Pernikahan Anna

1027 Words
Seorang wanita dengan binar mata yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan, dan mulut yang tidak bisa berhenti berbicara, sudah dua jam duduk di hadapan cermin besar dan lampu-lampu yang terang yang terfokus menyinari wajahnya yang tampak anggun dengan senyum gigi gingsulnya yang menawan. Sesekali ia mengeluarkan celetukan yang membuat seisi ruangan tertawa lepas. Ia selalu berbicara. Berbicara apa saja. Hal-hal kecil selalu jadi bahasan menarik untuk didengar jika pembicaranya adalah wanita mungil dengan tinggi tak lebih dari tinggi bahu calon suaminya. Ya, dialah Anna Elizabeth sahabat kecil Alana yang dalam beberapa jam lagi akan melangsungkan pernikahannya dengan Sam, pacar pertamanya sewaktu sekolah di jenjang menengah pertama. Di tempat lain, Alana tengah bersiap menghadiri hari istimewa ini dengan balutan kebaya warna lilac seragam dengan mamanya yang juga menyesuaikan dengan tema yang diusung Anna yang menerapkan konsep disney untuk pestanya. Dua anak-ibu ini memang tidak diragukan lagi dalam hal fashion. Semua hal yang ia kenakan pun ketika hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur, akan ia pertimbangkan. Mereka memarkirkan Honda Jazz merahnya di depan sebuah gedung hotel bintang 5 di kotanya, beberapa detik kemudian sebuah lamborghini merah yang dengan lincah terparkir tepat di sebelah mobil Alana. Sejenak keluar seorang pria bertubuh kekar dengan kulit putih khas bulenya sangat cocok dipadu dengan setelan kemeja biru yang ia kenakan. Pria itu mendekati mereka. “Halo Tante Shinta. Makin cantik saja calon mertuaku ini,” sapa seorang pria itu dengan rayuan gombalnya. “Alana Moeloek. I know we’ll meet here, baby,” Pria itu mendaratkan kecupan di punggung tangan Alana yang berhasil diraihnya. “Sendiri saja, Nic? Kapan pulang dari Amerika? Sudah lama sekali kamu gak main ke rumah Alana,” Mama Shinta bertanya dengan binar mata yang lebih lebar dari biasanya. “Iya tan, Nic belum sempat main ke rumah, sedang ada proyek penting yang harus diselesaikan, belum lagi ekspansi usaha Papa yang sekarang sudah sampe luar negri,” jawab Nicholas dengan mata yang selalu fokus pada wajah anggun Alana. Alana yang tidak tertarik dengan topik ini berbalik mempercepat laju langkahnya untuk segera menemui sahabat dan meninggalkan ibu juga teman sekolahnya yang tengah asyik membicarakan bisnis. Entah bisnis atau urusan lain. Alana memilih untuk tidak merusak moodnya hari ini. Ia fokus akan kebahagiaan sahabatnya dan memastikan acara hari ini akan lancar. Di ballroom hotel yang disulap bak istana megah, kursi tertata rapi melingkari meja bundar dengan hiasan bunga dan aneka makanan terhidang di tiap mejanya. Terdapat dua singgasana serba putih dihiasi dengan bunga-bunga terpampang di setiap sudut. Di sebuah spot terdapat kue raksasa menjulang tinggi berbentuk kastil rapunzel yang sangat epic dan tampak nyata. Alana sangat puas melihat hasil kerjasamanya dengan wedding organizer pilihannya yang beberapa pekan terakhir selalu mengadakan pertemuan untuk kesempurnaan acara sahabat kecilnya ini. Alana dengan langkah cepatnya berjalan pasti menuju kamar No. 249. Kamar di mana Anna seorang gadis bertubuh mungil yang tidak pernah menunjukkan wajah murungnya mempersiapkan diri dengan MUA yang lagi-lagi merupakan rekomendasi dari sahabatnya, Alana. “Oh my beautiful bride,” ucap Alana terkagum-kagum melihat aura wajah calon pengantin yang begitu kuat dan tajam. Entah itu pengaruh make up atau memang inner beauty dari Anna yang terpancar. “Hi, Al… Tante Shinta mana?” tanya Anna yang bergumam kaku karena tidak bisa menggerakkan bibirnya lantaran sedang dipoles lipstik oleh periasnya. “Di bawah, lagi pacaran sama brondongnya,” jawab Alana yang bernada candaan. “Hah? Nicholas maksud lo?” tanya Anna menahan tawa karena merasa geli. “Masih aja ya Nicholas ngejar-ngejar lo, pake acara ngedeketin nyokap lo lagi!” umpat Anna yang merasa tidak suka dan benci pada sosok Nicholas. “Iya, dia tau nyokap gue sosialita yang materialistik tulen,” gerutu Alana mengangkat bahu dan mencoba mengalihkan pandangannya pada sebuah gaun putih yang siap dikenakan beberapa menit lagi. Alana melepaskan gaun putih itu dari patungnya, lalu mengenakannya pada Anna yang sudah selesai make up. Tak lupa ia memasangkan aksesoris-aksesoris gaun yang menambah kesan anggun sang putri. Dan memasangkan sepatu tercantik yang pernah Alana beli sebagai hadiah pernikahan Anna. “Al, lo adalah orang paling penting dalam hidup gue,” ucap Anna dengan tatapan serius berkaca-kaca. Alana tidak menjawab apa pun, ia langsung memeluk wanita yang sudah bersamanya sejak ia belajar jalan hingga saat ini, ia menyaksikan perjalanannya mengarungi kehidupan yang baru. “Kita akan tetap begini, selamanya kita akan terus begini, apa pun yang terjadi, apa pun kesibukan kita, dan apa pun status kita nantinya, kita akan tetap menjadi sahabat," lanjut Anna dengan lirih. “Udah ah, geli gue," pungkas Alana melepaskan pelukan dan mengelap matanya yang berkaca-kaca. “Kak, tolong di touch up lagi sahabat gue ini, belum mulai udah mellow aja dia,” Alana meminta pada perias termahal di kotanya itu untuk memoles ulang dan memastikan sang pengantin terlihat sempurna. *** Sesaat kemudian suasana di ballroom hotel cukup ramai, tampak tamu-tamu sudah mulai berdatangan menunggu pengantin menampakkan kebahagiaannya. Anna dan suaminya sedang sibuk menyalami satu persatu tamu undangannya tanpa membedakan siapapun. Anna adalah manusia terhumble yang pernah ada di dunia. Ia bisa berteman dengan siapa saja dan dari kalangan apa saja, dalam keadaan apapun, Anna adalah teman ngobrol terbaik yang tidak pernah menolak untuk diminta tolong dan batuan. Tak heran, banyak sekali manusia yang diundang untuk menghadiri resepsi mewah ini. dan semua orang merasa istimewa dibuatnya. Alana yang tampak tidak nyaman dengan keramaian mencari tempat yang sepi dan nyaman sekaligus menghindari Nic dan mamanya yang akan membuat suasana hatinya makin kacau. Alana berjalan menuju sebuah sudut ruangan yang terlihat tampak sepi dan nyaman untuk menyendiri. Alana melihat pemandangan kota di balik jendela kaca yang terawat bersih nyaris tak berdebu, dilihatnya gedung- gedung yang mulai tumbuh tinggi akibat pesatnya pembangunan beberapa tahun terakhir. Terasa sekali perubahan kota kecil tempat Alana tumbuh mandiri dan menjadi wanita tangguh tanpa sosok ayah yang mendampinginya. *** “Aku juga begini, menyepi di tengah keramaian, untuk mendengarkan keramaian yang riuh di kepala sendiri." Tiba-tiba dari belakang Alana dikejutkan dengan suara yang tidak asing di telinganya “Elo?” Alana membalikkan badan dan memandangi wajah pria itu dengan tatapan terkejut memastikan bahwa ini nyata dan dirinya tidak sedang berhalusinasi. “Hai jodohku, kebetulan kita bertemu lagi," sahut pria yang sedang menaik turunkan alis tebal dengan wajah tengilnya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD