"Loh, Kiran, kamu di sini ternyata." Salma muncul dengan wajah yang dipenuhi keringat, seolah baru saja menyusuri jalan panjang untuk mencarinya. Nafasnya masih tersengal-sengal, tanda jelas bahwa ia terburu-buru.
Kiran segera meraih botol air dan menyerahkannya kepada Salma. "Kenapa, Sal?" tanyanya sambil menutup kap piano yang baru saja selesai ia mainkan.
Salma menerima botol itu, minum dengan cepat, lalu mengusap mulutnya. "Tadi ada yang nyariin kamu. Dia udah nunggu di depan kelas kita dari tadi, auranya serem banget, Ran. Begitu aku keluar, langsung dipelototin dan disuruh bawa kamu ke sana," jelas Salma, suaranya masih terdengar gugup.
Kiran mengangguk paham. "Oke, makasih ya. Padahal kamu bisa hubungin aku aja, Sal," ujarnya sambil terkekeh ringan.
Salma menepuk dahinya sendiri, "Iya juga ya."
"Ya udah, nanti aku beliin makan deh. Thanks udah nyamperin aku."
Salma langsung tersenyum lebar. "Sama-sama! Thank you juga, Kiran."
Dengan senyum tipis, Salma pamit meninggalkan ruangan musik yang dipenuhi berbagai alat, dari tradisional hingga modern.
Kiran pun ikut keluar beberapa saat kemudian setelah membereskan barang-barangnya. Dia berjalan santai sambil memainkan ponselnya, menjawab pesan dari Sukma yang menanyakan kabarnya.
Bug!
Tiba-tiba Kiran terjatuh. Untung saja satu tangannya menahan kepalanya dari benturan ke lantai, meskipun ponselnya terlempar jauh. Ia meringis, lengannya terasa nyeri akibat benturan.
"Kiran," suara yang familiar membuat Kiran mendongak. Matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang gadis yang tak asing.
"Kak Amara?" Dengan cepat Kiran bangkit berdiri, meski tubuhnya masih terasa ngilu.
Amara hanya menyeringai dan mengedikkan bahu, seolah tak menyesal. "Tangan gue gatel pengen dorong lo."
"Lo gila ya?" Kiran menghardik marah. "Niat lo jahat banget, Kak! Dari kemarin gak puas udah fitnah keluarga gue?"
Amara melipat tangan di d**a, senyumnya penuh makna. "Belum puas. Makanya gue kesini buat nyelesainnya."
"Apa sih salah gue, Kak! Gue gak pernah ngusik lo!" Kiran semakin marah, langkahnya mendekat ke arah Amara dengan d**a berdebar. "Tolonglah, Kak, stop permainannya! Gue bisa aja laporin lo ke polisi atas pencemaran nama baik keluarga gue!" Tangan Kiran terkepal erat, menahan amarah yang memuncak.
"Oh ya?" balas Amara dengan nada yang membuat Kiran semakin panas.
"Lo bener-bener gak waras!" Kiran berbalik cepat, tak ingin berlama-lama menghadapi orang yang begitu menyebalkan.
Namun, langkahnya terhenti ketika Amara berkata dengan nada penuh dendam, "Darian, ngebunuh anak gue!"
Kiran terpaku, tubuhnya kaku seketika. Tangannya mengepal lebih keras, matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
***
Dengan langkah cepat, Kiran membuka pintu dengan kasar, amarah membara di dadanya. Dia bergegas menapaki tangga, setiap langkahnya berat dan penuh tekad. Sampai di depan pintu putih yang tertutup, tanpa ragu ia mendobraknya keras.
Suara benturan itu cukup untuk membangunkan Darian dari tidurnya. Kiran berteriak penuh amarah, "Darian! Bangun lo!" Botol-botol di bawah kasur langsung dilemparkannya ke lantai, kaca berderai menghantam lantai.
"Apaansi, Ran!" Darian memaki setengah sadar, wajahnya kebingungan. "Ngapain lo, ngagetin gue!"
"Lo yang g****k!" Kiran menyergah, suaranya penuh getar. "Apa yang lo lakuin sama Amara?!" Tangannya bergetar hebat, air matanya tiba-tiba tumpah.
"Jawab, Darian!" suaranya terputus-putus, menuntut jawaban. Darian, yang tadinya marah, seketika membeku. Wajahnya berubah pucat.
"Lo tau dari mana?!" tanyanya panik.
"Amara," jawab Kiran lirih, seolah bayangan buruk itu menghantuinya. "Lo jahat banget, kenapa lo lakuin itu ke Amara?" Suara Kiran penuh kepedihan, dia tak habis pikir bagaimana seorang ibu bisa mengalami hal seperti itu.
Darian terpaku. Tangannya gemetar, matanya nanar menatap adiknya. "Sial," gumamnya dengan napas tertahan. "Lo harus tutup mulut, Kiran," desisnya dengan nada mengancam.
Kiran menggeleng, "Gak akan! Lo harus tanggung jawab. Gue bakal laporin lo ke polisi!"
"Anjing!" Darian meledak dalam amarah. Dengan cepat, tangannya melingkar di leher Kiran, mencekik dengan kekuatan mengerikan. "Lo harus tutup mulut lo, atau gue bunuh lo!" ancamnya dengan suara serak.
Kiran menjerit, kedua tangannya berusaha melepaskan cekikan Darian yang semakin kuat. Napasnya tersengal-sengal, rasa sakit menyerang tubuhnya. Namun, tangisnya yang semakin kencang menyadarkan Darian dari amarah butanya.
Tangan Darian terlepas. Dia mundur, napasnya terengah, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Ki...ran," ucapnya dengan suara hampir tak terdengar, tenggorokannya terasa kering dan berat.
"Lo jahat, Bang!" Kiran menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya merosot ke lantai, lemas, seperti seluruh tenaganya hilang.
Darian menatap adiknya yang hancur. Tak tahan dengan perasaannya sendiri, dia memilih pergi, meninggalkan Kiran dengan segala emosi yang berkecamuk di hatinya.
Dengan tangan gemetar, Kiran meraih ponselnya. Ia menelepon ibunya, mencari pelukan dalam suara yang menenangkan. Namun panggilannya tak dijawab. Napasnya terhela panjang, kepedihan memenuhi setiap sudut tubuhnya. Memar di tangan masih terasa nyeri, dan lehernya terasa kaku.
Saat Kiran mencoba berdiri, tubuhnya goyah. Tanah di bawahnya mulai berguncang. Guncangan itu semakin kuat, menghantam setiap sudut rumah. Dengan hati berdebar, Kiran bergegas keluar, berusaha menjaga keseimbangan di tengah kekacauan.
Di pintu masuk, Darian sudah menunggunya, wajahnya diliputi kecemasan. Tatapan mereka bertemu, tapi Kiran hanya melewatinya tanpa sepatah kata pun.
Darian mengikutinya dengan pasrah. "Kiran, ayo kita ke tempat yang aman. Di sini bahaya," katanya, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh bumi yang marah. Dia telah menyiapkan motor, bersiap untuk melarikan diri dari bencana yang tak terelakkan.
Dengan enggan, Kiran akhirnya mengikuti langkah abangnya, meski hati mereka berdua penuh dengan luka yang belum sembuh.
***
Kirani berdiri di pinggir jalan yang sepi, angin malam yang dingin menghempas wajahnya, seakan ingin menenangkan hati yang bergolak. Matanya menatap Darian dengan tatapan yang tak lagi bisa dibaca, penuh luka dan kekecewaan.
“Karna lo, Tuhan murka,” suaranya terdengar lirih, seperti bisikan angin yang membawa kesedihan mendalam. “Lo sakitin perasaan Amara, perasaan gue... Dan gak lama lagi, Mama juga bakal ikut tersakiti.”
Darian hanya bisa diam, menundukkan kepala, beban dunia terasa semakin berat menghimpit pundaknya. Kata-kata Kirani seperti racun yang perlahan meresap ke dalam hatinya, menusuk dengan tajam.
“Bencana tadi itu teguran buat lo,” lanjut Kirani, suaranya berubah tajam, penuh penekanan. “Kalau gue gak bangunin lo tadi, mungkin sekarang lo udah jadi debu di alam baka.”
Darian merasa dadanya sesak. "Maaf," bisiknya, nyaris tak terdengar, seolah kata itu saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang dia buat.
Kirani mendekat, matanya tajam menatap Darian, seperti badai yang siap menerjang. “Lo harus tanggung jawab, Darian,” suaranya berubah keras, seolah ingin memastikan Darian benar-benar mengerti. “Ingat, hukum tabur tuai itu nyata. Apa yang lo tanam, suatu saat nanti pasti bakal lo tuai.”
Darian mendesah panjang, rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya. “Gue... gak bisa,” ucapnya, nyaris seperti bisikan yang kalah dengan angin malam.
“Lo takut apa, Darian?” desak Kirani, kecewa semakin mendalam. “Takut kehilangan kehidupan nyaman lo? Atau takut kehilangan kebebasan lo? Ini semua ulah lo sendiri, dan lo harus hadapi konsekuensinya.”
Darian menggeleng lemah, air mata mulai membasahi wajahnya. “Bukan itu... Gue pengen punya keluarga bahagia, sama Mama, lo, dan Kailo. Gue gak mau kehilangan kalian.”
Kirani terdiam, hatinya bergetar mendengar pengakuan Darian yang tulus. Ternyata keinginan mereka sama, sebuah harapan yang kini terasa semakin jauh.
“Gue emang salah... Gue gak tahu kalau Amara hamil anak gue waktu itu,” suara Darian semakin lemah. “Gue gak sengaja dorong dia... Gue gak sengaja.”
Kirani menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang seakan ditusuk ribuan duri.
Tiba-tiba, ponsel Kirani berdering, mengoyak keheningan yang menyelimuti mereka. Tangannya gemetar saat melihat layar ponselnya menampilkan nomor asing. Tanpa pikir panjang, dia mengangkatnya.
“Halo?” suaranya terdengar serak, penuh kecemasan.
Suara di ujung telepon terdengar tenang, namun ada sesuatu yang membuat hati Kirani semakin waspada. “Selamat siang, apakah saya sedang berbicara dengan Kirani, putri dari Ibu Dina Aradhana?”
Jantung Kirani berdegup kencang. “Iya, benar. Ada apa ya, Pak?”
Ada jeda sejenak, lalu suara itu kembali terdengar, kali ini lebih hati-hati. “Kami dari pihak maskapai penerbangan ingin menyampaikan kabar yang sangat penting. Kami mohon maaf harus menyampaikan ini, tapi kami telah kehilangan kontak dengan pesawat yang ditumpangi oleh Ibu Dina Aradhana.”
Dunia Kirani seakan berhenti berputar. Kata-kata itu seperti pedang yang menusuk jantungnya. “K-kehilangan kontak? Apa... apa yang terjadi dengan pesawat itu?”
“Pesawat itu baru saja melakukan pendaratan darurat, namun... kami baru saja menerima konfirmasi bahwa pesawat tersebut jatuh. Kami masih menunggu informasi lebih lanjut dari tim penyelamat yang sedang menuju lokasi.”
Telepon itu terputus, meninggalkan Kirani dalam keheningan yang mencekam. Dia hanya bisa menatap kosong pada ponselnya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, bayangan terakhir yang terlintas di benaknya adalah wajah ibunya, Dina Aradhana, tersenyum hangat seperti biasa.
“Mama...” bisiknya, air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
Darian mendekat, merasa dunia seolah runtuh di hadapannya. "Ran, kenapa?"
Kirani menatap Darian, air mata terus mengalir. “Mama sama Kailo... pesawat mereka jatuh.”
Darian terdiam, matanya berkaca-kaca, dan tanpa bisa ditahan, dia meraih Kirani dalam pelukannya, merasakan kesedihan yang sama. Dunia seakan meruntuhkan semua fondasi yang mereka kira kokoh, dan kini, di tengah reruntuhan itu, mereka hanya bisa berdoa untuk keajaiban.
***
Kirani berdiri di depan gerbang keberangkatan, wajahnya datar namun hatinya dipenuhi kegelisahan. Di sebelahnya, Darian tampak tegang, seakan ada beban besar yang menghimpitnya.
“Gue dikit lagi take off,” kata Darian, suaranya terdengar berat. “Lo jaga diri, jangan keluyuran. Bumi lagi gak baik-baik aja.”
Kirani mendengus, matanya menyipit penuh kekecewaan. “Lo tau itu, tapi lo masih takut buat tanggung jawab. Udah kejadian gempa, Mama...” Sinisnya menyentil hati Darian, menusuk jauh ke dalam.
Darian hanya bisa menunduk, tak sanggup membalas. "Lo denger harapan gue kem—"
Kirani melanjutkan, suaranya kini lebih tajam. “Gue denger, tapi percuma! Lo egois, bang. Lo mentingin diri lo sendiri. Suatu saat nanti, harapan itu mungkin terkabul... kalau lo bisa jadi orang yang gak egois.”
Darian menghela napas, hatinya terasa semakin berat. “Kita bicarain nanti. Gue gak ada waktu lagi.”
Tanpa menunggu jawaban, Darian pergi, meninggalkan Kirani dengan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Kirani menggerutu sambil berjalan, tanpa sadar menabrak seseorang. Dia tersentak kaget, menunduk malu karena telah menabrak punggung orang itu.
"Maaf," ucapnya buru-buru.
Orang itu berbalik, wajahnya terlihat terkejut. “Gak apa-apa... Kirani, ya?”
Kirani terperangah, matanya bertemu dengan tatapan tajam Bima. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat perutnya terasa geli, seperti ada benih cinta yang mulai tumbuh di antara mereka.
Kirani buru-buru memalingkan wajah, tapi Bima masih menatapnya, senyum tipis menghiasi bibirnya. Wajah Kirani langsung merah padam.
“Emm... kamu yang waktu itu sama Darian, kan?” tanya Kirani dengan suara ragu, merasa malu telah berbicara dengan kata 'kamu'.
Bima tersenyum lebih lebar. “Ya, nama gue Bima,” jawabnya, tanpa terlihat terganggu oleh perubahan cara bicara Kirani. Malah, debaran di dadanya semakin kencang.
Kirani mencoba memperbaiki kesalahannya. “Oh, Bima... Gue Kirani.”
Namun, Bima langsung menanggapi dengan nada menggoda. “Kenapa gue-lo? Tadi aku-kamu udah bagus.”
Kirani tersipu malu, merasa bingung dengan dirinya sendiri. “Ouh, tadi terbiasa ngomong sama orang baru aku-kamu. Gue cuma menyesuaikan lo yang ngomong gue-lo.”
Bima tertawa kecil, wajahnya tampak sedikit menyesal. “Harusnya aku gak usah pake gue-lo, ya.”
Kirani merasa semakin bingung. "Oh, oke."
Bima mengubah topik, mencoba mencairkan suasana. "Kamu abis darimana? Mau pergi?"
Kirani menggeleng. “Enggak, abis nganter Darian. Lo sendiri?”
Bima menahan keinginannya untuk mengomentari perubahan kata sapaan itu lagi, tapi akhirnya memilih bersabar. “Gue baru pulang kerja.”
"Oh, kerja di bandara?" tanya Kirani penasaran.
Bima terkekeh. “Enggak, di Kalimantan.”
"Loh, jauh banget! Kok bisa di Jakarta?"
Bima tersenyum. “Rumah di sini. Bisa-bisa aja kok.”
Kirani diam-diam terkagum. "Setiap hari gitu?"
"Dua hari sekali. Tapi kalau lagi kangen orang rumah, selalu nyempetin setiap hari."
Kirani terpesona dengan perhatian Bima. "Coba Darian seperti Bima ini," pikirnya dalam hati.
Bima tampak ragu sejenak, lalu dengan nada yang lebih lembut, dia berkata, “Boleh minta nomor HP-nya?”
Tanpa berpikir panjang, Kirani memberikan nomornya karena merasa nyaman dengan Bima. Mereka kemudian berpisah dengan Bima yang berjanji akan segera menghubungi Kirani lagi.
***
Hari-hari berlalu, Bima selalu menyempatkan diri menelepon Kirani, seakan jarak di antara mereka tak pernah benar-benar ada. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti "Bagaimana harimu?" atau "Sudah makan?" terasa hangat, seperti pelukan yang menghapus kesepian di hati Kirani. Setiap percakapan mereka bagaikan tetesan air yang perlahan-lahan meresap, mengisi celah-celah yang selama ini kosong di hatinya.
Hubungan mereka pun semakin dekat, tumbuh dari sekadar teman menjadi sesuatu yang lebih dalam. Saat ini, mereka berada di bandara, mengantarkan Bima yang akan kembali ke Kalimantan. Di tempat yang sama di mana pertemuan pertama mereka terjadi, mereka berdiri, saling menatap dalam diam yang penuh arti.
"Kita pertama kali ketemu di sini, ya? Sekarang kita bertemu lagi di sini, mungkin nanti bakal lebih sering," ujar Bima, suaranya lembut, namun terdengar seperti janji yang menggantung di udara.
Kirani tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Cepat sana berangkat!" jawabnya, meski hatinya menolak untuk melepas.
Namun, seiring Bima berjalan menjauh, ada rasa tak rela yang tumbuh dalam d**a Kirani. Meskipun mereka masih dalam tahap pendekatan, hati mereka sudah saling memahami, seperti dua keping puzzle yang akhirnya menemukan pasangannya. Bima sendiri sering berpikir untuk langsung melamar gadis itu tanpa perlu melalui masa pacaran, karena baginya, waktu adalah hal yang terlalu berharga untuk disia-siakan. Tapi pekerjaan yang menuntutnya di Kalimantan menjadi penghalang sementara bagi keinginannya itu.
"Kamu mau ke Pantai Rindu nanti sama siapa?" tanya Bima, suara lembutnya terdengar sedikit khawatir.
"Sama teman-teman aku," jawab Kirani dengan nada ceria yang mencoba menyembunyikan kegelisahan.
"Ada cowoknya?" tanyanya lagi, nada posesifnya tak dapat disembunyikan.
"Ada, tapi pacarnya Diva," jawab Kirani, berusaha meyakinkannya.
"Serius?" tanya Bima, masih dengan sedikit ragu.
"Paling juga si Zean, dia juga nggak jelas mau ikut apa nggak, tapi kayaknya nggak ikut deh," Kirani menambahkan, mencoba meyakinkan Bima.
Bima akhirnya mengangguk, percaya pada kata-kata Kirani. "Yaudah, aku pamit. Kamu have fun ya! Hati-hati juga, soalnya waktu itu gempa, kalau ada apa-apa langsung menjauh aja," pesannya dengan nada yang penuh perhatian.
Kirani mengangguk dengan senyum yang mengembang, meski hatinya berdebar tak karuan. "Siap, calon suami!" ucapnya dengan nada bercanda, tapi penuh arti.
Bima tersenyum, perasaan hangat mengalir dalam dadanya. Ingin rasanya mencium kening gadis itu sebagai tanda sayang, tapi dia menahan diri. Sebagai gantinya, dia hanya bisa mengelus lembut rambut Kirani, seolah berjanji akan kembali secepat mungkin.