Part 2

1250 Words
Sadewa memutar balik kendaraan karena tiba-tiba merasa gelisah. Dia terus saja memikirkan sang istri yang dia tinggal bersama anak-anaknya di rumah, membatalkan pertemuan dengan kolega yang menghubunginya dan meminta dia untuk bertemu saat itu juga, padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam.   Perasaan resah yang terus saja menyelimuti hati membuat dia memutuskan untuk kembali. Tidak masalah jika harus kehilangan investor, asalkan tidak terjadi sesuatu kepada Sania, wanita yang baru dia nikahi beberapa jam yang lalu.   Dengan mengayunkan langkah cepat Sadewa menaiki anak tangga menuju kamarnya, dan debaran di hatinya kian bertambah saat mendengar suara aneh di dalam kamar.   "Apa yang sedang kamu lakukan, Anak S*alan!" Tanpa basa-basi Sadewa menarik tubuh putranya dari tubuh Sania, menyeretnya keluar lalu menghadiahi pukulan tanpa ampun.   "Siapa yang mengajarkan kamu untuk berbuat asusila, Kevin?! Sania itu istri ayah kamu, wanita yang wajib kamu hormati!" sentak Sadewa dengan amarah kian membuncah. Berkali-kali didaratkannya tinju di wajah Kevin, tidak perduli dengan erangan serta ringisan pria yang sudah dia didik dengan penuh kasih sayang sejak bayi.   "Ada apa, Ayah?" Clarissa berlari tergopoh menghampiri suara gaduh di depan kamar sang ayah.   "Hubungi polisi, laporkan tindak pelecehan yang adik kamu lakukan kepada Sania sekarang juga!"   "Aku belum sampai melakukannya, Yah. Jangan penjarakan aku!" Kevin meraih kaki Sadewa, memohon ampun juga belas kasih darinya.   "Apa nunggu kamu melakukannya dulu baru Ayah harus marah?! kamu sudah melecehkan dia. Ayah tetap harus menghukum kamu!!"   "Tidak, Ayah. Apa Ayah tidak kasihan kepada Lisa. Dia sedang hamil. Siapa yang akan mengurusnya jika aku sampai dipenjara."   "David, bawa dia ke kantor polisi. Jangan sampai lepas!!" perintahnya lagi kepada David, suami Clarissa dan segera dijawab anggukan patuh oleh si menantu.   Dengan wajah Gusar pria dengan garis wajah tegas itu masuk ke dalam kamar, menghampiri sang istri yang sedang duduk sambil memeluk lutut di atas kasur.    Gurat ketakutan terpancar jelas di wajah perempuan yang seharusnya jadi menantunya itu, karena Kevin hampir saja merenggut kesuciannya andai Dewa terlambat datang walau hanya semenit saja.   "San, apa kamu baik-baik saja?" tanya Sadewa dengan intonasi sangat lembut, berjalan lebih mendekat lalu duduk di tepi ranjang.   "PERGI, JANGAN SENTUH AKU!!" jerit Sania histeris, menatap takut lelaki yang ada di hadapannya.   "Sania, Sayang. Kamu nggak usah takut. Aku Sadewa, suami kamu." Pelan serta hati-hati pria bermata sayu itu menyentuh pundak sang istri, mengusap air mata yang menganak sungai di pipi kemudian menggeser duduknya lebih mendekat.   "Kamu tidak apa-apa 'kan? Tidak usah takut ya, dia sudah pergi. Sekarang kamu aman." Diraihnya kepala Sania, menenggelamkan dalam pelukan kemudian mengusap lembut rambut yang sudah tidak beraturan.   "Nia takut, Om. Dia hampir saja menodai Nia. Jangan tinggalkan Nia sendirian. Nia takut!!" racau perempuan dalam dekapan si pemilik punggung lebar di sela isak tangisnya.   "Iya, aku tidak akan meninggalkan kamu lagi."   "Yah," panggil Clarissa pelan seraya berjalan mendekati ayah serta ibu tirinya.   "Tolong buatkan teh hangat untuk Nia, Ca!" perintah Sadewa kepada anak sulungnya, yang usianya empat tahun lebih tua dari Sania.   Dengan patuh Clarissa langsung berjalan ke dapur, membuatkan teh hangat seperti perintah sang ayah lalu segera kembali ke kamar dan mengangsurkan air seduhan teh beraroma melati tersebut.   "Minum tehnya dulu, Sayang."   Sania menyesapnya pelan-pelan karena masih gemetar, menatap Sadewa yang terus saja memindai wajahnya dengan tatapan yang sulit sekali untuk diartikan.   "Tolong ambilkan baju untuk ibu kamu, Ca."    Lagi, Clarissa mengangguk patuh. Dibukanya lemari besar yang bertengger di samping ranjang, namun perempuan berambut ikal itu mengerutkan dahi karena tidak ada pakaian wanita di dalam sana.   "Tapi di sini tidak ada baju Nia, Ayah. Ma--maksud aku baju Ma--ma." Sang pemilik bulu mata lentik terlihat bingung mau memanggil istri baru ayahnya dengan sebutan apa, sebab biasanya dia hanya memanggil nama saja karena memang usia Sania terpaut empat tahun lebih muda darinya. Clarissa sudah berusia dua puluh enam tahu sedangkan Sania baru berumur dua puluh dua.   "Pinjam baju kamu 'kan ada?"   "Tapi baju aku terlalu besar dan nggak ada yang panjang."   Sadewa nenyentak napas kasar. Dia menoleh menatap wajah putrinya, membuat Clarissa langsung menunduk takut dan segera ke kamarnya mengambil baju untuk Sania.   Sadewa memang terkenal tegas dan galak. Dia tidak pernah pandang bulu menghukum siapa saja yang salah, termasuk anaknya sendiri Kevin Dan Clarissa. Maka dari itu kedua buah hati dari istri pertamanya terlihat begitu patuh, lebih tepatnya takut kepada Sadewa.   ***   Malam kian beranjak larut. Suara detik jam mendominasi malam yang sunyi, membuat pria berusia empat puluh lima tahun yang sedang terbaring di atas tempat tidur bertambah gelisah.   Dipandanginya wajah lelap sang istri, mengulurkan tangan hendak mengusap pipi kemerah-merahan milik Sania namun ia urungkan karena sudah berjanji tidak akan menyentuh apalagi sampai merusak wanita yang ada di sisinya itu, meskipun dia tahu Sania itu halal baginya, setidaknya menurut agama, sebab pernikahan mereka berlum tercatat di kantor urusan agama.    Sadewa berniat ingin mendaftarkan pernikahan keduanya jika Sania sudah mantap, namun berjanji akan melepas sang istri jika suatu saat menemukan lelaki yang tulus serta menyayangi Sania dengan segenap jiwa.   Terdengar menyakitkan memang. Tapi itu memang janjinya sejak meminta izin untuk mempertanggungjawabkan perbuatan sang anak yang sudah mempermalukan keluarga Sania.   "Jangan tinggalkan aku sendirian, Om. Aku takut!" Spontan Sadewa kembali berbaring ketika hendak beranjak dari kasur dan tiba-tiba Sania mencekal lengannya.   "Aku tidak akan pergi." Kini suara lelaki dengan wajah penuh kharisma itu terdengar serak.   Tidak bisa dipungkiri, hasratnya sebagai lelaki normal tidak bisa tertahankan jika harus terus berbagi ranjang dengan seorang perempuan. Dua puluh empat tahun dia tidak pernah melakukan itu, semenjak Veronica--istri pertamanya tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkan dia bersama kedua buah hatinya karena saat itu keuangan Sadewa masih belum stabil. Dia masih menjadi seorang mahasiswa dan juga pegawai yang gajinya hanya cukup untuk makan dan membiayai kuliahnya saja.   Sadewa mencoba memejamkan mata. Satu sisi hatinya terus saja berbisik, mendorong dia untuk melakukan itu karena biar bagaimanapun Sania adalah istrinya. Wanita yang halal untuk ia gauli dengan atau tanpa cinta, tapi sisi lainnya menyuruh dia untuk bertahan sesuai janji yang sudah pernah dia ucapkan.   ***   Sadewa menarik kursi meja makan dan duduk di sebelah Sania yang terlihat sedang sibuk mengoles selai strawberry di atas selembar roti tawar. Mata pria dengan garis wajah tegas itu tidak lepas dari wajah cantik perempuan yang ada di sebelahnya, mulai merasakan kenyamanan karena sang istri begitu berbakti walaupun belum bisa memiliki dia seutuhnya.   "Kenapa liatin aku seperti itu, Om?"   "Tidak apa-apa. Kamu cantik!"   Sania menoleh dan segera menyodorkan sarapan yang sudah dia siapkan untuk suaminya, mengulas senyum seperti biasa menyembunyikan luka yang tengah bertahta di dalam d**a.   Ting! Tong!   Ketika sedang asik santap pagi berdua, tiba-tiba bel rumah Sadewa berbunyi. Sania segera mengangkat b****g dari kursi, mengayunkan kaki menuju pintu untuk melihat siapa gerangan yang datang bertamu.    "Maaf, cari siapa, Bu?" tanya Sania seraya memindai perempuan berjambul tinggi dengan riasan cetar yang ada di hadapannya.   "Mas Dewanya ada?" Sang tamu balik bertanya.   "Ada. Om Dewa lagi sarapan."    Tanpa basa-basi si perempuan masuk begitu saja melewati tubuh Sania, tanpa permisi apalagi mengucapkan salam.   "Maaf, Bu. Tolong jangan sembarangan masuk ke rumah orang. Ibu silahkan tunggu di teras biar saya panggilkan Om Dewa."   "Heh, Bocah Kecil. Saya ini istrinya Mas Dewa. Untuk apa harus minta izin terlebih dahulu jika ingin masuk ke dalam rumah sendiri!"   "Istri?" Mulut Sania menganga. Ia mengepalkan tangan, meremas gamis yang sedang ia kenakan sambil menahan air mata yang sudah hampir tumpah dari balik kelopak.   Ternyata Om Dewa tidak sebaik yang aku kira. Dia masih memiliki istri, tapi malah berani menikahi aku dengan alasan nama baik keluarga. Buaya tetap saja buaya. Tidak akan berubah menjadi kadal, apalagi kupu-kupu. Sania membatin sendiri, merasa begitu kecewa kepada lelaki yang menyandang gelar suami.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD