Jenifer memakirkan mobilnya di depan sebuah restoran mewah, tapi karena tempatnya sempit dia kepayahan untuk memasukkan ke tempat yang ditentukan. Gadis itu, bahkan sampai menabrak bagian belakang milik orang lain.
Jenifer mematikan mesin mobilnya, lalu keluar dengan kesal. Dia menendang mobil yang rusak tersebut sambil mengomel tidak jelas. Seorang sekuriti yang melihat itu langsung berteriak keras.
“Nona! Apa yang Anda lakukan?” tanyanya sambil berlari. Jenifer menoleh cepat, mengerang frustasi. Kecelakaan itu bukan salahnya, melainkan salah pemilik mobil yang melewati batas parkir.
“Bukan aku yang salah? Tapi mobil ini,” tunjuk Jenifer dengan menendang mobil itu. Dia melipat kedua tangannya menatap sang sekuriti dengan tajam.
“Saya melihat dengan mata ini,” tunjuk sekuriti itu mengarah ke matanya, “Anda menabrak dan menendang mobil itu.” Dai mendekat sambil memperlihatkan bekas peyokan yang jelas.
“Lihatlah… apa kau buta? Hah…! Mobil itu melewati garis putih. Ketika aku mau parkir, lebarnya berkurang sehingga menabrak bagian belakang.” Jenifer membela dirinya sendiri dengan percaya diri.
“Aku tidak mau tahu, dia yang harus mengganti kerugian dari lampu mobilku yang retak,” tambah jenifer, membuang muka kea rah lain. Yang benar saja, masak dia harus bertanggung jawab karena kesalahan orang lain.
“Nona, ayolah… jangan keras kepala. Anda bisa dihukum karena merusak mobil lain,” kata security itu menakuti.
Jenifer menoleh, “Panggil pemilik mobil!” teriaknya mengundang banyak orang menonton gadis itu sambil bertanya satu sama lain.
Melihat banyak orang yang berkumpul, Daniel mengerutkan dahi karena tempat parkirnya berada di depan kerumunan. Dia bangkit dari kursi, lalu menghampiri ke tempat kejadian. Untung saja, pertemuan dengan klien sudah selesai, dia bisa bebas menikmati sisa waktu yang ada.
Daniel mempercepat langkahnya. Samar-samar, dia mendengar suara gadis yang berteriak-teriak mengenai kerusakan mobil. “Permisi,” katanya sambil menyentuh pundak seorang pria. “Apa yang terjadi?” tanyanya penasaran.
“Ada seorang gadis yang merusak mobil orang lain dan tidak mau menggantinya,” jawab orang itu cepat.
“Terimakasih,” kata Daniel terus mengamati lalu menerobos masuk ke dalam kerumunan. Matanya terkejut melihat mobilnya yang tergores hingga penyok, “Mobilku!” geramnya tertahan.
Jenifer berhenti bicara dan mendadak suasana menjadi hening. Gadis itu menoleh lalu tersenyum canggung. “Apakah ini mobilmu?” tanyanya dengan nada lembut. Mata mereka pun saling beradu membuat hatinya sejuk.
“Kau yang menabrak mobilku?” tanya Daniel sambil mendekat, dia mengelus mobilnya. “Ini sangat parah dan harus diperbaiki.”
Jenifer menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Bisakah kalian bubar, aku ingin bicara dengan pemilik mobil ini.” Semua orang mengagguk dan meninggalkan mereka sendirian.
Setelah para kerumunan orang menghilang, Jenifer menarik lengan Daniel sembunyi di belakang mobil milik orang lain. “Punyaku juga tergores, bahkan lebih parah,” kata gadis itu mengawali pembicaraan.
“Bisakah kau melepaskan lenganku?” pinta Daniel sambil melepas kasar tangan Jenifer sampai terperangah tak percaya.
“Wah… apakah kau tak tertarik dengan gadis cantik seperti diriku?” ujar Jenifer dengan sombong. Dia adalah gadis primadona di kampusnya. Pria manapun akan tertarik dan menggilainya. Namun, kenapa pria yang ada dihadapannya malah melempar tatapan ganas yang dingin?
“Jangan bercanda! Kau bukan levelku.” Daniel berbicara dengan ketus agar cepat menyelesaikan perkaranya. Kalau boleh jujur, Jenifer merupakan tipe idealnya.
“Sialan!” umpat Jenifer dengan nada tertahan. Baru kali ini, dia diperlakukan seperti ini oleh seorang pria.
Daniel tersenyum menyinggung, lalu medekat ke arah Jenifer, “Kalau kau tidak membayar biaya kerusakan, aku akan membawa ke jalur hukum.” Tangan pria itu meraih saku lalu memberikan sebuah kartu nama, kemudian di taruh di tangan Jenifer.
“Aku beri waktu dua hari. Selama dua hari kau tidak menghubungiku, maka aku akan membawanya ke jalur hukum,” ancam Daniel dengan santai, “Aku punya saksi mata dan bukti.”
Setelah mengeluarkan kata-kata yang berbalut ancaman, Daniel pergi meninggalkan Jenifer yang masih terbengong. Gadis itu mengedipkan mata berulang kali dengan mulut terbuka tak percaya akan hal yang terjadi barusan.
Tanpa sadar, Jenifer meremas kuat kartu nama itu, lalu membuangnya ke tanah dan menginjaknya berulang kali.
“Pria sialan! b*****h! b******k!” murka Jenifer terus menginjaknya sampai kotor. Beberapa detik setelah meluapkan emosi, gadis itu mulai sadar. “Sialan… apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada diri sendiri sambil melihat kartu yang di injaknya. Dia kemudian memungutnya kembali lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
“Hari yang menyebalkan,” geram Jenifer mengepalkan kedua tangannya dengan erat.
Franco Company
Elina masih sedikit ragu untuk menyentuh miniature berbentuk mobil itu. Dia merasa bahwa benda itu sangat mahal dan tidak sepatutnya kalau tangan miskin itu menyentuh barang berharga.
Gadis itu menghela nafas panjang dengan raut wajah kecewa karena mengingat Elesh. Adik semata wayang yang sialnya tampan dan dikagumi banyak gadis. Kenapa tuhan tidak adil padanya? Pikir Elina sambil melihat dari ujung kaki hingga ke atas. Tubuhnya yang pendek itu membuatnya terlihat seperti anak sekolah dasar.
“Kau miskin, dan pendek pula,” ejek Elina pada diri sendiri. Berbeda dengan Elesh yang tingginya sekitar seratus tujuh puluh lima centimeter, gadis itu hanya memiliki tinggi sekitar seatus lima puluh sembilan.
Tinggi seperti itu adalah tinggi dibawah rata-rata. Karena kebanyakan dari mereka yang tinggal di kota itu memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh lima sampai seratus delapan puluh.
“Kau sangat tidak adil, Tuhan….” Kaki Elina disentakkan ke lantai. Dia berbalik kasar mengambil alat kebersihan. “Aku harus bekerja keras, agar bisa hidup.” Itulah motto gadis tersebut selama menjalani kehidupan.
Elina mulai melakukan pekerjaannya dengan melap bagian jendela dan juga miniature yang tersusun rapi, “Aneh… tidak ada noda sama sekali, seperti baru dibersihkan,” gumam gadis itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sepertinya, Lisa membohongiku,” kata Elina lagi sambil mengeram kesal. Kegiatannya berhenti lalu mata cantik itu tertuju pada pigora yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Wah… bagus sekali!” pujinya dengan keras sehingga membuat pemilik ruangan terbangun. Dia langsung bangkit lalu membuka pintunya dengan kasar. Karena kaget, Elina menjatuhkan pigora itu ke lantai sampai pecah.
“Apa yang kau lakukan!” teriak Axel dengan amarah yang meluap. Pria itu langsung berjalan mendekat, “Pergi! Keluar!
Elina acuh dengan teriakan Axel, dia memilih jongkok henda memungut pigira itu. Namun, pria tersebut mendorong dahinya dengan sebuah tongkat berwarna hitam.
“Apa kau tuli! Aku bilang…! Ke… lu…ar…!” Teriakan Axel yang nyaring membuat gendang telinga Elina hendak pecah. Dia terlihat sangat kesal karena perilaku tidak sopan pria tersebut.
Elina langsung berdiri tegak sambil berkacak pinggang, “Aku berdoa agar kau bisu sehingga tidak berteriak dengan keras,” jawabnya santai membuat Axel tanbah murka.
“Siapa namamu?” tanya Axel menahan emosi. Berbicara dengan kelinci bebal yang bodoh harus ekstra sabar.
“Elina,” jawab Elina dengan wajah polos membuat Axel mengerutkan dahinya. Dia berpikir bahwa gadis itu sengaja memiliki mimik wajah demikian.
“Kau!” tunjuk Axel, “Aku pecat…!” Pria itu berteriak dengan nyaring membuat Elina menutup telinganya sambil bergumam tidak jelas.
BERSAMBUNG