“Siapkan helikopter menuju lobby bandara, saya ada di sini,” ujar Bima tegas pada sambungan di ponselnya. Gempa sudah berhenti, tetapi bekas-bekas kerusakan masih tampak nyata di setiap sudut. Darian terus berkutat dengan ponselnya sejak tadi, namun tak ada kabar apapun tentang adiknya, Kirani.
Hatinya gelisah, seperti terperangkap dalam badai tanpa pelabuhan. Ponsel Kirani mati, dan satu-satunya pilihan yang tersisa adalah pergi ke sana sendiri. Tapi dia takut, takut akan apa yang mungkin dia temukan.
“Bima, Kirani gak bisa dihubungi, gue harus gimana?” suaranya penuh pasrah, tubuhnya tegang, dan setiap gerakan tangannya bergetar. Penyesalan membebani hatinya. Seharusnya dia membiarkan Kirani tetap di rumah, meskipun ada bencana di sana, mungkin tak akan seburuk ini jika dia tetap berada di tempatnya.
Pantai Rindu, tempat yang mungkin sudah dihantam tsunami. Darian tahu dia seharusnya memikirkan kemungkinan terburuk itu, dan sekarang kekhawatirannya berubah menjadi bencana.
Bima menepuk bahunya, mencoba memberikan kekuatan. “Ayo kita ke sana, cari Kirani.”
Darian menggeleng pelan. “Gue gak bisa. Gue selalu jadi biang sial buat orang-orang yang gue sayang. Gue gak mau hal itu terjadi lagi ke Kirani,” ujarnya, suaranya bergetar penuh kesedihan.
“Oh ayolah, Yan. Ini bukan salah lo, ini takdir. Kiran pasti lagi nyariin lo juga,” bujuk Bima, mencoba menyalakan secercah harapan.
Tapi Darian tetap menggeleng. “Gue di sini aja,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. Matanya menatap kosong ke depan, seolah melihat jurang yang tak berdasar. “Gue cuma pembawa sial.”
Bima berdecak kesal. “Jadi lo mau gimana? Keadaan mendesak sekarang, kita harus cepat ke sana.”
“Emangnya kita bisa ke sana?” tanya Darian, keraguan jelas terlihat di wajahnya. Jalur mungkin ditutup, tak ada orang luar yang diizinkan masuk kecuali dengan keperluan khusus atau sebagai relawan.
“Bisa,” tegas Bima. “Gue punya izin untuk pergi ke sana.”
“Oh iya, lo si Raden Bima Prabaswara, pasti bisa apa aja,” jawab Darian acuh tak acuh, tetapi matanya penuh kegelisahan, seperti ombak yang terus menghantam pantai tanpa henti.
Bima tahu, Darian sedang berada di titik terendah. Namun, di balik semua itu, masih ada secuil keinginan untuk menyelamatkan adiknya. Entah apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Darian.
“Lo kenapa, Darian?!” Bima semakin kesal. “Ini adik lo, lo abangnya kan?!”
Darian menggeleng lagi. “Selama ini gue cuma bikin Kiran sakit hati. Dia yang nanggung semua beban yang gue bikin. Padahal, kita udah berusaha memperbaiki semuanya, tapi gara-gara gue lagi, Kiran kembali hancur, Bim,” keluhnya dengan suara penuh penyesalan. “Gue cuma penghancur kehidupan Kiran, lebih baik gue gak ada di samping dia.”
Bima menampar Darian, keras. “Lo salah besar, Darian! Kiran pasti ingin lo di sampingnya sekarang. Lo abangnya, sumber kekuatan dia. Jangan pesimis, buang jauh-jauh pikiran kayak gitu. Bukannya membantu, lo malah bikin dia tambah sakit kalau lo tinggalin dia sekarang.”
Darian tertawa getir, suara yang penuh kepahitan. “Gak akan ada perubahan. Gue akan tetap di sini. Jadi, Bima... tolong selamatkan Kiran, tolong temuin dia... Gue gak sanggup kalau harus pergi ke sana...” Airmatanya mengalir deras, seperti hujan yang turun tanpa henti.
“Harapan kita udah hancur sebelumnya, Bim. Kalau gue melihat keadaan Kiran sekarang dalam kondisi sadar, harapan itu akan semakin hancur, berkeping-keping,” ucapnya lirih, suaranya serak menahan pilu yang mendalam.
Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir semua beban yang menghimpit dadanya. “Gue akan tetap di sini.”
Bima menatapnya dengan tak percaya, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Darian tampak seperti seseorang yang takut menghadapi kenyataan yang mungkin lebih buruk dari bayangannya. Kiran tiada—itu yang selalu menghantui pikirannya, dan dia tidak ingin mendengar kenyataan apapun yang mungkin terjadi.
“Oke, gue akan cari Kiran. Gue janji bakal temuin dia dalam keadaan selamat,” meskipun ada keraguan di dalam hatinya, Bima menyingkirkan pikiran itu, mencoba memegang janji yang baru saja diucapkannya.
Darian tersenyum tipis, senyum yang penuh kegetiran namun mengandung secercah harapan. “Gue percaya lo, Bima.”
***
Bima duduk di kursi belakang helikopter, headset terpasang erat di kepalanya. Suara mesin yang menderu mengisi kabin, sementara baling-baling di atas berputar kencang, memotong udara yang basah oleh hujan. Di hadapannya, tim SAR duduk dengan wajah serius, mengenakan peralatan lengkap—helm, rompi pelampung, dan perlengkapan lainnya. Mereka sudah siap menghadapi apapun yang menanti di bawah sana.
Pilot, seorang pria berpengalaman dengan sorot mata tajam, menekan tombol pada headset-nya. "Kita hampir sampai di lokasi, Pak Bima. Tsunami sudah menghantam, kerusakan besar terlihat dari udara."
Bima mengangguk, meski pilot mungkin tidak melihatnya. Dia memandangi lautan yang bergelombang di bawah, dengan ombak yang masih mengamuk. Garis pantai yang porak-poranda terlihat jelas, bangunan-bangunan yang dulu kokoh kini rata dengan tanah, tersapu air bah.
Helikopter terus melaju, menembus angin kencang dan hujan deras. Di sekelilingnya, para anggota tim SAR memeriksa perlengkapan mereka sekali lagi, siap untuk segera turun begitu helikopter mendarat. “Fokus kita adalah menemukan Kiran,” kata Bima dengan suara yang tegas, meski hatinya diliputi kecemasan. Dia tahu betapa genting situasinya—setiap detik sangat berarti.
Pilot mulai menurunkan ketinggian, mencari tempat yang aman untuk mendarat. Dari jendela, Bima melihat lebih dekat kehancuran yang disebabkan oleh tsunami. Puing-puing rumah berserakan, jalan-jalan terputus, dan air yang masih menggenangi sebagian besar daerah itu. Dia mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk dari benaknya, hanya fokus pada satu tujuan—menyelamatkan Kiran.
“Kita mendarat di sana,” Bima menunjuk sebuah area yang tampaknya cukup stabil. Tim SAR mengangguk, siap untuk bertindak.
Helikopter mendarat dengan lembut di sebuah lapangan berlumpur yang penuh dengan puing-puing. Begitu pintu helikopter terbuka, tim SAR langsung turun, bergerak cepat dan efisien, mencari tanda-tanda kehidupan di tengah kehancuran. Bima mengikuti mereka dengan tekad kuat, rasa cemas bercampur dengan harapan. Dia harus menemukan Kiran—apa pun yang terjadi.
***
Bima berdiri di depan hotel tempat Kirani dan teman-temannya singgah. Hotel yang seharusnya menjadi tempat berlindung dari ancaman alam kini tak lagi berbentuk. Bangunan kokoh itu telah menyatu dengan tanah, hanya menyisakan puing-puing yang berserakan. Tempat yang seharusnya menjadi perlindungan kini seperti mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan. Kursi kayu di lobi kini hanyalah onggokan kayu yang pecah dan berserakan, seolah tak pernah ada kehidupan di sana.
Pencarian sudah berlangsung selama lima hari. Namun, Bima belum menemukan tanda-tanda keberadaan Kirani. Harapan yang semula begitu kuat mulai terkikis. "Tuhan, tolonglah, di mana Kirani..." bisiknya penuh keputusasaan.
Air laut perlahan mulai surut, meninggalkan jejak kehancuran di belakangnya. Keadaan memang sedikit membaik, namun luka yang ditinggalkan oleh tsunami itu sangat dalam. Rumah-rumah rata dengan tanah, tak ada yang tersisa kecuali reruntuhan yang bercerita tentang kebinasaan.
Seorang anak buah Bima mendekat dengan wajah tegang, membawa berita yang mungkin menjadi petunjuk terakhir.
"Pak, kami menemukan rekaman CCTV dari jalan dekat lautan," katanya dengan suara serius. "Kami melihat mobil berhenti, dan seseorang yang mirip Kirani keluar bersama seorang lelaki. Namun, rekaman itu terputus sesaat setelah Kirani keluar dari mobil."
Perkataan itu seperti petir di siang bolong bagi Bima. Harapan yang hampir pupus kembali menyala, meski diselimuti kecemasan. Hatinya berdebar, seolah-olah waktu berhenti sejenak menunggu jawaban yang masih tersembunyi di balik misteri alam.
***
"Wah, beruntung banget ya cewek lo nanti," ucap Kirani dengan sedikit tawa, mengingat janji Zean yang ingin memperlakukan pacarnya seperti ratu seumur hidup.
"Iya, lo beruntung," jawab Zean lirih, seolah ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Lo ngomong apa?" tanya Kirani, penasaran.
Zean menggeleng pelan. "Pantainya tenang banget, Ran," ucapnya sambil menatap jauh ke arah laut. Di kepalanya, seperti ada alarm yang berbunyi, memberi tanda bahaya. Matanya melirik burung-burung yang terbang acak ke langit, semakin tinggi, seakan-akan mereka tahu sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Mata Zean kembali pada Kirani, kini penuh kecemasan. "Ran, pantainya!"
Tanpa menunggu jawaban, dia meraih tangan Kirani dan menariknya cepat, menuju mobil. Suara riuh dari warga mulai memenuhi udara, teriakan mereka bersahut-sahutan, memperingatkan satu sama lain untuk menjauh dari pantai. Bencana sepertinya sudah dekat.
Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Zean tiba-tiba berkata dengan tegas, "Pak, biar saya yang nyetir!"
"Tapi, Mas..." sopirnya terdengar panik, tak yakin.
Kirani, duduk di belakang kursi penumpang, sibuk mencoba menghubungi teman-temannya. Tapi tak ada balasan. Kecemasannya kian meningkat.
Zean dengan cepat mengeluarkan segepok uang dari dompetnya, menyerahkannya kepada sopir. "Ayo, Pak, bapak gak denger dari tadi warga sini teriak-teriak??!"
"Teriak apa, Mas?" tanya sopir itu bingung.
"Tsunami, Pak!"
Seketika, sopir itu dengan panik pindah ke kursi samping, sementara Zean segera mengambil alih kemudi dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Suara klakson dari belakang membuat Zean melirik spion. "Kirani, itu mobil Adit!" ucapnya lega.
Kirani mendapati telepon masuk. "Astaga, Kiran!" teriak suara di seberang.
"Kita gak sempat beres-beres barang! Mobil Nindy juga gak sempat kebawa! Kita berempat di mobil Adit seada-adanya, karena dengar kabar mau tsunami!" Ujar Diva dengan suara terengah-engah.
Kirani langsung panik. "Gak apa-apa, lupain barang-barang kalian! Ini lebih genting! Sekarang kita harus ngejauh dari pantai! Ngebut sejauh mungkin ke dataran tinggi!"
Di kursi belakang, Agatha mulai menangis histeris, menatap kaca belakang dengan ngeri. "Astagaaaaa, airnya surut!! Ya Tuhan, Mamaaaa Papaaa, huaaaaa," jeritnya, menangis tanpa henti.
Nindy yang duduk di sebelahnya segera meraih tangan Agatha, mencoba menenangkannya. "Astaghfirullah, Agatha... tenang, kita selalu dalam perlindungan Allah. Baca sholawat, doa, jangan berhenti berdoa. Allah pasti menjaga kita," ucap Nindy dengan suara lembut, mencoba memberikan kekuatan di tengah ketakutan yang melanda.
***
"Aaaa, Adit! Airnya makin tinggi!" teriak Diva, suaranya bergetar saat ia melihat ke belakang, ke arah gelombang yang semakin mendekat.
Agatha sudah berada dalam pelukan Nindy, menangis dan menjerit dalam ketakutan, seolah dunia di sekitarnya runtuh.
Mobil Zean tiba-tiba berhenti di bawah jembatan. Tanpa berpikir dua kali, Zean dan Kirani keluar. Adit dan yang lainnya segera mengikuti.
"Kesini!!" Zean berteriak, mengarahkan mereka untuk berlari ke arahnya.
"Kenapa kita kesini, Zean?!" tanya Adit dengan napas terengah, sementara air laut yang tinggi sudah tampak siap menghantam mereka.
"Di bawah sini ada bunker! Adit, bantu gue tarik ini!" Zean menunjuk pintu besi yang berat, dan tanpa ragu, Adit segera membantunya mengangkat.
Pintu mulai terbuka, tapi air laut semakin mendekat, deras dan mengancam. Agatha, yang panik, ikut menarik pintu besi itu, berharap bisa membukanya lebih cepat.
"Arrgghh," teriak Zean dan Adit, sekuat tenaga mereka berusaha membuka pintu tersebut.
Begitu pintu terbuka, Agatha langsung melompat masuk, nyaris tersandung dalam kepanikannya. Zean, tak mempedulikan sikap sembrono Agatha, segera menarik Kirani untuk masuk. Waktu terasa berlomba dengan air laut yang semakin dekat, membuat semuanya bergerak dalam kepanikan.
Setelah Zean masuk, Nindy yang dibantu Adit segera menyusul. Dengan cepat, Zean membuka pintu lain yang terkunci, menggunakan kode yang ia hafal. Pintu itu terbuka, memperlihatkan tangga yang menurun ke dalam kegelapan. Agatha segera melangkah masuk, namun Kirani terdiam di ambang pintu, wajahnya mendadak pucat.
"Zean, di mana Diva dan Adit?" tanyanya dengan suara bergetar, cemas.
Nindy, yang berada di belakang mereka, langsung mendongak, matanya menyapu ke atas.
Di atas, Diva tiba-tiba teringat sesuatu yang penting. "Adit! Kalungku ketinggalan di mobil!" Wajahnya memucat, dan tanpa pikir panjang, ia berlari kembali menuju mobil. Adit berteriak, suaranya pecah oleh kecemasan. "Diva!!"
Sopir yang bersama Kirani dan Zean muncul di pintu bungker, napasnya tersengal-sengal.
"Pak, teman saya kenapa tidak masuk?" Zean bertanya dengan nada cemas, matanya penuh kekhawatiran.
"Teman mas tadi malah lari ke mobil. Saya coba panggil, tapi mereka tidak dengar," jawab sopir itu, masih terengah.
Detak jantung Zean semakin cepat, ia bergegas kembali ke atas. Air makin mendekat, ancamannya kian nyata. "Adit! Diva! Cepetan!"
Di luar, Diva keluar dari mobil, tapi matanya masih sibuk mencari. Kalung pemberian ibunya belum juga ditemukan.
"Kamu masuk duluan aja, Adit!" desaknya, meski panik terlihat di matanya.
Adit menatapnya dengan gelisah. "Diva, airnya makin tinggi! Kita harus cepat!"
Diva tersenyum lega ketika akhirnya merasakan kalung itu di tangannya. "Ketemu! Ayo, Adit, aku sudah dapat!"
Mereka segera berlari menuju pintu besi, sementara Zean memandang mereka dari kejauhan, matanya melebar oleh ketakutan yang mengejar mereka di belakang.