bc

Notasi Rindu

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
family
HE
age gap
tragedy
bxg
secrets
lawyer
substitute
like
intro-logo
Blurb

Di antara dua hati yang saling merindukan tanpa pernah saling mengungkapkan, cinta tumbuh dari tatapan pertama yang penuh magnetisme. Kirani, yang belum pernah merasakan cinta, merasakan getaran yang tak tertahan saat Bima datang ke rumahnya. Awalnya, Kirani berniat marah pada Darian, tapi tatapan Bima membuatnya berdebar-debar, membingungkan perasaannya yang baru ini.

Namun, saat mereka mulai membuka diri, bencana besar memisahkan mereka. Tsunami dahsyat melanda Pantai Rindu yang indah, tempat Kirani tengah berada saat bencana terjadi. Sementara Bima, yang merasa cemas dan tidak bisa tenang, berjuang mencari Kirani di tengah kehampaan dan kehancuran. Pencariannya tampaknya sia-sia.

Ketika bencana menghancurkan segalanya, apakah cinta mereka yang tak sempat berkembang akan menjadi satu-satunya harapan di tengah kegelapan?

chap-preview
Free preview
Kedamaian
Kita adalah manusia yang diliputi oleh harapan. Harapan yang terkadang terasa seperti benang halus—terlihat kuat namun mudah terurai oleh kenyataan. Kirani, seperti banyak dari kita, mendambakan hidup sesuai keinginannya—siapa yang tidak ingin setiap harapan terwujud? Dalam lamunannya, Kirani membayangkan kebahagiaan bersama keluarga, mendapatkan nilai terbaik di kampusnya, menemukan cinta sejati, dan kelak menjadi seorang ibu. Semua impian sederhana ini selalu menghantui pikirannya, seakan bersinar seperti bintang di langit malam, namun tetap jauh, hanya menjadi kilauan yang tak bisa digapai. Namun, kenyataan sering kali menjadi badai yang menghancurkan harapan. Keluarga Kirani tak pernah benar-benar merasakan bahagia, terutama setelah kepergian ayahnya. Kehilangan itu membuatnya merasa seperti bayangan dalam cermin—cahaya yang ada hanya untuk menyakiti, tak pernah benar-benar menghangatkan. Sejak ayahnya pergi, keluarganya seperti kapal tanpa kompas, terombang-ambing di lautan gelap tanpa arah. Kirani bertekad untuk mengubah nasib, menghapus kepedihan yang menggerogoti rumahnya. Meski tanpa kehadiran sang ayah, Kirani tidak ingin menyerah. Dia berharap ibunya dan saudara-saudaranya bisa menemukan kembali cahaya di tengah kegelapan yang menelan hidup mereka. Namun, harapan sering kali tak berdaya menghadapi ego yang mengakar. Usaha Kirani terasa bagai menulis di atas air—semuanya menguap tanpa jejak. Keretakan dalam keluarganya seolah tak tertembus. Meski berusaha mengingatkan mereka bahwa egois hanya akan mendatangkan penyesalan, segala usaha Kirani terasa sia-sia. Dia mendambakan kehidupan yang damai, seperti aliran sungai yang tenang, di mana suara lembut airnya bisa menenangkan jiwa. Kirani ingin merajut kembali hubungan yang telah retak, menyatukan keluarga yang tercerai-berai. Meski harapannya terasa seperti bayangan, ia terus berlari mengejar impian itu, berharap suatu hari cahaya akan mengusir kegelapan dari hidupnya. *** “Kiran, kenapa diam saja? Mama minta kamu bersih-bersih, bukannya?” Suara Dina menggema, nadanya tajam, seperti ingin menembus kebisuan Kirani yang terbaring di sofa dengan mata terpejam. Kirani membuka matanya perlahan, memperlihatkan kelelahan yang mendalam. “Udah, Ma,” jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar, seolah beban hidupnya membuat setiap kata terasa berat. Hari Minggu, yang seharusnya jadi waktu istirahat, baginya justru terasa seperti tugas tanpa akhir. Pembantu yang biasanya membantu terpaksa absen karena suaminya sakit. “Apa yang terjadi? Kamar abangmu itu masih berantakan!” nada tinggi Dina menyambar seperti petir, membuyarkan ketenangan sesaat yang dirasakan Kirani. “Ma, aku sudah bersih-bersih. Kamar abang bau rokok, bikin Kiran sesak,” jawab Kirani sambil merenggangkan tubuhnya, merasa seperti burung dalam sangkar yang tidak pernah dibebaskan. Dina berdecak kesal, tatapannya menghunus, menambah beban yang sudah berat di punggung Kirani. “Itu cuma alasan! Buruan bersihin!” Dengan hati yang berat, Kirani mengiyakan, meski hatinya terasa semakin beku. “Iya, Ma, iya...” Dia bangkit dari sofa, langkahnya terasa berat di bawah tatapan tajam ibunya. Seperti bayangan yang tak pernah meninggalkannya, tugas-tugas terus menumpuk, menekan dirinya tanpa henti. Saat dia menaiki tangga, setiap langkah seakan menggiringnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. “Anak rasa b***k,” pikirnya, getir. Ibunya sepertinya tidak melihat betapa lelahnya dia. Pagi tadi, Kirani sudah menyapu halaman, menyiram tanaman, mencuci mobil, motor, hingga sepeda adiknya. Itu semua setelah menyelesaikan tugas kuliah yang membuatnya kewalahan. Memasak, mengangkat galon, hingga mengganti gas—semuanya terasa menguras tenaga. Ketika Kirani tiba di kamar abangnya, dia menemukan pemuda itu masih tertidur nyenyak, seolah terjebak dalam mimpi yang tak ingin dilepaskan. Kamar itu seperti gua tanpa cahaya, penuh dengan putung rokok dan botol-botol alkohol kosong. Dengan gemas, dia mengumpulkan botol-botol itu, menggenggamnya dengan keras hingga suara denting kaca memecah kesunyian. Namun, abangnya tetap terlelap, tak terganggu oleh kegaduhan yang dibuatnya. “Dosa apa yang udah gue lakuin sampai punya abang kayak dia,” keluhnya, menahan amarah yang membara. Sampah-sampah sudah terangkut, dan saat dia menyalakan vacuum cleaner, bunyi bising itu hanya menambah ironi—tidak ada yang terbangun dari kegelapan itu. Kamar itu kini tampak bersih dan rapi. Kelelahan yang dirasakan Kirani semakin berlipat ganda. Dia ingin istirahat, namun notifikasi ponsel di meja sudut kamar menarik perhatiannya. Dengan enggan, dia menghampiri meja itu dan melihat ponselnya yang terus bergetar. “Rann, are you okay?” Suara panik dari seberang telepon membuatnya terheran. “Gue okay aja, lo kenapa?” Kirani menjawab sambil mengangkat telepon dan melangkah keluar dari kamar, menuruni tangga dengan hati-hati. Dia merasa lega tak melihat ibunya yang kadang muncul tiba-tiba dengan segudang tugas. “Kayaknya gue nggak bisa cerita ini lewat telepon, mending lo ke rumah gue sekarang!” “Sekarang banget?” tanyanya, merasa letih. “IYA!” Dia menggaruk kepala yang tak gatal, frustrasi. “Besok aja, deh. Gue capek banget,” suaranya serak, penuh harap. “Gak bisa! Nanti kita istirahat di kamar gue, sekarang lo harus kesini!” “BURU!” Dengan desahan lemas, Kirani akhirnya menyerah. “Iya-iya, on the way.” Dalam keengganan, dia keluar rumah dengan pakaian seadanya, meskipun rasa lelahnya terus mengintai. Untung, AC rumahnya mencegah keringat mengalir deras. Meski jarak hanya lima rumah besar, terasa seperti melewati labirin yang memakan waktu delapan menit. Setiap langkah seperti mengangkut beban di pundaknya. Sesampainya di rumah minimalis berlantai satu, dia masuk tanpa mengetuk, karena pemiliknya sudah menunggu dengan ekspresi tegang. “Kenapa sih?” Kirani menatap kesal pada Sukma Anjani, temannya yang biasanya ceria. Kini mereka duduk di kamar Sukma, Kirani menenggelamkan tubuhnya di kasur empuk milik temannya. Sukma duduk di tikar bulu, berkutat dengan ponselnya, wajahnya mencerminkan ketegangan di ruangan itu. “Ekhem, tapi lo janji jangan langsung marah ya, harus pakai kepala dingin,” usul Sukma, menambah rasa penasaran di d**a Kirani. Dia menyerahkan ponselnya, memperlihatkan chat dalam grup yang menyebut nama Kirani dan... nama abangnya? Kata-kata di layar membuat Kirani tercengang. Ungkapan kebencian, makian, dan sumpah serapah mengalir tanpa henti. Tak ada secercah kebaikan di dalamnya. Kirani menatap bingung, hatinya bergejolak menahan kemarahan yang membara. “Itu maksudnya apa, Ma?” Sukma hanya meringis, senyumnya setengah menyiratkan kekhawatiran. “Kayaknya ini ulah mantan pacar abang lo, Ran,” ujarnya dengan nada rendah. Berdecak, Kirani menatap tajam. “Terus itu grup apa kok ada lo?” suaranya tak sabar. “Grup tempat kerja gue yang lama,” jelas Sukma. “Kayaknya mantan abang lo karyawan baru di sana.” Ia melanjutkan, matanya menyiratkan kebingungan. “Gue juga bingung, tiba-tiba grup rame bahas lo sama abang lo. Setelah gue lihat-lihat, dalang awalnya muncul dengan username yang mirip nama mantan abang lo. Jadi, gue pikir dia lagi coba nyari orang-orang buat fitnah keluarga lo.” “Maksud dia apa, sih? Emang kejahatan apa yang keluarga gue lakuin sampe dia fitnah kayak gitu?” Kirani menyuarakan amarah yang telah lama terpendam. Kedamaian yang ia dambakan kini hanya ilusi. Hidupnya bagai badai yang tak kunjung reda, penuh dengan konflik. “Lebih jelasnya, tanya abang lo,” ucap Sukma sambil menepuk bahu Kirani dengan lembut, seakan ingin menyalurkan sedikit ketenangan. “Semangat, hidup emang gak gampang.” Kirani berteriak penuh frustrasi. *** Senja mulai merayap, dan Kirani masih terbaring di kasur Sukma, tubuhnya terasa berat seperti dihimpit oleh beban yang tak terlihat. Matanya baru saja terbuka dari tidur yang singkat, namun rasa lelah tetap menjeratnya, menghisap setiap keinginan untuk bangkit. Rumah—tempat yang seharusnya menjadi perlindungan—kini tak lagi memberinya rasa nyaman. Alih-alih rindu untuk pulang, pikirannya malah melayang pada keabadian, di mana ia merasa kedamaian sejati berada. Namun, ia tidak berharap segera menuju ke sana; ia hanya tahu, tempat itu mungkin lebih menenangkan dibandingkan rumahnya yang sekarang—rumah di mana ayahnya dulu berada, penuh dengan kenangan yang menyakitkan. Sukma baru saja keluar untuk menjemput adiknya, meninggalkan Kirani sendirian di rumah yang terasa semakin sunyi. Meski di luar ada suara samar tukang kebun yang bekerja, kesepian tetap merayap masuk, menggenggamnya erat. Ketika ponselnya bergetar, Kirani meraihnya dengan lesu. "Hmm," jawabnya singkat. "Karin!" Suara di ujung telepon membuat Kirani memutar bola matanya, merasa terganggu. "Kiran, Diva," ucapnya, menegaskan. "Oh iya, maaf deh. Gue cuma mau nanya, nama lo Kirani, kan?" "Kirani Keisha Aradhana. Kenapa nanyain nama gue?" "Oh my gawtt, Kirann! Nama lo trending topic di Twitter!" Deg! Rasanya seperti ada petir yang menyambar tepat di dadanya. Apa lagi sekarang, Tuhan? *** Kirani menggertakkan gigi, jantungnya berdegup kencang. Dia meraih ponselnya dan membaca serangkaian kata yang menghujat dirinya tanpa ampun. Sebusuk apa sih keluarga Aradhana ini dibandingkan dengan mutiara secantik Amara Shita Hermawan haha, gue spill sampai mampus! Kalian bisa lihat thread gue. Silakan hujat sekalian akun si busuk ini @keishaaran @darianaradhana, selamat menikmati neraka dunia! Darah Kirani mendidih. "Kenapa gue yang kena sih? Apa-apaan coba ini?!" serunya, tangan gemetar. Hatinya seperti dihantam palu bertubi-tubi, setiap kata yang dia baca bagaikan paku yang semakin dalam menancap. Sukma yang berdiri di sampingnya, mencoba menenangkan. "Sabar ya, orang baik sering dizalimi," katanya pelan. "Masalahnya, kenapa gue yang kena imbasnya paling besar, Ma?!" Air mata menggenang di mata Kirani. Cacian yang diarahkan kepada Darian hanya secuil, sementara dirinya tenggelam dalam lautan kebencian. Sukma menelusuri komentar-komentar itu, hatinya pun ikut terkoyak oleh ketidakadilan yang terpampang jelas. "Lo ganteng lo aman," gumamnya, sinis. Namun bagi Kirani, semua ini lebih dari sekadar ketidakadilan. Semua hujatan itu, semua komentar kejam, menelanjangi dirinya, memperlihatkan setiap luka yang selama ini ia sembunyikan. Setiap kata-kata itu bagaikan serpihan kaca yang mencabik-cabik harga dirinya, membuatnya hampir tak bisa bernapas. Sementara itu, i********:-nya juga menjadi sasaran. Akun yang selama ini ia gunakan untuk menulis dan berbagi karya kini diserang habis-habisan. Pesanan buku yang sudah ia cetak dibatalkan tanpa alasan jelas. Rasanya seperti seluruh dunia menghancurkan apa yang telah ia bangun dengan susah payah. "Ini benar-benar kelewatan," desisnya, menahan marah yang menggelegak di dadanya. Tanpa pikir panjang, Kirani memutuskan untuk pulang. "Makasih ya, Ma!" ucapnya, setengah berlari meninggalkan rumah Sukma. Sukma hanya bisa mengangguk, menatap kepergian sahabatnya dengan perasaan campur aduk. "Keep strong ya, bestie. Gue selalu ada buat lo," bisiknya pada dirinya sendiri. Kirani berjalan cepat, dadanya sesak oleh amarah yang tak terbendung. "Awas lo, Darian!" desisnya penuh dendam, tangannya mengepal erat, menahan tangis yang mulai mengalir deras di pipinya. *** Berpuluh-puluh menit berlalu, putaran demi putaran permainan antara Bima dan Darian terus berjalan hingga yang kelima. Namun, sosok yang sedari tadi ditunggu-tunggu Bima belum juga menampakkan diri. Darian, yang memperhatikan Bima sejak tadi, akhirnya bertanya, "Lo nyari siapa sih, Bim?" Bima terkejut sejenak sebelum cepat-cepat menggeleng. "Gak ada, gue cuma... liat-liat foto di sana," jawabnya, berusaha mengalihkan. Namun, pandangannya tetap tak bisa lepas dari foto gadis yang terpajang di bingkai kayu itu, yang membuatnya menunggu dengan cemas. Darian terkekeh, seolah memahami sesuatu. "Lo demen sama adek gue ya? Memang, dia cakep, gak pernah pacaran juga. Kalau lo tertarik, gas aja, gue sih gak masalah." Bima terdiam sejenak, bingung sekaligus terkejut. "Adek lo secantik itu tapi gak pernah pacaran?" tanyanya dengan nada tak percaya. Di dalam hatinya, ada kobaran kecil yang mulai menyala, harapan yang perlahan tumbuh tanpa dia sadari. Darian menatapnya sambil tersenyum jahil. "Lo bisa tanya langsung ke anaknya. Ternyata lo datang kesini ada maksud lain ya? Pintar juga lo." Bima hanya mengangkat bahu, tak menampik. "Ya, jadi bantu gue deketin dia," ucapnya dengan nada setengah bercanda, meski ada kesungguhan di dalamnya. "Gue bakal di sini sampai Kirani pulang." Darian tertawa kecil, menggeleng tak percaya. "Oke, licik juga, tapi gue suka cara lo main." Mereka melanjutkan permainan, namun kali ini Darian banyak bercerita tentang Kirani. Bima mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail tentang gadis itu dalam benaknya, seperti seorang peneliti yang tak ingin melewatkan satu pun data penting. "Kesibukan lo apa, Bim?" tanya Darian tiba-tiba, mengalihkan topik ke arah Bima. "Gue baru wisuda bulan lalu, belum kerja tetap, masih magang sekarang," jawab Bima dengan nada merendah. Dia baru saja menyelesaikan studi keduanya di MIT, jurusan Geofisika, di bawah Department of Earth, Atmospheric and Planetary Sciences (EAPS). Darian tercengang mendengarnya, seolah baru sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan sosok yang lebih dari sekadar teman bermain biasa. "Kerja di sini atau di luar?" "Di New York, kantor pusatnya. Tapi sekarang gue dipindah tugas ke Indonesia. Beruntung juga, jadi bisa pulang ke kampung halaman," jelas Bima, suaranya terdengar ringan namun penuh makna, seolah ada sesuatu yang lebih besar menantinya di sini. Darian merasakan sedikit perasaan iri di hatinya, sadar bahwa dia hanya orang biasa di hadapan Bima. Namun, dia tak bisa menahan diri untuk tidak memuji, "Lo luar biasa, bro!" Pujian itu tulus, meski terselip sedikit rasa iri di dalamnya. "Thanks," balas Bima singkat, menghargai pujian itu. Tiba-tiba, suara pintu terbuka perlahan, memecah konsentrasi mereka. Bima terpaku, matanya menangkap sosok yang sedari tadi hanya menjadi bayang-bayang di pikirannya. Langkah-langkahnya terdengar seperti detak jantung yang semakin menggema di telinga Bima. "Kirani," bisiknya pelan, seolah nama itu adalah mantra yang menahan napasnya. Pandangannya tak bisa lepas dari gadis itu, yang kini berjalan mendekat. Tangannya hampir bergerak, ingin meraih tangan putih mulus itu dan mengecupnya dengan kelembutan yang selama ini hanya ada dalam khayalannya. Namun, Kirani, yang semula hendak melampiaskan kemarahannya, seketika terhenti saat matanya bertemu dengan sosok asing yang duduk di samping Darian. Pandangan mereka beradu, dan seketika jantung Kirani berdegup lebih kencang, mengirimkan panas ke wajahnya yang memerah. Ia tak bisa mengalihkan tatapannya dari mata pemuda itu—mata yang seolah memancarkan kehangatan dan ketenangan yang tak pernah ia duga. Detik-detik terasa berjalan lambat. Kirani merasakan sebuah perasaan yang tak biasa merayap di hatinya, membuatnya merasa canggung dan gelisah. Hawa panas yang mengalir di sekujur tubuhnya membuatnya panik, takut jika Darian atau pemuda itu menyadari kegelisahannya. Dalam kepanikan itu, Kirani segera mengalihkan pandangan, membuang muka, dan buru-buru berbalik menuju kamarnya. Napasnya yang tadinya penuh kemarahan kini berubah menjadi napas yang terengah-engah, mencoba menenangkan gejolak yang mendadak membara di dalam dirinya. Ia merasa dadanya sesak, seperti ada ribuan kupu-kupu yang mendadak beterbangan di dalam sana. "Sial, kenapa gue jadi kayak gini?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Namun, wajahnya yang masih terasa panas dan degup jantung yang tak mau mereda membuatnya semakin panik. Dia menunduk dan mempercepat langkahnya, berusaha melarikan diri dari tatapan yang barusan membuatnya terguncang. "Bisa dibicarakan nanti," pikirnya buru-buru, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. *** "Sana, ikutin," desis Darian tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat terjadi. Bima mengangkat alis, bingung. "Lo serius?" "Ya, gue serius," jawab Darian santai, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa dilakukannya. Bagi Darian, membawa cewek ke kamarnya sudah menjadi hal yang biasa, tak ada yang perlu dipikirkan dua kali untuk menyuruh Bima mengikuti adiknya. Bima berdiri, namun bukan untuk mengikuti perintah Darian. "Gue pamit. Minggu depan gue kesini lagi," ucapnya tegas, mengabaikan suruhan itu. Tanpa menunggu balasan, ia berlalu keluar, meninggalkan Darian yang hanya bisa terdiam sejenak, menatap kepergian Bima dengan tatapan penuh heran. Di dalam kamar, Kirani duduk di tepi ranjang, tangannya masih menekan dadanya yang berdebar kencang. Entah apa yang membuatnya begitu terpengaruh oleh kehadiran pria asing itu. Namun, satu hal yang pasti, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak bertemu Bima. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook