POV Sania.
Berjalan melewati Om Dewa yang sedang menggulung lengan kemeja, hatiku teriris sakit merasa dipermainkan oleh dia juga putranya.
Kemarin, aku dipermalukan di depan semua orang oleh Kevin, sampai-sampai dicap sugar baby karena harus menikah dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahku. Dan semuanya tidak berakhir sampai di situ. Kevin berusaha merenggut paksa kehormatanku tepat di malam pertama aku menjadi ibu tirinya, sampai aku merasa sedikit traum akibat ulahnya itu.
Jika Om Dewa terlambat beberapa menit saja, mungkin saat ini hidupku sudah hancur sehancur hancurnya.
Sekarang, Om Dewa yang menancapkan luka di d**a, dengan cara mendatangkan istri tuanya ke rumah yang kami tinggali.
Kenapa titian takdir hidup jadi penuh duri yang malukai, Tuhan. Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan sehingga Engkau menghukum diriku seberat ini?
Duduk di kursi balkon, menatap dedaunan yang mulai meranggas di jalanan komplek. Gersang seperti hati ini.
Tanpa terasa air bah nan asin sudah meluncur menganak sungai di pipi, mengucur deras tanpa bisa dikendalikan.
"San, apa yang sedang kamu lakukan di tempat ini? Aku mencari-cari kamu di bawah, kamu malah sedang melamun di sini rupanya?" Terdengar suara berat Om Dewa disertai derap langkah kaki mendekat.
Segera menghapus air mata menggunakan punggung tangan, tidak mau sampai dia tahu kalau aku terluka karena dia telah berdusta.
Andai saja saat itu Om Dewa jujur kalau dia masih memiliki pendamping hidup, sudah pasti aku menolak untuk dinikahi dan memilih menanggung malu karena gagal menikah.
Sekarang, semuanya sudah terjadi. Dia sudah menjadi suamiku dan secara tidak langsung aku telah menjadi seorang perebut suami orang.
Pelakor kalau istilah jaman sekarang.
"San, are you oke?" Kini suara pria yang menyandang gelar suami terdengar itu kian mendekat.
"Aku baik-baik saja, Om. Tidak usah khawatir!"
"Kamu menangis?"
"Kangen sama Mama dan Ayah."
"Hmmm ... kalau kangen sama Mama dan Ayah kita bisa main ke sana."
Aku menoleh menatap wajah dengan alis tebal serta jambang tipis itu, memindai netra dengan iris hitam pekatnya mencoba mencari arti diriku di sana.
Om Dewa mambalas tatapanku dengan penuh kehangatan, selayaknya seorang ayah memindai putrinya yang sangat ia sayangi.
Ah, tapi mungkin tidak seperti itu. Dia adalah suamiku. Laki-laki yang sedang berusaha menerima juga mencintai diri ini dengan segenap hati.
Perlahan tangan kekar milik suami terulur, mengusap lembut pipiku yang basah membuatku merasakan desiran aneh serta aliran darah di sekujur tubuh mulai menghangat.
Aku tidak biasa diperlakukan selembut ini oleh laki-laki selain ayah. Bahkan ketika menjalin hubungan dengan Kevin, kami tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar batas. Kami hanya sekedar bertemu, bercengkrama sebentar dan itu pun ditemani oleh Mama. Kedua orang tuaku tidak pernah memberi izin kami untuk jalan hanya berdua saja, karena takut menjadi fitnah. Maka dari itu Ayah selalu mendesak Kevin untuk segera menghalalkan diriku.
"Jangan pernah menangis di depanku, Sania. Aku tidak bisa melihat kamu menitikkan air mata." Dia berujar dengan intonasi sangat lembut, sangat berbeda jika sedang berada di luar sana dan berbicara kepada anak maupun teman kerjanya. Om Dewa terlihat begitu tegas, lugas dan hampir tidak pernah tersenyum.
Tapi entahlah. Jika sedang bersamaku, dia begitu lemah lembut, tidak pernah meninggikan nada bicara dan selalu memperlakukan aku dengan begitu manis.
Ah, dasar buaya darat. Pasti dia berbuat seperti ini karena belum berhasil menyesap maduku. Mungkin jika sudah mendapatkan apa yang dia inginkan, sikapnya akan berubah dan menjadi kasar seperti biasanya.
"Tolong singkirkan tangan Om Dewa dari wajahku. Nanti istrinya Om liat dan cemburu. Aku tidak mau menyakiti hati sesama perempuan!" Menyingkirkan perlahan tangan suami, menundukkan wajah menghindari tatapannya yang begitu tajam bak burung elang sedang memindai mangsa.
"Istri aku ini ya kamu. Masa kamu cemburu liat aku menghapus air mata kamu sendiri?" Dia terkekeh, seperti sedang melihat adegan lucu yang tengah diperagakan.
"Istri tua, Om. Perempuan cantik tadi!"
Lagi, dia tertawa kecil dan mencubit hidungku gemas.
"Dia mamanya Kevin dan Ica. Kami sudah berpisah dua puluh empat tahun yang lalu, San. Dia meninggalkan aku bersama anak-anak karena aku miskin dan tidak bisa memberikan apa yang dia pinta. Hidup pas-pasan membuat dia menyerah dan mundur dari pernikahan yang sudah kami bina selama hampir tiga tahun dan memiliki dua malaikat kecil yang lucu-lucu."
"Tapi tadi wanita itu bilang kalau dia istrinya Om!!"
"Kamu cumburu?" Alis tebal lawan bicaraku bertaut hingga hampir menyatu satu sama lain.
Sungguh, pindaian Om Dewa terlihat begitu aneh, lucu, persis seperti anak muda yang sedang jatuh cinta.
Apa jangan-jangan Om Dewa mulai mencintai diriku?
Ah, masa iya. Pernikahan kami saja belum genap satu pekan. Rasanya mustahil sekali jika tiba-tiba Om Dewa memiliki perasaan spesial terhadap diriku.
"Bukan cemburu, Om. Aku kecewa karena merasa dipermainkan oleh Om dan juga Kevin. Aku tidak memiliki perasaan apa-apa sama Om, jadi, untuk apa cemburu? Aku hanya merasa sakit jika ternyata Om Dewa membohongiku!"
Riak wajah sang pemilik rahang tegas terlihat berubah. Apa ada yang salah dengan kalimat yang keluar dari mulutku?
"Aku tahu kalau kamu tidak mencintai aku. Tidak usah diperjelas." Om Dewa beranjak dari duduknya, membetulkan jas hitam yang ia kenakan lalu melangkah pergi meninggalkan diriku.
"Mau ke mana, Om?"
"Kerja. Memangnya mau ke mana?"
Segera mengangkat b****g dari kursi, mengambil tangan suami kemudian mencium bangian punggungnya dengan takzim menunjukkan rasa hormat serta bakti seorang istri.
"Ajari aku untuk menjadi istri yang baik, Om. Tegur aku jika berbuat salah. Maaf kalau kata-kata aku tadi menyinggung perasaan Om Dewa." Menggigit bibir bagian bawah, menunduk lemah menghidari pindaian suami.
"Kamu tidak salah, San. Kamu anak baik. Bismillah. Semoga saja aku bisa menjaga kamu selamanya. Yasudah. Aku berangkat kerja dulu."
Aku mengangguk lemah. Jujur aku merasa takut jika suami tidak ada di rumah dan hanya ditemani seorang asisten rumah tangga saja. Tapi mau bagaimana lagi, Om Dewa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami, apalagi dia ternyata menjadi donatur tetap di beberapa yayasan di kota ini.
"Kamu nggak usah takut. Sebentar lagi Ica datang bersama cucu kita. Ah, bahkan rasanya lucu sekali wanita muda seperti kamu harus dipanggil oma." Lelaki bertubuh tegap itu mengacak rambutku yang tergerai lalu menyambar tas kerjanya dan segera turun ke lantai bawah.
"Lho, Ayah sudah mau berangkat ke kantor? Kirain Ayah masih cuti?" tanya Clarissa yang baru saja datang. Setiap Om Dewa pergi memang dia yang ditugaskan untuk menemani aku di rumah, sebab masih trauma dengan kejadian yang menimpaku tempo hari.
"Ayah ada meeting hari ini dan tidak bisa diwakili. Titip Sania. Kalau ada apa-apa segera hubungi Ayah!"
Clarissa mengangguk dan segera menyalami tangan suamiku. Pun dengan Angel putrinya.
"Hari ini kita masak apa, San, eh, Mama. Ah aku bingung mau manggil kamu apa?" Clarissa terkekeh sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa harus bingung, Kak?"
"Kamu jangan lagi panggil aku kakak. Aku ini anak tiri kamu, Mama. Ingat?" Dia kembali tertawa.
"Terus harus manggil apa dong, Kak?"
"Ica saja nggak apa-apa."
"Nggak sopan dong? Kakak 'kan lebih tua dari aku?"
"Tapi kamu mamaku sekarang, dan lihat? Gadis kecil ini jadi cucu kamu."
Aku tertawa geli dibuatnya. Memang setelah bertunangan dengan Kevin kami berdua menjadi lebih dekat. Sudah seperti kakak adek sungguhan, dan ternyata Tuhan berkehendak lain. Dia yang tadinya akan menjadi kakak ipar, sekarang malah harus menjadi putri tiriku.
"Ya sudah. Aku ke supermarket dulu. Titip enjel sebentar, ya. Dia kalau tidur lama banget kok!"
Aku mengangguk dan mengambil Angel dari gendongan Clarissa, membawanya naik ke kamar atas lalu membaringkannya di atas ranjang berukuran besar dengan ukiran khas Jepara yang indah.
Drrrttt...
Drrrttt...
Berjengit kaget ketika mendengar suara getaran ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada panggilan masuk dari nomer tidak dikenal. Gegas menyambar benda pipih persegi berukuran enam inci tersebut, menekan ikon hijau lalu segera menempelkannya di telinga.
"Assalamualaikum," sapaku dengan intonasi sangat lembut.
Hening. Hanya ada suara lalu lalang kendaraan yang terdengar.
"Halo!! Maaf ini siapa?"
Tetap tidak ada jawaban. Segera memutuskan sambungan telepon, meletakkan kembali gawaiku di tempat semula dan membaca buku koleksi milik Om Dewa yang tergeletak di atas nakas.
Gawai milikku kembali menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari nomer yang baru saja menghubungi, akan tetapi saat aku menjawab panggilan tersebut tetap tidak ada suara siapa pun di seberang sana. Hingga akhirnya kuabaikan panggilan-panggilan itu, melanjutkan membaca menghilangkan rasa bosan yang terus saja melanda.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan w******p masuk. Lekas kubuka aplikasi berwarna hijau tersebut, menelan ludah dengan susah payah saat membasa isi pesan dari nomer yang sama.
[Kamu akan hancur. Hidup kamu tidak akan pernah tenang, Ja*ang. Aku akan selalu mengganggu hidup kamu hingga kamu mati karena ketakutan] Spontan melempar gawai dalam genggaman ketika membaca pesan dari pengirim misterius itu, sebab dia juga mengirimkan gambar sebuah belati serta tangan berlumuran darah.