SEBUAH TANTANGAN

1155 Words
Hari pertama tantangan yang diajukan Meisin. Dengan penuh semangat, Owen datang ke kontrakan Meisin, berniat mengantar gadis itu berangkat ke tempat kerjanya. Namun bukan Meisin namanya jika dia menerima tawaran baik Owen. Baginya, Owen tetaplah lelaki asing yang harus dia jauhi. Tak hanya hari pertama, hari ke dua pun Owen masih menerima penolakan. Padahal Owen telah memakai tipu muslihat bahwa dirinya sakit perut dan butuh bantuan Meisin. Namun rupanya, gadis itu tak ambil pusing, dia dengan serta merta mematikan sambungan telepon saat Owen memintanya datang ke kantornya. Benar-benar berpendirian kuat seperti karang di lautan. Walau seribu kali diterjang ombak, dia tak runtuh dan tetap berdiri kokoh tak bergeming sedikitpun. Hari ketiga, tak jauh berbeda dengan hari pertama dan kedua. Walau diiming-imingi uang untuk membayar hutang orang tuanya, Meisin tetap menolak. Baginya, lebih baik bekerja siang malam daripada menerima uang secara Cuma-Cuma terlebih dari lelaki asing seperti Owen. Tantangan tujuh hari itu adalah cara Meisin untuk bisa lepas dari Owen. Dia tak ingin, dirinya dan hidupnya selalu diusik oleh lelaki yang baru dikenalnya itu. Owen Wilson mulai frustasi karena sudah tiga hari, dirinya belum juga bisa mengambil tempat di hati perempuan yang diincarnya. Lebih tepatnya, bukan tentang hati yang ingin dia dapatkan, melainkan tubuh dan kemolekan gadis itu yang ingin dia cicipi seperti biasa dia dapatkan dengan mudah di club malam. Namun karena penolakan Meisin yang belum pernah dia dapatkan dari perempuan manapun, hal itu membuatnya menjadi ingin lebih dari sekedar menikmati tubuh gadis cantik itu. Sebuah rasa untuk memiliki cendrung menguasai dirinya. Meisin yang menurutnya berbeda dari perempuan yang biasa dia temui telah berhasil menarik perhatiannya. Komitmen yang dulu dianggapnya, sebagai sebuah benalu kehidupannya rupanya tumbuh sendiri untuk dia bangun bersama Meisin. Namun hal itulah yang justru membuatnya frustasi. Perempuan yang dia inginkan, sama sekali tidak memberikan celah untuk dirinya masuk dalam hidupnya. “Benar-benar mengesalkan!” umpatnya menyingkirkan semua barang yang memenuhi meja kerjanya. Srakkk ... Prang ... Kelontang .... Bunyi kertas berjatuhan, bunyi gelas yang membentur lantai dan bunyi souvenir tua peninggalan orang tuanya pun turut jatuh mencium lantai. Riuh suara yang ditimbulkannya, membuat asisten pribadinya datang walau dirundung takut, sebab dia tau betul bahwa saat marah tuannya akan berbuat kasar pada apapun dan siapapun di sekitarnya. Namun sudah menjadi tugasnya sebagai asisten pribadinya, dia harus siap melayani tuannya tak peduli bagaimanapun resikonya. “Mohon maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya bapak sedang kesal. Apa ada yang perlu saya bereskan?” tanya-nya takut-takut. Namun seperti biasa saat tuan-nya marah, maka dia perlu membereskan seseorang untuk meredakan amarah Sang Tuan. “Apa kamu bilang?” Owen bertanya dengan mengangkat sebelah alisnya. “Maaf, Pak. Apa ada yang perlu saya lakukan untuk Bapak?” tanya-nya sekali lagi dengan konsep berbeda. “Aku ingin mendapatkan gadis yang tempo hari bersamaku,” ucap Owen frustasi. Erly, yang tak lain adalah asistennya melihat sekali lagi pada tuan-nya. Seperti bukan Owen yang biasa dilayaninya. Owen sekarang tampak seperti singa yang kelaparan namun dia frustasi karena buruannya tidak tertangkap olehnya. “Saya ada kenalan dukun yang sekali sentuh akan membuat gadis itu tergila-gila pada bapak,” ucap Erly tersenyum. Dia adalah kaki tangan Owen. Dalam urusan perempuan, Erly cukup hapal bahwa Sang Tuan harus mendapatkan semua perempuan bagaimanapun dan apapun caranya. Bukan Owen namanya bila yang dia inginkan tidak mampu dia capai, apalagi hanya perempuan. Namun Meisin adalah perempuan berbeda, demi memenangkan tantangan itu. Owen mengikuti saran sang asisten untuk pergi ke dukun sesuai alamat yang telah dikirim via w******p oleh Erly. “Kampung Dukun, Jl.Keramat Jati nomer sebelas,” dia membaca ulang alamat yang diterimanya sejak siang tadi. Karena meeting dan beberapa hal yang harus ditanganinya, akhirnya dia sampai di perkampungan yang tertulis di alamat itu setelah petang. Aroma kemenyan menyeruak walau AC mobil telah dia nyalakan. Rupanya kampung ini dihuni oleh penduduk yang semuanya menjabat dukun sesuai bidang masing-masing. Tak banyak rumah di sini, hanya pepohonan dengan tinggi menjulang dan berjejer rapih membuat jarak rumah satu ke rumah yang lain berjauhan. Kampung dukun, sesuai namanya yang dihuni oleh para dukun membuat kesan tersendiri bagi Owen. Dia menggerakkan mobilnya pelan, sambil melihat nomer di pintu adalah nomer yang dia cari. Rumah yang berdiri angkuh dengan cahaya remang di pinggir jalan diantara banyak pepohonan yang rimbun menyerupai hutan. Sudah satu setengah jam, Owen menyusuri kampung dukun dengan jalan yang di pinggirnya hanya banyak pepohonan itu. Rumah penduduk jarang dia temui di perkampungan itu. Benar-benar seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Namun meski begitu, semangatnya tak luruh sedikitpun. Karena untuk mendapatkan hal istimewa, dia harus memperjuangkannya. Mobilnya masih bergerak pelan, cahayanya membelah kegelapan yang menyambut didepan sana. Settt ..., Sekelebat bayangan putih melintas cepat didepan mobilnya. Membuat Owen dengan cepat menginjak rem mobilnya, dalam hitungan detik mobil berhenti seketika. Namun sungguh naas, mobil yang berhenti tak bisa dia nyalakan lagi. Mau tidak mau, dia harus turun dan mengecek mesinnya sekaligus melihat kelebat bayangan tadi yang membuatnya terjebak di pertengahan jalan seperti ini. “Sial ..., aku nggak paham mesin,” katanya memukul sisi depan mobilnya yang terbuka. Dia melihat ke depan, yang dia dapati hanya gelap. Menoleh ke belakang, yang dia dapati hanya suara jangkrik di tengah gulita. Melihat ke sisi kiri kanan jalan hanya berdiri pepohonan yang membentuk pagar betis di sisi jalanan itu. “Mana HP-ku juga nggak ada sinyal lagi,” gerutunya menggerak-gerakkan HP-nya ke atas. Sekilas tampaklah sesosok manusia berjalan di jalanan depan. Walau gelap, masih tampak kelebat sosok itu karena temaram rembulan masuk di antara celah rimbunnya pepohonan. “Ah, syukurlah. Ada manusia yang bisa kumintai tolong,” ucapnya berlari mengejar sosok itu. Owen meninggalkan mobilnya dan berharap mendapat petunjuk soal alamat yang diingatnya di luar kepala. “Kemana orang itu?” ucapnya setelah cukup lama berlari namun sosok yang dikejarnya menghilang di pertigaan jalan. Dengan napas tersengal, dia tajamkan pandangan menyisiri jalanan, namun nihil tak ada siapapun di sana. Hanya gelap dan suara jangkrik yang bersahutan membuat kesan bahwa hanya dia seorang diri di tempat asing itu. Plak ... sebuah tangan menyentuh pundaknya. Owen seketika ingin berlari, namun akal sehatnya membuatnya tidak melakukannya. Tidak ada setan atau hantu di jaman modern seperti ini, pikirnya. Dia menoleh walau jelas ketakutan menguasai. Dan sesosok kakek tua berdiri dengan janggut putih panjang sampai d**a menatap tajam ke arahnya. “Ada perlu apa datang ke tempat ini?” ujar si kakek dengan suara seraknya. Dengan mengumpulkan keberanian, dia menatap si kakek dan melihat kakinya memastikan bahwa sosok di depannya adalah manusia. “E ..., Aku mencari rumah dukun nomer sebelas,” terang Owen. Ketakutannya mulai memudar setelah dia melihat bahwa kaki si kakek menapak tanah. “Ikut aku!” Tanpa menunggu jawaban Owen, Si Kakek berjalan memasuki rimbunnya pohon Pinus. Baru selangkah kaki Owen mengikuti langkah Si Kakek, aroma kemenyan tercium. Terasa kulit lehernya ditiup halus membangunkan bulu romannya. Namun melihat langkah tegap Si Kakek, membuat ketakutan itu bisa dia atasi. Dia hanya perlu berjalan mengikuti Si Kakek dan menemui dukun itu, begitu dia menguatkan dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD