Ghibah itu haram, kalau nyinyirin orang itu baru semiharam.
Self defence ala Bhoomi Gangika dan Sarah Milea atas hujatan orang-orang sejak masa kuliah karena hobi kami yang ngomongin orang (Aku sih mentok-mentok cowok ganteng, Sarah ini sampai ke tetangga malam pertama aja dinyinyirin). Iya, aku sama Si j****y itu emang sudah temenan selama itu. Bayangin deh, gimana eneknya aku saban hari harus barengan sama j****y yang sialannya itu paling ngerti aku bangeeeet. Kalau aku lagi sakit, padahal nggak bilang dia, tiba-tiba datang ke indekos dan bawain makanan—dia paling tahu betapa aku membenci bubur sampai langit ke tujuh!—layak makan. Kalau aku lagi patah hati juga, tanpa bilang, dia dengan songongnya putar lagu-lagu dari Iis Dahlia. Satu album ada kali. Dan, bikin malunya adalah, bukannya aku nolak, tapi malah ikut meresapi lirik dan suara Teh Iis yang sambil terisak gitu. Ya ampun, cocok banget gitu lho.
Balik lagi ke self defence tadi, setiap orang kupikir punya itu untuk mempertangguh hidup. Presiden yang entah untuk apa membuat Perppu-Perppu baru), koruptor yang tetap ngotot nggak nerima uang, atau selebriti yang masih keukeuh kalau mereka suka nggak sedang pamer di media sosial.
Ya ampun, aku lupa! Kan niatku ketemu j****y hari ini mau bahas soal nyinyiran dia ke Bos Dimas sampai si Hawt itu bisa tahu tentang pernikahan Niko dan kegundahanku yang nggak punya pasangan. "Heh! Jangan melipir! Gue tadi mau denger kronologis obrolan lo sama Dimas. Buru!"
Si j****y nyengir. Dia udah emak-emak kok tetap seksi ya,. Bikin aku down aja. Bener-bener layak disebut Mom I'd Like to f**k banget kalau kata cowok-cowok Amerika. "Abis gue kasian kan sama lo. Jadi ya gitu, gue telepon deh si Dimas, soalnya gue yakin, otak t***l lo itu nggak mungkin nurutin saran gue."
"Perintah! Bukan saran."
Aku jadi nyesel waktu itu mengenalkan mereka berdua. Dulu, si j****y ini yang suka nganterin aku kalau ada rapat mendadak sama klien gitu dan suatu ketika ketemu deh dia dengan Dimas. Aku kenalinnya sih biasa aja. Dimas sebagai Bos, dan Sarah sebagai sahabat. Eh, malah ternyata bercandanya mereka itu cocok dan besoknya Dimas minta aku ajak Sarah makan bertiga di luar! Dwar! Sampai sekarang, mereka sering diam-diam ngopi berempat di belakangku; j****y, Aji, Dimas dan krucil Alya.
"Ya gitu." Tawanya menggema. "Udahlah, Bhooo. Nggak penting juga kan kronologis gue sama Dimas bahas lo gimana. Yang terpenting adalah, lo bisa one step closer sama Ongka. Gimana-gimana? Dia bau-bau keintiman gitu nggak sih orangnya?"
"Sialan!"
Analogi dia kalau mau ngatain orang Fakboy gitu banget emang. Kacau. Nggak tanggung-tanggung, j****y sekarang beneran ngakak. "Ya ampun, lama jomlo, temen gue beneran balik kayak perawan polos yah." Tangannya ngibasin poni hiperbolis, sebelum dia mencondongkan muka lagi. Sambil tolah-toleh, dia berbisik, "Kalau bau-baunya bukan intim yang b***t tapi surgawi, lo mesti cobain, Bhoo. Lumayan kan dapet yang segelan di Jakarta."
Aku menoyor kepalanya. "Gue laporin Aji, tau apa yang bakal terjadi?"
"Ah nggak seru, mainannya lapor!"
Aku menang. Begitulah cara melawan Sarah—j****y—Milea. Paling takut memang dia sama suaminya. Padahal Aji itu nggak jahat. Cuma ya gitu, diamnya Aji aja udah nyeremin buat Sarah. Ancamannya uang bulanan, Bo, gimana Sarah nggak kalang kabut coba.
"Ongka bacot, Sar orangnya. Sama aja kayak Dimas. Gue dikelilingi orang nggak bener nih."
"Serius?"
"Baweeeeel banget ngalahin petasan banting. Dimas aja kalah koplaknya. Tapi ya gitu, ada kelebihannya juga. Dia orangnya loyal, spontanitas gitu. Gue ajak keliling nyari baju, dia mau aja dan bayarin. Gue ajak kondangan padahal kita nggak kenal, mau aja lagi. g****k kali ya tuh orang?"
Nah, nah, nah. Aku paling benci nih kalau Sarah udah mulai kasih senyum iblis gitu. "Bukan g****k, Bhooooo. Lo ngerti nggak istilah 'klik' di pertemuan pertama?"
"Tao."
"Songong amat lo!" Tangannya mukul punggung tanganku pakai garpu bekas dessert tadi. Nih orang. "Jadi, kalau menurut analisa gue yang berguru sama Jurnal ilmiah—jangan salah, gini-gini gue mantan mahasiswa politik ya.”Medengar kesombongannya itu, aku memutar bola mata. Malas. “Lanjut, nah, dia ini ada 'klik' itu sama lo. Jadi, katanya, cowok tuh nggak perlu lama-lama buat nentuin dia tertarik atau enggak. Pertama yang dilihat, dia tertarik atau nggak nih sama fisiknya, balik lagi selera fisik orang beda-beda. Setelah itu obrolannya, baru deh ke hatinya. Gitu."
"a***y. Teori dari mana lo?"
"Gue kan mau nyaingin Deddy Mulyana."
"Apaan, dia itu bidangnya komunikasi ya bukan psikologi!"
Tawanya makin menjadi.
Jadi beginilah, kalau udah ngobrol sama si j****y, aku tuh lupa kalau dia ini sudah kawin. Soalnya, tetap nggak punya otak sih. Kasihan banget.
***
Pernah nggak sih kamu-kamu kena persuasi sama omongan teman sendiri? Kayak aku gini misalnya, nggak bisa tidur padahal besok harus mulai jadi Babu Dimas lagi. Aku kepikiran sama omongannya j****y soal 'klik' di pertemuan pertama. Kalau betulan begitu, kenapa Ongka nggak hubungi aku lagi coba setelah kira-kira seminggu ini—dihitung sejak pernikahan Niko. Seharusnya kan dia basa-basi kirim aku chat ya kayak tukang gombal lainnya gitu. Ditambah, lusa nanti aku juga harus handle pemotretan dia buat edisi Bulan depan—yang makanannya itu. Itu berarti aku bakalan ketemu, berdialog walaupun bentar dan kalau begini ceritanya ... bakalan se-awkward apa coba?
Kesadaranku balik lagi, waktu dengar suara smartphone. Ada pesan dari Boss Besar.
Boss Besar: send pict
Boss Besar: Biar makin nggak bisa tidur
"Sialaaaaaaan!" Aku membanting smartphone ke bagian kasur yang kosong. "Punya bos kayak sempaknya iblis gitu, ya Allah!" Benar-benar nggak normal pasangan satu itu. Bisa-bisanya kirim foto ciuman ke sekretarisnya. Mereka nggak akan tahu betapa kretak bunyi hatiku ini bisa terdengar sampai Jepang sana. Ah, aku melirik benda itu lagi karena kembali bunyi. Mau ambil takut kena sawan, nggak ambil, penasaran sama hawt-nya Bos Dimas. "Apaan sih!" Akhirnya, aku menyaut kasar dan membukanya.
Bos Besar: Sumpah, saya udah tobat malam ini nggak mau gangguin kamu, Ga. Tapi kerjaannya Audy nih makin hari makin iseng.
Baru aja aku akan melempar kembali benda pipih bewarna putih ini saking kesalnya, tapi nggak jadi karena satu nama muncul dan bikin aku agak deg-degan. Agak ya. Biar gimana pun, kami pernah membangun komunikasi dan berakhir nggak enak dengan umpatanku itu.
Mas Owner: Udh tidur, Bhoo?
Bales nggak nih? Bales ajalah ya, udah terlanjur ketahuan juga last seen-nya.
Me: Belum.
Sok-sok cuek ah, biar nggak dikira murahan.
Mas Owner: Bka pintunya dong.
"HAH?!" Secepat usia pernikahan seseartis itu, aku duduk tegak, memelototi tulisan di layar kaca dan berharap itu semua ilusi. Enggak. Tulisannya nggak berubah. Tetap sama. "Kok gue deg-degan ya? Duh, buka jangan nih. Gue takut ceming pas buka pintu, apa coba yang mau diomongin? Duh, mana punya utang lagi soal bayaran karena ngajak dia kondangan. Argh!"
Akhirnya, mau nggak mau, aku tetap harus buka pintu juga. Bhoomi Gangika nggak boleh lari dari kenyatataan. Bolehnya lari dari mantan. Hm, cucok. Sesaat setelah pintu terbuka. Napasku tercekat. Pak Panglima, di depanku ini, ada makhluk Adam yang kayaknya udah siap banget membuahi ovumku. Dan kalau dilihat dari kover sih, cukup berkualitas ya. Malam ini dia pakai jaket dongker yang topi jaketnya ditutupin di kepala. Turun ke bawah, dia pakai jeans yang bikin kakinya jenjang syekaleee mirip sama Harry Styles gitu. Turun lagi ke paling bawah, dia membungkus telapak kaki pakai sneakers putih. Balik lagi naik ke atas—Bener nih kata Sarah, aku kayak perawan aja yang belum pernah diapa-apain dan baru tahu bentuk burung.
Walaulun sampai sekarang juga baru tahu doang sih, belum ngerasain.
"Aku nggak disuruh masuk nih?"
"Eh? Masuk dong! Maksudku, silakan masuk, Ka." Kubuka pintu selebar paha Meghan Trainor—omong-omong, dia cantik banget ya—dan dia berjalan ke dalam, membawa kantung plastik ... Indomaret. Okay.
"Kenapa belum tidur, Bhoo?"
"Belum aja. Kamu dari mana?" Kuletakan teh hangat di meja depan kami. Aku dan dia duduk di satu sofa, menghadap televisi yang nggak nyala.
"Dari K-Kafe. Tadinya mau bawain kamu Frappe, tapi nggak jadi ah. Besok aja sambil ajak kamu ke sana." Duh, duh, duh. "Kapan siap ketemu Mamaku, Bhoo?"
"Waduh? Ng, Ongka." Aku belepotan kan sekarang. Kuat, Bhoomi, lo kuat. "Gini lho ya, kita ini dua orang asing. Oke, kamu ajak aku ke keluargamu buat bayaran waktu itu, tapi serius deh, kalau cuma boongan dan sesaat, kamu nggak kasihan sama Mamamu?" Jackpot! Pada dasarnya aku ini memanglah sekretaris cerdas. Seharusnya Dimas bangga...
"Kalau gitu kenapa nggak diseriusin dan selamanya?"
Aku keselek ludah sendiri!
"Kamu single sama kayak pisang ini," lanjutnya. Dia beneran mengeluarkan sebungkus pisang Single. Aku cuma melongo. "Dan aku pun sama kayak yang satunya ini." Pisang yang kedua. "Dan, kalau dijejerin kayak gini, dia jadi nggak sendiri. Kamu nggak mau punya pasangan, Bhoo?"
"Ya Lord ... kita ini orang asing lho, Ka! Kamu gila apa berani ngomong kayak gini sama aku?"
"Namanya juga pendekatan, Bhoo. Harus berani dong. Aku udah punya 'klik' sama kamu di hari pertama kamu datang bulan." Ya ampun, ini aib lho, aib! "Di pertemuan pertama kita. Klik kedua adalah waktu kamu bawa Mas Dimas ke K-Kafe. Caramu ngobrol sama bosmu itu unik. Kelihatan sebaya tapi nggak kurang ajar. Klik yang ketiga adalah gimana kamu menjunjung harga diri setinggi itu dengan datang ke nikahan mantan walaupun mati-matian ngalahin gengsi dengan ngajak aku. Kamu keren kan, Bhoo? Keren banget. Aku aja masih sering milih kabur waktu dapat kabar mantan kawinan. Nggak sanggup rasanya kalah sama cowok lain."
Kan, aku tuh sering nggak bisa ngomong kalau lagi kaget kayak gini. Nyebelin banget.
"Kamu nggak perlu maksa buat cinta sama aku karena itu terlalu jauh. Cinta pandangan pertama itu bullshit! Klik pandangan pertama, baru ada. Dan, kita bisa jalani ini dengan santai tapi bukan main-main."
"Tapi aku nggak tertarik sama kamu. Maaf."
"Jangan bilang gitu dulu." Tawa kecilnya keluar. "Cewek suka banget ngambil kesimpulan dini ya. Belajar dari pasangan Muzammil sama istrinya dong, Bhoo. Cinta itu diciptakan bukan menunggu kapan datangnya."
"Ka, niatmu ke sini—"
"Enggak enggak. Kamu jadi takut gitu ya." Dia punya lesung pipi ternyata! "Aku ke sini cuma mau ngasih pisang ini beserta filosofinya tadi. Katanya, cewek itu suka laper malem-malem dan paling takut buat makan karena bisa jadi BB naik. Makanya, aku bawain ini karena pisang bisa mengenyangkan. Good night."
Dia berdiri.
Melangkahkan kaki.
Aku dengan cepat ikut bangkit, menyusulnya yang sudah akan membuka pintu mobil di halaman kontrakan.
"Ongka!"
Kepalanya menoleh.
"Kalau dua orang asing, coba saling deket tanpa istilah pedekate dan semacamnya, itu halal?"
"Setauku, yang haram itu ada tiga: Babi, alkohol sama seks sebelum ijabsah."
"So?"
"We are legal. Halal."
"Ngacooooo!"
Tawanya kembali muncul.
"Oke! Mari jalani ini dengan senyuman. Jangan bikin aku ilfil dengan memperlakukanku layaknya kekasihmu. Kita temenan aja dulu. Mau?"
"Tapi jangan kasih jarak. Biarin semuanya ngalir. Seakrab kamu sama Dimas. Bisa?"
Gila. Bhoomi Gangika, si perawan cerdas memamg mulai gila karena saran si j****y Jakarta itu. "Oke!"
"Aku pulang. Jangan lupa pisangnya dimakan! Good night, Bhoomi! Have a sweet dream. Dream of me."
Mari bermain dengan indahnya romansa Jakarta. Kalau besok nggak suka, tinggal lepas. Gitu aja kan. Jangan mau terlibat dalam hubungan rumit. Orang asing nggak selamamya buruk kok.
Percaya deh.