Underground Free Fighting II

1439 Words
28 September 2018 Aku telah melewati pertarungan ketiga dan hari ini akan masuk ke pertarungan keempat. Semua pertarungan aku lewati dengan mulus tanpa hambatan. Aku sekarang menduduki peringkat 74 setelah sebelumnya mengalahkan petarung peringkat 87 dan pertarung yang menduduki posisiku sebelumnya. Kenapa aku bisa selalu menang melawan semua petarung itu? Alasannya sederhana. Karena aku hampir setiap hari, setiap waktu, menonton pertandingan para petarung tingkat atas. Sehingga aku dapat mempelajari teknik mereka dan mencari celah untuk mengalahkan mereka. Meskipun begitu, aku masih belum yakin dengan kemampuanku saat ini aku dapat mengalahkan petarung peringkat di atas 50. Aku menggunakan identitas lain untuk memasuki Underground Free Fighting. Karena aku tahu jika kak Nova merupakan peminat acara ini, aku khawatir jika aku menggunakan nama asli maka kak Nova akan tahu jika aku mengikuti acara ini dan aku tidak dapat mengelak. Di dalam kompetisi ini, aku memperkenalkan diriku sebagai Bianka. Beruntung, pihak panitia tidak mempertanyakan kartu identitas ketika mendaftar. Namun memang tidak semua orang dapat mengakses alamat webnya dan juga cara berlangganan pada acara ini sehingga hampir bisa dipastikan tidak ada penyusup yang bisa memasuki kompetisi ini. Hari ini, lagi-lagi aku menantang petarung dengan peringkat di atasku. Petarung yang aku tantang hari ini berada pada peringkat 61. Aku merasa sangat bernafsu untuk segera naik ke peringkat yang lebih tinggi, lalu setelah aku berada pada peringkat cukup tinggi, aku akan mencoba mengorek informasi tentang pembunuhan keluargaku entah bagaimanapun caranya nanti. Seperti yang biasa aku lakukan sebelum pertandingan, aku melakukan sedikit pemanasan di belakang ring, melakukan sedikit peregangan dan mengolah nafas agar aku tidak terlalu tegang saat berada di atas ring nanti. Sekitar tiga puluh menit aku menunggu giliranku, akhirnya namaku dipanggil ke atas ring. Sorak sorai penonton mulai bisa aku dengar sekarang setelah aku menantang petarung kelas menengah. Aku menatap lawanku kali ini. Kuberikan tatapan intimidasi sekaligus untuk melihat potensi lawanku. Aku lihat, lawanku kali ini lebih tinggi dan lebih berisi dari aku. Aku rasa, dia bukan lawan yang mudah untuk aku taklukkan, sangat berbeda dengan lawan-lawanku pada pertarungan sebelumnya. Aku lirik sejenak wasit yang berada di antara kami berdua. Di antara suara penonton yang semakin meriah, aku mendengar aba-aba dari wasit yang menandakan pertarungan ronde pertama dimulai. Aku dan lawanku sama-sama mundur beberapa langkah, kemudian terdiam. Terlihat kami masing-masing saling menganalisa dan saling mencari celah satu sama lain. Dari awal pertarungan, aku merasakan hawa yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertarunganku sebelumnya. Tatapan tajam yang mengintimidasi, gerakan yang sangat hati-hati, kuda-kuda yang kuat dan sempurna, serta petarung yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil langkah, sangat berbeda dibandingkan pertarungan kelas bawah yang terlihat agresif namun sangat terburu-buru dalam mengambil langkah sehingga banyak celah terbuka sejak awal pertarungan. Setelah sekitar lima detik aku tidak melihat ada gerakan berarti dan celah dari lawanku, aku mencoba membuat celah itu dengan membuka serangan pertama. Aku maju dengan cepat, dan segera melancarkan pukulan jab dengan tangan kiri. Aku tahu jika pukulanku akan dihindari oleh lawanku, terlihat dari matanya yang tidak lepas dari bahu kiriku. Benar saja, dia menghindar ke arah bawah. Sesuai dengan perkiraanku, Aku sengaja membiarkannya menghindar ke arah bawah. Aku mengambil satu langkah ke depan dengan kaki kiri, lalu aku memutarkan badanku, berniat memberi tendangan berputar ke arah belakang kepalanya. Sedetik sebelum tendanganku mendarat, tiba-tiba... Lampu arena semua padam. Semua gelap, aku mendengar teriakan histeris dari penonton. Sepertinya tendanganku mengenai lawanku, tapi sekarang aku sudah tidak bisa melihat apapun, termasuk lawanku. Aku panik, sangat panik. Aku takut kejadian yang menimpa keluargaku dua tahun lalu menimpaku hari nini. Di antara teriakan histeris semua orang, aku semakin terkejut dengan adanya suara tembakan senjata api yang datang dari arah pintu masuk. Saat aku melihat ke arah suara tembakan berasal, aku melihat sorot lampu senter yang diarahkan memutar mengitari seluruh arena. Aku terpaku, aku membeku, aku tidak bisa bergerak. Rasanya aku ingin menyerah, aku pasrah, aku merasa tidak ada lagi yang bisa aku lakukan saat ini. Satu-satunya petunjuk yang aku dapatkan, tidak bisa aku eksekusi dengan baik. Aku tidak berhasil mendapatkan informasi apapun dari Underground Free Fighting, namun aku sudah harus mati hari ini. Itulah yang aku pikirkan saat berkali-kali aku melihat sorot lampu senter yang mengitar dan mendengar suara tembakan. Sesekali aku mendengar jika suara tembakan itu mengarah ke arahku, namun beruntung aku tidak terkena tembakan. Di sela kepasrahanku, aku merasakan tanganku ditarik oleh seseorang. Aku sedikit berteriak karena terkejut, tanganku disentuh tiba-tiba oleh seseorang yang tidak aku kenal. "Diamlah! Ikut aku jika kau ingin selamat." Seru orang yang tidak aku kenal itu. Suara seorang laki-laki yang entah dari mana asalnya bisa menemukan aku. Karena aku benar-benar pasrah, aku merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah dari orang tersebut. Dia menarik tanganku dengan cukup kasar, dan aku dipaksa berlari ke arah yang aku tidak tahu akan berujung ke mana. Aku terus ditarik hingga aku masuk ke salah satu lorong sempit. Lorong sempit dan panjang aku lewati hingga akhirnya aku melihat setitik cahaya di ujung lorong tersebut. Aku penjamkan mataku ketika aku keluar melewati lorong tersebut. Aku merasa sangat silau karena berpindah dari ruangan yang sangat gelap menuju sebuah tempat penuh cahaya terang. Ternyata, lorong tersebut berujung di salah satu sudut kota yang tidak jauh dari tempat aku biasa berlalu-lalang. Pria yang menarikku melapaskan tanganku ketika kami berdua sampai di samping minimarket. Aku menunduk sambil terengah karena merasa sangat panik dan masih tidak percaya jika aku berhasil keluar dengan selamat dari tempat mengerikan itu. Satu botol minuman disodorkan tepat ke depan wajahku ketika aku tengah terengah dengan nafas memburu dalam posisi membungkuk. Aku terima minuman itu dan segera meminumnya dengan rakus tanpa mempedulikan siapa gerangan yang telah memberikan minuman ini kepadaku. Satu detik kemudian aku teringat jika aku ditolong oleh seseorang yang tidak aku kenal. Aku menoleh ke arah kananku tepat di mana orang tersebut berdiri, niatku hendak mengucapkan terima kasih kepadanya. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sosok yang sangat aku kenal berdiri di sampingku. Kak Nova, barista Red Coffee yang merupakan orang yang mengenalkanku ke Underground Free Fighting, tengah berdiri di sampingku dengan wajah yang sangat datar. Tidak ada keramahan yang terpancar dari wajah kak Nova. Aku rasa kak Nova sangat marah saat melihatku mengikuti pertarungan itu. Tapi, bagaimana kak Nova dapat masuk ke arena, bahkan dapat menemukanku dan menyelamatkanku? "Ikut aku sekarang!" Ucap kak Nova singkat dan tegas. Tidak ada pilihan lain untukku saat ini selain mengikuti kata-kata dari kak Nova. Kak nova berjalan cepat di depanku, aku mengikutinya dari belakang. Aku sedikit terkejut karena ternyata kita tengah menuju ke Red Coffee. Lebih terkejutnya lagi aku ketika mengetahui jika Red Coffee hanya berjarak dua blok dari lorong tempatku keluar dari arena bersama kak Nova tadi. Kak Nova langsung masuk ke Red Coffee tanpa mengucap satu patah kata sekalipun. Aku mengikuti kak Nova masuk ke Red Coffee, dan berdiri di antara sofa pelanggan sementara kak Nova berjalan terus ke belakang. "Hei, siapa yang memintamu berhenti? Ikut aku!" Bentak kak Nova. Lagi-lagi aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintah dari kak Nova. Di belakang bar memang ada sebuah pintu yang aku taksir menuju ke arah gudang. Kak nova membuka pintu itu dengan sedikit kasar, dan aku mengikuti kak Nova masuk ke ruangan itu. Pikiran buruk telah menguasai otakku saat ini. Satu sisi, aku berpikir jika kak Nova akan marah besar kepadaku, tapi sisi lain aku berpikir kak Nova akan melecehkanku karena memaksaku masuk ke gudang. Tapi semua pikiranku ternyata salah. Ruangan yang berada di belakang bar bukanlah sebuah gudang, melainkan sebuah kantor mewah yang lengkap dengan semua dekorasinya. Sebuah kursi terhormat yang berada di bagian paling ujung, di depan kursi itu terdapat sebuah meja kayu antik yang dilengkapi dengan beberapa buku yang tertata rapi. Pandanganku takjub mengitari ruangan itu. Sebuah simbol aneh terpampang dengan sangat jelas berada di belakang kursi terhormat yang aku sebutkan tadi. Kenapa kursi terhormat? Karena kursi itu terlihat seperti kursi yang biasa diduduki oleh orang-orang penting di dalam film. Sebenarnya mendiang ayahku juga menggunakan kursi sejenis ini di dalam kantornya dulu, dan sejak kecil aku menyebut kursi seperti ini dengan sebutan kursi terhormat. Simbol bergambar vektor dari biji kopi yang terdapat di dinding, mengalihkan perhatianku dari kak Nova yang tertunduk duduk di kursi terhormat. "Rin" suara kak Nova terdengar lirih dari balik tangannya yang menutupi wajah. Sedetik kemudian kak Nova menegakkan kepalanya, melihat dengan tatapan tajam ke arahku yang masih terpatung di tengah ruangan tersebut. Lalu kak Nova memberikan sedikit senyum sinis ke arahku. Dear diary, aku sudah tidak sanggup lagi menulis apa yang terjadi kepadaku hari ini. Tanganku masih bergetar hebat malam ini. Aku tidak tahu apakah besok akan terjadi sesuatu lagi terhadapku, tapi aku ingin beristirahat malam ini. Cerita tentang hari ini, akan aku lanjutkan esok hari. Buku harian hari ini, belum sepenuhnya aku tutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD