Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
“Aku bukan perempuan sesuci Maryam yang kuat ketika Allah uji dengan kehamilannya seorang diri dan juga menerima cemoohan dan tatapan rendah dari orang sekitarnya. Aku juga bukan perempuan seshalih Maryam yang kuat ketika Allah uji dengan kehidupannya seorang diri hingga akhir hayat tanpa seorang pendamping.”
(Nita)
===
Revan sedang mengamati layar komputer yang menyala di hadapannya. Ia sedang berada ruangannya di supermarket milik ibunya yang kini sepenuhnya sudah menjadi miliknya yang ada di Bandung. Sudah beberapa hari terakhir ini terhitung sejak terakhir kali ia mengunjungi Nita, ia berada di Bandung untuk urusan pekerjaannya. Saat sudah mengecek laporan yang ada di komputer, Revan melepas kacamatannya dan meregangkan tubuhnya yang agak kaku karena sudah duduk lebih dari satu jam.
Ia segera bangkit dari kursinya lalu ke luar ruangan. Ia mengecek keadaan supermarket yang tidak begitu ramai siang hari ini karena ini adalah hari Senin. Ia mengamati beberapa karyawannya yang berada di kasir dan juga yang sedang menata beberapa barang. Ia lalu melangkahkan kakinya ke bagian fresh product seperti sayur, buah dan daging. Keadaan kebun milik Faraz yang sudah mulai normal sedikit demi sedikit mulai men-supply ke supermarket ini sedangkan kebunnya masih dalam keadaan bera (istirahat) setelah mengalami gagal panen. Baru bulan besok kebun yang ada di villa Revan siap ditanami kembali.
“Ternyata di sini. Saya udah cari bapak dari tadi,” ucap Annisa.
“Kenapa, Nis?” ucap Revan masih sambil memerhatikan karyawan dan beberapa pembeli.
“Ada Faraz mau ketemu, mau bahas perjanjian kerja sama.”
“Mana dia?”
“Udah nunggu di ruangan bapak.”
“Oke saya ke sana.” Revan melangkahkan kakinya kembali ke ruangan. Ia mendapati Faraz sudah menunggu dalam ruangannya seorang diri.
“Apa kabar, Raz?” ucap Revan sambil bersalaman lalu mempersilakan Faraz untuk duduk kembali di kursi khusus tamu yang ada di ruangannya.
“Alhamdulillah baik.”
“Tumben sendiri, gak sama Asep?”
“Nggak, dia lagi ngawasin kebun, sebentar lagi panen.”
“Oh gitu. Jadi, ada apa?”
Faraz dan Revan pun mulai membahas kerja sama mereka. Selama kurang lebih satu jam mereka membahas poin-poin kerja sama yang perlu penyesuaian. Revan juga tidak ingin bergantung pada supply product dari Faraz terus menerus jika nanti kebunnya sudah bisa berproduksi sendiri. Saat mereka sudah usai dengan pembahasan kerja samanya, Annisa masuk membawakan minum dan juga makan untuk Faraz dan Revan.
“Lho, kamu mau ke mana, Nis? Kenapa gak ikut makan sama kita?” tanya Faraz.
“Gak usah, Ras. Tadi aku udah makan kok. Lagian masih jam kerja, gak enak. Besok juga akhir bulan mau stock opname. Jadi, aku permisi dulu ya.”
Annisa pergi meninggalkan ruangann Revan. Kini dua lelaki dewasa itu menyantap makanan yang dibawakan oleh Annisa.
“Gimana kabar dari Lisa? Ada perkembangan?” tanya Revan.
Faraz menggelengkan kepalanya lemah. “Nggak, belum ada kabar.”
“Sorry ya, gue juga belum bisa bantu banyak,” ucap Revan menyesal.
“Santai aja, Bro. Gue juga ngerti lo banyak hal yang harus diurus, lo juga punya urusan sendiri, kan? Gue paham, kok. Oh ya, lo sama Nita gimana? Udah nikah?” tanya Faraz.
Kali ini giliran Revan yang menggelengkan kepalanya lemah. “Nggak, belum. Ada sedikit masalah.”
Faraz jadi merasa tidak enak pada Revan karena sudah menyinggung kehidupan pribadinya. Ah, tapi bukannya lelaki itu yang lebih dulu menyinggung kehidupan pribadi Faraz dengan menanyakan Lisa?
“Jangan nyerah, tetap semangat, Bro. Jangan sampai nunggu kandungan Nita makin besar terus nanti anak lo lahir. Ntar lo nyesel,” saran Faraz dengan bijak.
Revan memikirkan ucapan Faraz. Sebenarnya urusan antara pekerjaan dan juga kehidupan pribadinya membuatnya lelah. Awalnya, jika tidak berurusan dengan Nita, ia akan memilih untuk menetap di Bandung saja dan fokus mengurus supermarketnya. Ia berencana pulang ke Jakarta sebulan atau dua bulan sekali saja untuk menengok orang tuanya. Toh ia lelaki yang sudah dewasa dan bisa hidup jauh dari orang tua. Tapi, urusannya dengan Nita mengharuskan dia bolak-balik Jakarta-Bandung dengan frekuensi yang sering. Revan tidak menampik ia pun lelah dengan semua ini.
Ya sudah, kalau kamu lelah, cepat bujuk, yakinkan dan lamar Nita untuk jadi istri kamu, Van. Dengan begitu Nita bisa ikut kamu tinggal di Bandung dan kamu bisa fokus mengurus pekerjaan kamu. Kamu juga gak perlu capek bolak-balik Jakarta-Bandung kayak gini, so simple, kan? Batinnya berbicara.
===
Keadaan Nita dan kandungannya sudah semakin membaik. Hari ini, Renata dan Nita berencana mengikuti kajian pranikah yang diselenggarakan di sebuah mesjid di kota mereka. Seperti biasa, yang mendapat info tentang kajian pertama kali adalah Renata. Lalu Rena mengajak Nita untuk menemaninya. Nita sangat antusias, karena ia sudah lama tidak keluar rumah semenjak diminta dokter untuk bedrest.
Awalnya Bu Dina ragu untuk mengizinkan Nita pergi. Tapi Nita meyakinkan ibunya bahwa kondisinya sudah lebih baik dan ia akan lebih berhati-hati. Rena juga tak menggunakan motor seperti datang ke kajian tempo hari, itu terlalu berisiko. Renata menggunakan mobil untuk datang ke kajian hari ini. Akhirnya Bu Dina pun mengizinkan.
Renata dan Nita sedang dalam perjalanan menuju mesjid. Renata mengemudikan mobilnya dengan hati-hati.
“Kamu semangat banget, Ren.” Nita menatap Rena yang sedang mengemudi sambil mengusap perutnya yang masih datar.
“Iya, Mbak. Soalnya, kajian ini yang ngisi Ustadznya bagus, Ust. Salim A. Fillah. Beliau memang sering ngisi kajian-kajian pra nikah gitu.”
Nita hanya bisa ber’o’ria lalu kembali menatap jalanan melalui jendela sampingnya. “Nanti Mbak pasti juga suka deh, asyik banget pokoknya.”
“Kamu, ikut kajian pra nikah emang udah mau nikah? Emang udah ada calonnya, Ren?” goda Nita.
Rena menginjak remnya karena di depannya lampu lalu lintas menyala berwarna merah. Nita bisa melihat wajah adiknya iitu bersemu merah ketika ditanya tentang calonnya.
“Hmm, ya kalo calon belum kelihatan hilalnya sih, Mbak. Hehe. Tapi, Allah kan menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan dan aku yakin jodohku sudah ada dan sudah tertulis di Lauh Mahfuz meski aku belum tahu siapa. Sebelum nanti jodohku, imamku dunia akhirat datang meminang, aku ingin memantaskan diri dulu untuk jadi seorang istri dan calon ibu yang shalihah.”
Ucapan Rena menyentil perasaan Nita. Andai saja ia bisa mengulang waktu dan menjadi muslimah yang baik dari dulu seperti adiknya. Mungkin saat ini ia hanya sedang menanti ada lelaki shalih yang meminangnya seperti Renata. Apa mungkin ia sedang menanti Fauzan? Eh, tunggu! Kenapa jadi muncul nama lelaki itu? Apa jika ia bisa memutar waktu kembali semuanya bisa berjalan seperti hal yang ia inginkan dan harapkan?
Tidak seperti sekarang yang ...
Astaghfirullah ...
Nita langsung beristighfar dalam hati. Tidak, meski ujian yang diterimanya cukup berat, Nita melihat hikmah dibaliknya bahwa ia jadi bisa memiliki darah dagingnya sendiri. Ya, meski harus dengan cara yang salah. Selalu ada hikmah dibalik setiap musibah.
Maafin ibu, Nak. Nggak, ibu gak menyesal meski harus menderita seperti sekarang karena ibu punya kamu sekarang sebagai penguat ibu. Nita berbicara dalam hati sambil mengusap perutnya sayang.
===
Nita dan Rena sudah memasuki area aula mesjid. Mereka menempati bangku di daerah depan. Tak lama kemudian, sesi sang Ustadz pun tiba. Peserta atau jama’ah yang hadir cukup banyak.
“Sekarang saya tanya ya. Apakah menikah itu penting?”
“Penting,” jawab para peserta yang hadir serempak termasuk Renata sedangkan Nita hanya diam saja sambil sesekali senyum mendengar jawaban antusias dari jama’ah.
“Untuk ikhwan (laki-laki), apakah punya istri shalihah penting?”
“Penting!” jawab peserta ikhwan serempak.
“Pertanyaan untuk akhwat (perempuan), apakah punya suami shalih itu penting?”
“Penting!” jawab peserta akhwat serempak.
“Baik. Selanjutnya, dalam Al Qur’an ada dua nama perempuan mulia yang Allah abadikan namanya, yaitu Maryam dan Asiah. Pertama Maryam, saya tanya, siapa nama suaminya?”
“Gak ada.”
“Oke, baik. Gak ada. Lalu Asiah, siapa nama suaminya?”
“Fir’aun.”
“Oke, Fir’aun. Fir’aun itu suami yang shalih apa bukan?”
“Bukan.”
“Oke. Jadi jelas ya. Yang pertama, Maryam tidak punya suami dan yang kedua Asiah punya suami tapi bukan suami yang shalih. Tapi nama mereka Allah abadikan dalam Al Qur’an, kalau begitu suami yang shalih masih penting apa tidak?” tanya sang ustadz kemudian.
Para akhwat yang tadi semangat menjawab pun kini terdiam dan setengah tertawa.
“Ayo jawab! Masih penting gak punya suami shalih? Yang satu suaminya gak ada yang satu lagi suaminya boro-boro shalih, bahkan bisa dikatakan suami paling salah dalam sejarah zaman,” cecar Ust. Salim A. Fillah lagi.
“Kedua wanita itu, Maryam dan Asiah diagungkan oleh Allah, dijadikan tamsil bagi orang-orang beriman, mendapat kedudukan yang agung di sisi Allah SWT. Jadi, saya tanya lagi punya suami shalih itu penting apa nggak?”
Jama’ah yang hadir masih terdiam.
“Loh kenapa pada diam? Tadi semangat jawab penting, sekarang diam?” tanya Ustadz Salim sambil tersenyum. Jama’ah pun langsung tertawa.
“Jadi, penting gak punya suami shalih?” tanyanya lagi.
“Penting,” jawab beberapa jama’ah akhwat.
“Penting,” jawab Ustadz Salim pada akhirnya. “Karena yang dijadikan tamsil oleh Allah bagi orang-orang beriman oleh Allah bukan hanya dua wanita itu tadi. Ada juga Khadijah dan Fatimah. Khadiijah menikah dengan Nabi Muhammad SAW dan hidup berkelimpahan, sedangkan Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib hidup berkesempitan. Tapi mereka berdua, pasangan ibu dan anak itu mendapat tempat yang agung di sisi Allah sama seperti Maryam dan Asiah.”
Para jama’ah pun terdiam mendengarkan ucapan Ustadz Salim.
“Jadi, melalui mereka, seakan-akan Allah ingin menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang tidak dilihat dari siapa pasangannya dan tidak tergantung pada punya pasangan atau tidak, tidak bergantung punya harta atau tidak, semua berkesempatan yang sama untuk menjadi mulia di sisi Allah SWT.”
“Lalu kenapa kita memilih jalan pernikahan? Karena pernikahan adalah salah satu syariat Allah yang pertama diantara syariat akad muamalah lainnya. Melalui pernikahan juga, Allah mengajarkan para hamba-Nya untuk mengelola anugerah Allah yang bernama cinta, hawa nafsu atau syahwat dan anugerah-anugerah Allah berupa potensi-potensi untuk membangun sebuah peradaban kecil bernama keluarga.”
Hati Nita tersentuh mendengar tausyiah Ustadz Salim. Batin Nita berbisik, bisakah ia menjadi para wanita seperti Maryam, Asiah, Khadijah dan juga Fatimah?
Jika Maryam hamil karena kehendak Allah yang memilihnya sebagai perempuan suci yang akan menjadi ibu dari Nabi Isa as, sedangkan dirinya hamil karena dosa zina. Nita kembali merasa dirinya benar-benar perempuan yang kotor dan hina. Nita menteskan air matanya tapi ia buru—buru menghapusnya karena akan malu jika menangis di tengah khalayak ramai seperti ini.
Apakah ia bisa menjalankan sunnah Rasul SAW dan menggenapkan separuh agamanya dengan menikah? Apakah ini sebagai petunjuk dari Allah agar dirinya menikah? Menikah dengan Revan? nita bingung memikirkan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
Jangan ragu, Nita. Kamu pasti bisa menjadi mulia di sisi Allah meski masa lalumu kelam.
===
Nita sedang asyik merajut bersama beberapa anak panti di ruang tengah saat ia mendengar suara seseorang mengucap salam. Nita meninggalkan rajutannya dan segera melihat ke depan tamu yang datang berkunjung.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Ya Allah, Fani!” ucap Nita gembira. Nita dan Fani langsung berpelukan.
“Ayo masuk, kok gak bilang mau main ke sini?”
“Ya sengaja. Biar surprise.”
“Sama siapa ke sini?”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Eh, Bang Fauzan.”
Nita mempersilakan Fani dan Fauzan untuk duduk di ruang depan, ruangan khusus menerima tamu. Sebelumnya, Nita sudah menyuruh anak panti yang sedang merajut bersamanya tadi untuk membawakan minuman dan makanan kecil untuk Fani dan Fauzan. Fani dan Nita bernostalgia karena Fani sudah lama sekali tidak main ke panti.
“Oh ya, Bu Dina ada, Nit?” tanya Fauzan.
“Nggak, Bang. Jam segini ibu masih di toko. Kenapa?”
“Nggak, ada perlu.”
“Boleh disampaikan ke Nita aja? Nanti insya Allah Nita sampaikan ke ibu kalau sudah pulang.”
“Hmm, gini, rumah sakit abang mau ngadain program charity gitu. Ya pemeriksaan gratis lah untuk mereka yang kurang mampu.”
“Lalu?”
“Kalau ngadain program charitynya di panti ini apa boleh? Abang rasa tempatnya juga memadai.”
“Oh gitu, emang kenapa gak di rumah sakit aja, Bang?” tanya Nita penasaran.
“Programnya tiap tahun digilir untuk tempatnya. Tahun lalu sudah di rumah sakit, nah tahun ini rencananya mau di luar rumah sakit, biar lebih banyak orang yang datang.”
“Oh gitu. Oke, nanti insya Allah Nita sampaikan ke ibu kalau sudah pulang ya. Mudah-mudahan beliau setuju.”
“Aamiin.”
“Ayo dicicip dulu kue sama minumnya, Fan, Bang Fauzan.”
Saat mereka tengah menikmati kudapan dan minumannya, kembali terdengar suara seseorang yang mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Jantung Nita berdebar keras melihat lelaki yang menjulang di hadapannya.
“Re ... Revan?”
“Iya Nit. Boleh aku masuk?” Nita menjadi kikuk, canggung dan serba salah. Ingin mengusir tapi tidak enak dilihat Fani dan Bang Fauzan. Ingin mempersilakan masuk tapi Nita ragu.
“Oh lagi ada tamu ya?” ucap Revan yang menengok ke arah dalam.
“Eh, oh itu ...”
“Siapa, Nit? Tamu juga, ya?” tanya Fani.
“Kamu gak mau kenalin aku ke mereka, Nit?” tanya Revan. Revan sudah mengetahui tamu yang sedang berada di dalam adalah lelaki yang dekat dengan Nita. Ia melihatnya sewaktu di rumah sakit.
“Ah, iya ini teman gue, Fan.”
Nita akhirnya terpaksa memperkenalkan mereka satu sama lain.
“Revan.” Revan memperkenalkan dirinya pada Fauzan sambil mengulurkan tangan.
“Fauzan.” Fauzan menyambut uluran tangan Revan.
Dua lelaki itu saling berhadapan dan saling bertatapan. Revan mengeratkan cengkaramannya di telapak tangan Fauzan. Ia merasa Fauzan adalah saingan terberatnya dalam mendapatkan Nita.