5u coklat dari Aira dan tersenyum.                 Tak lupa ia memandang Aira sebentar sambil menyeruput sedikit demi sedikit 5u5u hangat yang dibuatkan Aira. “Ra, ditanyain mamah. Katanya bisa makan malam ga minggu ini?” kata Wafda setelah menghabiskan 5u5u coklatnya. “Belum tau. Aku masih malas keluar. Tapi kalau memang mamah kamu nyuruh aku datang, aku akan datang.” Katanya sambil duduk bersandar di sofa di sebelah Wafda. “Gitu dong,” kata Wafda sambil menyentuh sayang hidung Aira.                 Pipi Aira langsung memerah. “Non makananya udah siap.” Kata bi Siti memberitahu. “Makasih ya Bi.” Ucap Lia kemudian tersenyum.                 Bi Siti mengangguk lalu kembali ke dapur. “Yuk makan dulu,” ajak Albert kepada Aira dan Wafda yang duduk berbeda sofa dengannya.   * * * * * *                                 Setelah mereka semua selesai makan. Wafda dan Aira duduk kembali di ruang TV. Mereka berdua di sana mengobrol sambil sesekali menonton TV yang menyiarkan drama Korea yang hadir setiap seminggu sekali. Wafda memang ga terlalu suka dengan drama Korea. Dia lebih suka dengan drama Jepang bahkan anime. Lelaki yang berusia lebih tua 3 tahun darinya itu juga hobby baca komik dan nonton anime. Tapi demi Aira, Wafda rela menemaninya. “Gimana sekarang perasaan kamu, Ra?” tanya Wafda di tengah-tengah film Korea yang sedang menampilkan sepasang kekasih sedang berpagutan. “Maksudnya? Perasaan apa?” tanya Aira bingung. “Perasaan kamu ke aku. Apa kamu nyaman sama aku atau kamu malah ga nyaman dengan keberadaanku di samping kamu?” tanya Wafda dengan nada penuh kecemasan dalam hatinya. “Oh … itu, ehmm …” Aira terlihat berfikir untuk menjawab pertanyaan Wafda barusan. “Gimana?” tanya Wafda menutut penjelasan. Aira tidak tahu apa jika dirinya sedang deg-degan menanti jawaban darinya. “Kalau aku ga nyaman, aku ga bakal ngebolehin kamu ke sini terus, Wafd. Malah seminggu bisa berapa kalikan kita ketemu. Kalau ga nyaman buat apa aku mengiyakan dan intens berkomunikasi dengan kamu.” Katanya sambil menatap lelaki di sampingnya itu. “Syukurlah kalo kamu nyaman,” sahutnya sambil tersenyum.                 Wafda menggenggam tangan Aira dan melanjutkan lagi menemani Aira menonton drama Korea yang masih berlangsung adegan romantis.   * * * * * *                                     Jumat malam, Wafda pulang ke rumah orang tuanya untuk menyapa mamahnya. Orang tua Wafda sudah bercerai sejak ia masih kecil. Semenjak Agustus band memulai debut, Wafda memilih tinggal di apartemen yang diberikan oleh agency yang menaungi band mereka. Wafda hanya pulang 4 kali dalam sebulan. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di apartemennya jika tidak ada kegiatan bersama dengan bandnya.                     Sebelum bulan depan Agustus band akan melangsungkan launching anggota band diberikan libur beberapa hari minggu ini. Wafda memilih pulang ke rumah mamahnya untuk bertemu mereka dan menghabiskan waktu bersama. Sebelum akhirnya akan tour beberapa kota dan beberapa negara di Asia yang sudah pasti tidak akan pulang ke rumah untuk beberapa bulan. “Besok Aira confirm datang mah.” Kata Wafda sambil memberikan bungkusan kepada mamahnya. “Besok? Ya udah kita makan malam aja. Mau masak apa untuk besok?” tanya mamahnya. “Terserah mamah aja. Yang pasti jangan masak bayam, Aira ga suka sayur bayam.” Katanya sambil meraih apel yang berada di sebelah mamahnya dan memakannya. “Ka, kamu kapan mau jadian ama Aira? Udahlah seriusin aja. Mamah ga suka kamu bolak-balik sama orang ga jelas. mendingan sama Aira, jelas dari kecilpun kita udah taukan dia gimana. Mamah juga kenal sama ibunya. Sampe siapa mantan-mantannya aja kita tau semuakan. Mamah mah udah setuju banget pokoknya kamu sama Aira,” kata mamahnya menatap Wafda. “Jangan dulu Mah, kaka masih cari moment yang pas. Lagi juga diakan baru aja kehilangan ayahnya. Kayanya ga bakalan dia mau langsung terima aku. Pokoknya aku bakalan bawa dia sebagai menantu Mamah. Aku juga sayang sama dia Mah, udah lama juga aku nunggu moment kami berdua sama-sama single seperti sekarang ini. Aku juga udah pengen kali Mah setiap tour ada yang nemenin ke sana ke sini. Yang lain enak udah ada yang nemenin. Lah aku, sendirian.” Katanya agak memelas. “Hahahaha … kasian amat sih kamu, Ka.” Mamahnya malah terkekeh mendengar curhat kecil anak sulungnya. “Pokoknya besok jangan desek Aira untuk jawab apapun mengenai hubungan kita ya Mah. Aku ga mau dia malah menjauh dan malah ngerusak konsentrasi aku pas tour. Dia jugakan mau launching novelnya. Jadi aku berusaha untuk jaga mood aku sama dia untuk tetap baik-baik aja selama jauhan ini.” Wafda mewanti-wanti mamahnya. “Siap Boss!” kata mamahnya sambil memberikan tanda hormat dan kemudian pergi meninggalkan anak sulungnya itu.                 Tak lama kemudian Willa pulang dan duduk di sebelah kakanya. “Lo kapan mau nembak sahabat gw? Awas lo ya jangan bikin temen gw galau dan mainin dia kaya mantannya itu,” kata Willa kemudian meletakkan tabletnya di sebelah kakanya. “Galah. Gila aja, udah lama gw nunggu moment bisa komunikasi kaya sekarang gini, masa gw lewatin gitu aja. Ya ada bersyukurnya juga sih gw kemarin diputusin sama Rachel. Hahaha gw jadi bisa deket sama Aira, wanita impian gw.” Katanya tersenyum membayangkan wajah Aira yang imut. “Iya gw sih cuma mau ngingetin aja. Kalo sampe lo nyakitin dia. Tarung kita Ka!” ancam Willa pada Wafda. “Iya-iya, gw juga ga maulah nyakitin dia.” Kata Wafda kemudian naik ke atas meninggalkan Willa di meja makan.                 * * * * * *                   Tepat pukul 7 malam Aira datang dan memarkirkan mobil sedan marron kesayangannya itu di halaman rumah orang tua Wafda. Sudah beberapa tahun Aira absen ke rumah Willa untuk sekedar bertemu dengan Willa atau mengerjakan tugas bersama. Dulu Aira dan Wafda tidak sedekat sekarang, dulu Aira hanya bisa terdiam ketika berada di dekat Wafda. Bertemu juga hanya saling menyapa kemudian pergi berlalu. Wanita itu hanya beberapa kali pergi dengan Wafda dan Willa. Itupun pergi bertiga hanya untuk sekedar mengerjakan tugas di coffee shop. Aira dan Wafda tidak pernah berbicang secara intens jika sedang pergi bertiga dengan Willa. Karna Aira juga tau dia ga akan mungkin bisa sedeket ini dengan Wafda. Namun takdir kini berkata lain.  “Hallo Ibu,” sapa Aira kemudian cupika cupiki dengan mamah sahabatnya itu.                 Aira terbiasa memanggil orang tua sahabatnya dengan panggilan ibu dan ayah, seperti ia memanggil orang tuanya. “Hai Sayang, gimana kabar kamu?” tanya ibu kepada sahabat anaknya itu. “Baik Bu. Hallo Ayah,” kemudian menyapa ayah tiri Wafda, kemudian bersalaman. “Hallo Aira. Silahkan duduk,” katanya mempersilahkan duduk.                 Wafda membukakan kursi untuk mempersilahkan Aira duduk. “Terima kasih,” ucapnya pada Wafda yang sudah membukakan kursi untuknya.                 Wafda kini duduk di sebelah Aira.   “ Willa mana Bu? Kok ga ada?” tanya Aira pada mamah dari sahabatnya. “Willa sebentar lagi juga sampe. Tadi dia pergi dulu sama pacarnya. Biasa ketemu camer,” celoteh ibu sambil tersenyum. “Enaknya udah ketemu camer,” gumam Aira sedikit murung dan menundukkan kepalanya. “Kamu juga lagi ketemu Camer.” Bisik Wafda yang mendengar gumanan Aira barusan. “Apaan sih?” jawabnya sambil tersipu malu, membuat pipinya semakin merona dan menepuk lengan Wafda pelan.                 Ibu yang melihat pemandangan barusan langsung kepoin Aira, ya sebenarnya menyelidik hubungan mereka berdua. “Bi, siapin makanan ya. Aira udah dateng nih,” titah ibu pada salah satu ARTnya. “Baik Bu.” Jawab ARTnya sambil tersenyum dan pamitan untuk ke dapur. “Oiya Ra … kata Kaka, kamu udah mau launching novel lagi ya? kapan itu?” tanya ibu. “2 minggu lagi Bu. Tapi belum tentuin tanggalnya. Karna masih belum ada meeting lanjutan dan mudah-mudahan ga diundur,” Aira tersenyum kemudian mengambil gelas yang sudah diisikan air putih oleh ART tadi. “Lalu, abis itu juga kemungkinan aku bakal keluar-keluar kota untuk promo novel aku. Ini juga Wafda bentar lagi launching album. Ditinggal deh hehehe …” celoteh Aira sambil melemparkan sinyal kepada sang idola yang kini duduk di sebelahnya. “Siapa yang ditinggal?” kata Wafda menatap wanita di sebelahnya. “Ya Ibu sama Ayahlah.” Jawab Aira salting. “Ehhmm … kirain kamu sedih aku tinggal,” seloroh Wafda dengan nada menggoda.                 Aira tidak membalas hanya tersenyum salting. “Ra, kamu udah punya pacar belom sih?” tanya ibu kemudian. “Belum Bu. Aku masih agak takut aja deket sama cowo.” “Kenapa? Ga semua cowokan kaya Lando, Ra.” Ibu berusaha mengorek pendapat Aira.                 Aira tersenyum menjawab pertanyaan ibu. “Kalau kira-kira ada yang suka sama kamu dan cowonya baik kamu mau ga?” tanya ibu lagi. “Aku sih selama dia baik, ga kasar sama aku, sayang dan juga pekerja keras ya aku mau Bu. Cuma kayanya, untuk cari cowo seperti itu jaman sekarang kayanya susah ya.” Aira menatap ibu dan Wafda berganti ketika mengemukakan pendapatnya barusan. “Tapi aku bersyukur banget karna sekarang ada Wafda yang jadi temen aku dan deket sama aku.” Tambahnya.  “Kalo itu sih ibu udah tau, cuma yang ibu mau tau kamu masih ngefans ama Wafda apa gimana?” tanya ibu menelisik hati Aira yang sesungguhnya. “Ngefans mah pasti Bu. Dari dulu aku suka sama Wafda,” “Suka? Jadi kamu suka sama aku?” tanya Wafda sok kaget padahal Wafda sudah tau ini sejak dulu. “Iya, kagum as a fans. And you’re my idol.” “Yah, ada yang patah hati dong kalo gitu jawabannya.” Kata ibu menggoda Wafda. “Bilang I love you dong ke Wafda, ibu pengen denger.” Pinta ibu. “Hahaha … Ibu bercanda,” kata Aira sampai hampir tersedak makanan yang sedang ia kunyah ketika mendengar permintaan mamahnya Wafda. “Mamaaaah mulai deh,” kata Wafda dan memberikan kode untuk menghentikan celotehannya tentang bagaimana hati Aira padanya sesungguhnya. “Okok mamah minta maaf Ka. Jadi intinya kamu belom punya pacar ya Ra. Ya kalian kalo gitu harus sering ketemu dong kalian. Siapa tau bisa saling sayang dan tambah chemistrynya. Kitakan ga ada yang tau. Ibu sih berharap kalian berjodoh.” Ibu tersenyum dan mengucapkan doa untuk hubungan anak sulungnya dan Aira, sahabat dari anak bungsunya.                 Wafda dan Aira hanya tersipu malu mendengar doa yang baru saja diberikan ibunya. “Pokoknya mamah mau Aira jadi mantu mamah ya Ka,” kata ibu to the point. “Siap Boss!” kata Wafda memberi tanda hormat.                 Aira pura-pura ga ngeliat tingkah lelaki di sampingnya itu. Tak lama Willa dan kekasihnya datang dan bergabung bersama. “Mah, ini Dimas mau langsung pamit,” kata Willa mengantarkan kekasihnya ke depan mamahnya. “Tante Om,  aku langsung pulang ya.” Kata Dimas sambil bersalaman. “Loh kok ga ikutan makan?” tanya ibu Willa ramah. “Engga Tan. Masih kenyang, baru banget makan.” “Oh okelah kalau begitu. Salam ya sama orang tuamu. Kapan-kapan ajak main ke sini.” Kata ibu Willa. “Iya salam ya sama orang tuamu,” kata ayah tiri Willa. “Baik Om Tante. Yuk Ka, Ra. Pamit ya,” ujar lelaki itu. “Iya ati-ati,” balas Aira pada kekasih sahabatnya. “Iya,” Wafda juga ikut menyahut kepada Dimas.                 Willa mengantar Dimas sebentar keluar lalu balik lagi menemui keluarganya yang masih menyantap makan malam spesial.   * * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD