Jumpa Pertama

1188 Words
Mobil melaju pulang dengan lalu lalang manusia melintasi satu jalan sama berdesakannya dengan kepentingan yang beraneka ragam. Panorama senja yang sejatinya indah, tertutup debu-debu jalanan dan raut lelah wajah-wajah di balik kaca jendela mobil menatap pasrah detikan lampu merah yang berjalan sangat lambat. Di seberang sana tampak seorang bocah berteduh di bawah pohon rindang berdaun poster bergambar wajah yang sedang tersenyum penuh simpati dan janji-janji manis untuk kesejahteraan rakyat tertulis di bawahnya. “Bagaimana nasib bocah itu ketika mereka yang ada di gambar menepati janjinya? Mungkinkah dia akan menjadi atlet? Ataukah scientist? Atau justru bocah itulah yang akan meneruskan perjuangan pemilik wajah tersenyum yang ada di pohon itu?” Alana turut melamun menghayalkan hal-hal yang ditemuinya di sepanjang jalan pulang. Sejenak ia dikejutkan dengan intro drama full house lagu favorit Alana sejak kecil. “Iya, ada apa?" tanya Alana yang sudah menjawab panggilan masuk pada ponselnya. “Hah? Oke gue puter balik sekarang!” “Ada apa, Al?” tanya Mama Shinta yang heran. “Al pesan taksi online ya, Ma? Mama pulang duluan aja, Al puter balik dulu, ada masalah dari pihak WO-nya Anna.” “Okelah, Mama pulang aja, Mama memang udah pengen berendam air hangat di rumah,” jawab Mama Shinta yang sangat setuju. “An, pihak WO barusan telpon dan ngabarin kalo Mas Widi, fotografer yang kamu pesan kecelakaan, terus dia menyarankan fotografer lain, dan mau nunjukin beberapa hasilnya ke kita. Gue lagi arah putar balik nih, kita meeting di kafe baru depan butik ya!” Anna membuka pesan suara dari Alana, ia pun langsung beranjak pergi menuju ke tempat yang diminta Alana. Anna datang terlebih dahulu karena memang jarak rumah dan kafe hanya 5 menit jika naik motor. Sedangkan Alana lagi-lagi terjebak di lampu merah yang detikannya sangat lambat dan semakin lambat ketika tahu ia sedang ditunggu. *** Sesampainya di kafe, Anna dan pihak WO sedang memilih demo hasil jepretan dari beberapa fotografer. Lalu Alana nimbrung ikut memilih dan akhirnya menemukan sebuah foto pernikahan dengan kualitas gambar yang bagus dan editan yang sangat halus juga tampak real. Begitu pun hasil-hasil jepretannya tepat pada momen yang indah. Hasil gambarnya begitu terasa dan mengarahkan pemirsanya untuk menjelajah di suasana terciptanya gambar itu. Lalu mereka bertiga memilih pilihan yang sama. “Oke deal ya. Nanti saya akan hubungi fotografernya untuk acara minggu depan,” "Siap!” jawab Alana dan Anna secara bersamaan. *** Sinar matahari berubah menjadi mega-mega berwarna jingga ke merah-merahan yang tersebar semburat cahayanya di ufuk barat. Alana melaju dengan kecepatan yang rendah dengan tatapan mata kosong ke depan memikirkan segala sesuatu yang ditemuinya hari ini. Mungkin tentang bocah asongan tadi, mungkin poster-poster di pohon itu, atau desain-desain baju yang belum selesai. Kepala Alana selalu penuh dengan pikiran-pikiran yang membuatnya selalu sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. Di sebuah gang kecil tiba-tiba Alana melihat cahaya yang berbisik melambai seolah ingin mengajak Alana mengikutinya dan memiliki sesuatu untuk ditunjukkan pada Alana, seperti Merida dalam film Brave, Alana membelokkan mobilnyaa menuju entah di mana, mengikuti ke mana nasib akan membawanya. Mobil terus melaju hingga cahaya itu lenyap kemudian mobil yang ia tumpangi mendadak oleng, Alana memberhentikan laju mobilnya dan melihat ban belakangnya yang pecah. “Sial!” umpat Alana. “Harus banget pecah ban di tempat se-sepi ini? Tuhan…" Alana membuka pintu mobilnya dan keluar melihat keadaan sekitar ia berada di tengah hamparan persawahan yang sangat hijau dengan pantulan jingga dari langit barat yang menambah kesan alam yang alami dan indah. Hal yang sangat jarang ia nikmati semenjak ia fokus dalam menyempurnakan pekerjaan-pekerjaannya. Ia tak bergegas memanggil montir untuk menjemputnya, ia justru naik di kap mobil duduk termenung menghabiskan sisa cahaya mentari yang perlahan menggelap. Memang sejak semester terakhir kuliahnya, ia sudah tidak lagi meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Seluruh waktu adalah waktu kerja, jika senggang pun ia gunakan hanya sekedar maraton drama di Netflix bersama mbak Loly ART yang sudah ia anggap seperti keluarga itu. Dari kejauhan, di arah berlawanan, seorang laki-laki berperawakan kurus tinggi dengan helm bogo yang sudah tidak ada kacanya dengan motor vespa tua yang dimodifikasi sedemikian rupa melaju santai dan semakin lama semakin dekat jarak dengan mobil Alana. Semakin tampak jelas pula wajah tampan dengan hidung mancung, mata, dan rahang yang tajam, alis tebal hitam memperjelas kesan maskulin dalam dirinya. Di tangan kiri terlihat ada bara yang menyala diduga berasal dari cigaret yang ia buang tepat di depan Alana yang sedari tadi memperhatikan laju vespa itu berjalan lambat menghampiri mobil putihnya. “Hai manis, kenapa berhenti? Sedang menikmati pemandangan senja yang menawan? Atau kamu tahu akan ada pangeran tampan yang melintasi gang ini dan kamu sedang menunggunya? Canda, tunggu,” goda laki-laki berkaos oversize menyibakkan rambut gondrongnya sambil menatap ban belakangnya yang sudah tak berisi lagi. Alana menghela napas panjang, bagaimanapun ia muak pada laki-laki menyebalkan itu, ia tetap harus bersikap elegan. Lagian dia satu-satunya manusia yang lewat setelah hampir setengah jam ia duduk di kap mobil. Jika ia marah pada laki-laki tengil ini, nanti malah di apa-apain bisa panjang masalah. “Saya belum pernah melewati jalanan ini, mobil saya mogok tadi tiba-tiba, saya sedang menunggu montir saya datang. Mungkin sebentar lagi akan datang,” jawab Alana berbohong. Bahkan ia belum memesan montir untuk datang membenarkan mobilnya. “Boleh saya cek?” Alana menatap tajam dengan penuh keraguan. “Kamu hanya cukup bilang iya, kecuali kalau kamu lebih suka untuk pulang jalan kaki, setauku di sini terkenal rawan sih, banyak begal lagi," ancam laki-laki itu dengan nada tengil yang sangat membuat Alana sedikit takut, tapi Alana tidak ingin menampakkan ketakutannya. “Silakan!” sahut Alana pada akhirnya. Laki-laki itu menggulung kaos lengan panjangnya hingga memperlihatkan tangannya yang tampak tidak berurat itu lalu ia mulai mengganti ban yang bocor dengan ban serep Alana yang disiapkan di dalam bagasi mobil. Terlihat otot lengan laki-laki itu sedikit menonjol ketika ia sedang berusaha menahan dongkrak, keringat di pelipis tertahan oleh alis tebal hitam pekat yang melindungi mata tajamnya. Tak selang lama, roda pun sudah terpasang. Alana yang sedari tadi sibuk berbicara di telepon tidak menyadari bahwa laki-laki itu sudah lama memandanginya dan sudah naik di motornya. “Sudah selesai?” tanya Alana memastikan dengan turun dari kap mobilnya dan memeriksa roda belakangnya yang sudah terganti. “Terima kasih, ya." “Omar tapi gak pake Bakri,” sahut Omar yang langsung memperkenalkan diri setelah Alana mengucapkan rasa terima kasih padanya. “Terima kasih, Omar tapi gak pake Bakri,” ulang Alana sambil tersenyum tipis. “Baik, Nona Al,” balas Omar menyapa sambil membaca kalung bertuliskan inisial nama yang tersemat di leher jenjang Alana. “Alana,” Alana pun langsung memperkenalkan diri dengan singkat. Laki-laki itu mendekati Alana hingga membuat jantung Alana berdebar sangat kencang. Lalu berbisik padanya. “Alana, jika di suatu hari secara kebetulan kita bertemu lagi, itu tandanya kita berjodoh,” ucap Omar sambil memacu vespa tuanya dan berlalu pergi meninggalkan Alana yang masih diam terpaku di penghujung senja, di mana matahari tinggal menyisakan semburat tipis pada langit yang mulai menghitam itu. Mendengar hal aneh itu, Alana memicingkan mata tampak tak percaya ia mendengar kalimat itu. Namun Alana tak ingin berlarut dalam pikiran macam-macam, ia segera memasuki mobilnya dan melaju pulang. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD