Chapter 10

1101 Words
Zara berjalan keluar dari perusahaannya, dengan hati dan perasaan yang bercampur aduk. Dia masih juga tidak memahami apa yang saat ini tengah terjadi kepada dia dan juga atasannya. Yang menjadi hal tidak mungkin jika Dave jadi kekasihnya, apalagi mencintainya. Dia berjalan keluar dan berdiri tepat di depan perusahaan, Zara berharap sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Dan benar saja, tidak lama dari saat ia berdiri sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya dan melaju dengan kecepatan sedang, setelah ia duduk di kursi penumpang dan kembali ke apartemennya. Zara masih belum memahami apa yang saat ini tengah dirasakannya, namun dia tahu jika dia memang menyukai sahabatnya itu. Dia memilih untuk tetap diam dan akan mengungkapkan isi hatinya jika memang benar-benar Dave mencintainya dan mengungkapkan perasaannya. "Sepertinya aku terlalu berlebihan berharap kepada dia! Apa aku harus pergi? Sebaiknya aku pulang dulu ke rumah paman." Zara terpikirkan jika dia akan pergi berlibur. Selama dia masih belum yakin dengan perasaannya, Zara tersenyum tipis, dia tahu apa yang saat ini dia lakukan besok hari. Zara akan pergi untuk ke kampung halaman pamannya, di sana ada sebuah tempat yang dapat menyenangkan dia. Zara masih tidak tahu apa yang saat ini dia rasakan tentang perasaannya terhadap Dave. Sepanjang malam, Zara menyiapkan kopernya untuk bersiap pergi ke kampung halaman pamannya. Dia tidak punya rumah lagi, selain rumah pamannya. Dia hanya hidup sebatang kara, dan pamannya lah yang membesarkan dan tidak ada siapapun yang tahu tentang kedua orang tua Zara. Antara sudah tiada atau masih hidup. Gadis itu di besarkan dan di cintai oleh pamannya seorang diri saja. Harta ataupun saudara tidak mereka miliki. Kesederhanaan dari pamannya membuat kehidupan mereka semakin bahagia dan terasa sempurna saling menyayangi satu sama lain. "Aku hanya ingin memastikan perasaan aku saja! Jika memang aku bisa hidup tanpa Dave selama tinggal di sana. Berarti aku memang tidak mencintainya," ucap Zara meyakinkan dirinya. Pagi sekali, Zara kini berdiri di depan apartemennya. Dan menunggu sebuah taxi yang sudah dia pesan sebelumnya. Dia sudah mengirim surat ijinnya untuk libur kerja, meski Dave pasti tidak akan mengizinkannya, dia tetap pergi tanpa menunggu persetujuan atasannya itu. Sepanjang perjalanan, Zara hanya mendengarkan earphonenya, dia tidak tahu jika ponselnya berbunyi sedari tadi. Panggilan telpon dari Dave sama sekali tidak dia hiraukan. Kali ini, Zara hanya akan menuruti apapun yang menyrutnya baik. Dan bergegas untuk menenangkan hatinya. Dia tahu jika hanya Dave yang selalu bersamanya, tapi hari ini, dia akan berusaha untuk bisa meyakinkan dirinya dalam hal ini. Setelah menpuh perjalanan selama hampir 4 jam, akhirnya mobil itu berhenti dan menurunkan Zara beserta bawaannya. "Nona, disini kau bisa naik angkutan umum! Aku sudah tidak bisa mengantarmu jika ke pedalaman itu," ucap supir taxi itu. "Iya, terimakasih," angguk Zara. Zara tersenyum melihat kepergian taxi yang sudah mengantarnya dari kota Z hingga ke pedalaman kampung Siloam, desa pamannya berada. Masih di kota yang sama, namun jauh dari jangkauan transportasi. "Hei gadis nakal! Kau memintaku menjemputmu jam 8 pagi! Ini sudah jam sembilan!" teriak seorang pria dari ke jauhan menaiki kendaraan traktornya, menghampiri Zara. Gadis itu, tersenyum tipis melihat pamannya yang sangat dia rindukan. Terlihat seperti biasa mengenakan pakaian kebunnya dengan topi dan janggut yang tebal tampak kesal menatapnya. "Apa kau menunggu lama?" tanya Paman Nero. "I love you, Paman!" teriak Zara memeluk pamannya. "Love you to, gadis nakal!" balas tuan Nero. Pertemuan antara paman dan keponakan melepas rasa rindu keduanya dengan saling berpelukan. Naik traktor yang baru saja kembali dari kebun. Zara sudah terbiasa dengan keadaan pamannya, dia bahkan tidak merasa risih dan bau dengan tempat duduknya yang berbau pupuk. Dia malah semakin merasa hangat ketika dia melihat punggung pamannya yang sudah tua, masih kuat untuk berkebun. "Apa paman punya istri sekarang?" teriak Zara, mengingat mesin itu sangat membuatnya kebisingan. "Aku tidak tuli, gadis nakal! Kau bertanya nanti saja di rumah!" balas tuan Nero. "Hahaha, tapi aku mau sekarang, Paman!" rengek Zara. "Kau ...." Tuan Nero melihat ke arah Zara yang merajuk, dia sering kali seperti itu, jika pertanyaannya tidak di jawab olehnya. Dia memelankan mesin traktornya, dia menoleh ke arah keponakannya. "Aku sudah punya istri, kau puas?" ucap tuan Nero mencubit hidung Zara. "Waaah benarkah!? Oh pria tua ini ... Akhirnya merasakan aroma wanita juga!" seru Zara menari-nari di atas bak kendaraan. "Hei gadis bodoh! Kau bisa buat kita terjatuh jika tidak mau diam!" teriak tuan Nero. "Aku gak perduli! Paman punya istri, aku senang paman menyukai wanita!" balas Zara masih tidak menghentikan aksi menarinya. "Gadis ini!" Tuan Nero hanya tersenyum melihat anak gadisnya masih saja nakal seperti dahulu. Nero hanya fokus mengendarai kendaraannya, meski di desanya ada banyak orang yang memperhatikan mereka termasuk seorang pria dengan pakaian biasanya, dia mengenakan kaos putih dan celana hitam selutut. Pria tidak jauh dari sebuah rumah dia berdiri mendengarkan penjelasan pria paruh baya, tapi dia melihat kendaraan yang lewat dengan seorang gadis tersenyum ceria mengangkat kedua tangannya. Seketika dia terpaku melihat gadis itu dengan senyum dan lesung di samping dagunya terlihat cantik. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?" tanya pria paruh baya itu. "Ya, siapa mereka?" tanya Vincent. "Dia, tuan Nero dan gadis di belakang keponakannya yang baru kembali dari kota," jelasnya, di balas anggukan Vincent. ******* Setelah melakukan perjalanan setengah jam, akhirnya sampai di rumah sang paman. Zara tertegun melihat seorang wanita dengan dres warna putih tengah menegang keranjang berisikan beberapa telur berjalan menyambut kedatangan mereka. "Selamat datang Zara," sapa wanita itu. "Dia bibiku Paman?" bisik Zara. "Kau pikir siapa lagi?!" balas tuan Nero. "Tapi dia terlalu cantik buatmu," ucap Zara. "Kau pikir pamanmu ini tidak tampan hah?!" seru tuan Nero. "Hahaha, Paman memang tampan saat gak pakai baju saja!" tawa Zara. "Ish ... Anak ini ...." "Iya, Pamanmu ini memang tampan tidak memakai apapun," sela Yesa. Zara tersenyum mengangguk, dia memeluk erat istri baru pamannya dengan sambutan lembutnya. Tradisi di desa itu memang mengharuskan siapapun yang bersapa harus saling berpelukan cara menyapa mereka. Sudah hal biasa jika saudara mereka menyatakan cinta mereka meski pada paman ataupun saudaranya yang lain. Cara mereka mengungkapkan perasaan sesungguhnya, yaitu harus dengan menikahi mereka dengan sungguh-sungguh. **** Zara sudah terbiasa akan hal itu, tapi tidak dengan Vincent, pria yang baru saja datang ke desa itu, dengan tujuan pemeliharaan perkebunannya yang cukup besar di kelola warga desa itu. Dia tampak kesulitan bernafas, tiap kali ada orang yang menyapanya. Untuk kali ini, dia berjalan menelusuri perkebunan apel miliknya yang hampir panen. Vincent melihat-lihat sendiri perkebunan itu, di temani sekretarisnya bernama Yash yang sedari tadi muntah-muntah akan bau pupuk yang sedikit menyengat. Tapi tidak untuk Vincent yang tahan akan bau menyengatnya. "Kau sebaiknya mati rasa, baru bisa sukses!" seru Vincent mengejek Yash. *"Hah!? Tidak, aku ingin merasakan sentuhan dan aroma parfum wanita," batin Yash merinding.*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD