Malam hari pun tiba. Sejak mendapati Fay melakukan panggilan dengan Rex membuat Aifa harus menahan kesabarannya berlipat-lipat ketika ia dihadapkan dengan berbagai macam kesibukan di perusahaan untuk bisa merengek pada daddynya.
Aifa tidak bisa menundanya lagi. Ia pun segera keluar dari kamar lalu menuruni anak tangga dengan langkah hati-hati dan sedikit tergesa untuk mencari sang Daddy.
Aifa menemukan Daddy nya sedang duduk santai sambil mengelus puncak kepala mommynya. Saat ini Mommy Aifa terlihat berbaring santai dengan berbantalan paha suaminya di atas sofa empuk.
"Daddy.. dad.. dad..."
Fandi menggentikan aktivitasnya. Beralih menatap Aifa.
"Ada apa Aifa?"
"Aku mau cuti. Besok."
Bukannya menjawab. Fandi hanya tersenyum tipis.
"Dad.. Aifa serius."
"Duduk dulu kalau mau bicara sama orang tua. Yang sopan."
Aifa mengangguk bagaikan anak kecil yang penurut. Ia duduk dengan santai tapi tidak dengan gesture tubuhnya yang gelisah karena ingin mengutarakan ucapannya.
"Tadi kamu bilang mau cuti? Kenapa tidak minta saja sama Fay?"
"Aifa gak enak."
"Kenapa?"
"Aaaaaaaaaaaaaa dadddyyyyyy."
Dengan manja Aifa beralih duduk di samping daddynya. Aifa bergelayut dilengan Fandi sambil menyenderkan dahinya di pundak daddynya. Melihat hal itu, Ayesha mengerutkan dahinya lalu mendengus sebal.
"Kamu ini.. bisa gak duduk ditempat tadi?!" sungut Ay.
"Ada apa mom?"
"Sana kembali ketempat!"
"Aifa mau sama Daddy. Kan Aifa capek. Butuh kasih sayang dari Daddy. Idih mommy jangan cemburu kasih sayang."
"Apa?!" Ay membelalakkan kedua matanya. "Anak ini benar-benar! Aifa-"
"Sayang hentikan." cegah Fandi. "Aifa benar. Kamu tunggu di kamar ya. Beri kami waktu 15 menit." ucap Fandi dengan santai. Lalu pria itu mengedipkan salah satu matanya pada sang istri.
Aifa terkekeh geli dan akhirnya mommy Aifa itupun mengalah dengan meninggalkan mereka menuju kamarnya.
"Dad."
"Ya?"
"Aifa suntuk. Pengen cuti. Tolong ya dad.. bicarakan hal ini sama Pak Fay."
Aifa beralih memijit punggung tangan daddynya. Sebagaimana ia menarik perhatian Daddynya agar keinginannya segera di turutin bila ada maunya.
"Kalau Daddy yang bilang, Pak Fay pasti setuju. Kan dia anak sahabat Daddy. Ayolah dadddyyyyyy... Aifa butuh refresh pikiran. Tiap hari ngitung uang perusahaan. Tiap hari melototin komputer. Jangan sampai Aifa penuaan dini. Kan Aifa belum memberi cucu buat Daddy ya? Ya? Ya?"
Pletak! Aifa meringis lalu memanyunkan bibirnya ketika Fandi menyentil dahinya.
"Kok dahi Aifa di sentil?"
Fandi memasang raut wajah sinis meskipun bercanda. "Kamu mikir cucu dan cucu. Nikah dan nikah. Suami dan suami. Jangan!"
"Lah kenapa?"
"Kamu masih kekanak-kanakan. Daddy meragukan hal itu."
"Ta-tapi Dad-"
"Dan ada satu syarat jika kamu ingin cuti." Fandi berdeham. Tatapannya begitu serius hingga membuat Aifa meneguk ludahnya.
"Daddy pastikan besok kamu sudah bisa cuti dan malam ini juga Daddy akan biacarakan hal itu pada Fay."
Seketika Aifa terdiam. Tawaran yang menggiurkan! Apalagi besok ia sudah bisa cuti. Tapi..
Syaratnya apa? Itu yang Aifa pikirkan saat ini. Jika syarat itu adalah hal yang rumit apakah ia bisa melakukannya? Ah tidak-tidak. Aifa segera menepis hal itu. Ini soal pria pujaan tercintanya. Apapun yang terjadi Aifa akan melakukannya.
"Aifa?"
"Eh?"
"Gimana? Mau gak?"
"Iya dad! Mau. Mau!"
Fandi segera berdiri. Bersedekap lalu memasang mulai mempersiapkan syaratnya.
"Oke. Mulai besok kamu akan di mutasi ke Jerman."
"A-apa? Mutasi?"
"Hm."
"Kenapa?"
"Perusahaan Daddy dan perusahaan Fay akan bekerja sama dalam suatu proyek disana. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Ada Franklin yang akan menemanimu selama disana."
Rasanya Aifa ingin berteriak saat ini juga! Tentu saja. Bukankah ini namanya pucuk di cinta ulam tiba? Yang artinya mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang di harapkan? Padahal ia ingin bilang bahwa ia ingin ke Jerman. Tapi belum sempat mengutarakan nya, Fandi malah memutasinya kesana.
"Baiklah dad! Aifa setuju."
Fandi mengangguk. "Kalau gitu beres. Percakapan kita selesai. Besok pagi kamu harus bangun pagi untuk mempersiapkan keberangkatanmu. Daddy akan menghubungi Fay malam ini."
"Siap Dad siap okeeeeeee!"
Fandi pun membalikan badan. Lalu kedua matanya menatap Ay yang baru saja menuju dapur. Dengan cepat Fandi mendatanginya dan tanpa diduga menanggul tubuh sang istri di bahunya hingga suara pekikan Ay terdengar.
"Fan! Fandi! Turunkan aku. Ya ampun kamu ini!!!"
"Aku suka giniiin kamu. Mau gimana lagi?"
"Dan didepan putra putri kita? Hentikan! Jangan bersikap seperti anak belasan tahun!"
Dari jarak beberapa meter. Aifa menatap dengan diam. Ia menghela napas.
"Ah. Mereka itu benar-benar bikin ngiri aja. Aku kapan ya bisa gendong-gendongan gitu sama Rex?"
"Jaga dirimu baik-baik ya nak."
Dengan erat Ay memeluk putrinya. Mencium pipinya berkali-kali sehingga membuat Aifa sedih. Tapi ia berusaha menahannya agar tidak cengeng.
"Iya mom. Mom juga baik-baik dirumah ya. Jangan bikin Daddy bangun kesiangan terus."
"Daddymu kesiangan karena hobi ngajak mommy bergulat dimalam hari."
"Enaknya yang sudah nikah. Ah aku kapan?"
"Hushhh!!"
Aifa hanya menyengirkan bibirnya. Sementara beberapa pengawal pribadi sudah siap akan mengantarkan putri Hamilton itu untuk melakukan penerbangan ke Jerman.
Bahkan saat ini sudah ada Franklin didalam mobil dan duduk di bagian belakang.
Matahari begitu cerah meskipun tidak bisa mengelak bahwa teriknya begitu membuat semua orang saat ini begitu gerah.
Fandi merangkul bahu Ayesha. Sesekali ia mengelap peluh didahinya sehingga membuat Aifa berdeham.
"Ehem!"
Fandi menoleh kearah Aifa. Ia hanya terkekeh geli. "Ada apa?"
"Gak ada pesan buat Aifa sebelum berangkat? Ish, pacaran terus sama mommy." sungut Aifa sebal.
"Gak ada. Kamu sudah besar. Tahu yang mana yang baik dan buruk."
"Iya deh iya. Aifa-"
"Kakakaaaaa!!!!"
Dari jarak kejauhan tiba-tiba keponakan Aifa yang bernama Franz pun berlari kearahnya.
"Kakak kakak kakak!"
"Franz! Ya ampun, hati-hati sayang. Kalau jatuh nanti gimana?"
"Kalau jatuh ya kebawah kakak. Bukan keatas."
Aifa terkekeh geli. Ia mengusap kepala Franz lalu menggendongnya sejenak. Tak hanya itu saja, Aifa juga mencium pipi Franz dengan gemas.
"Kamu itu lucu ya. Selucu Franklin."
Franz menoleh kearah Franklin didalam mobil. Seorang paman yang selalu memasang raut wajah datar.
Franz bergidik ngeri.
"Tidak kak tidak! Paman Franklin itu jutek. Yang lucu itu kakak. Kan kakak ngegemasin. Nanti suatu saat kalau kakak punya suami pasti dia akan bahagia."
Aifa menurunkan Franz. Lalu merogoh uang Rp.5000 kemudian memberikannya pada Franz yang sudah siap dengan celengannya.
Frankie pun menghampiri Aifa bersama Feby. "Hati-hati dijalan ya kak."
"Jaga kesehatan kak. Sering-sering hubungin kami."
Dengan erat Aifa memeluk Feby. Lalu ia mencium 3 keponakannya. Dua diantaranya anak kembar berjenis kelamin laki-laki bernama Fahmi dan Fahri berusia 3 tahun yang berada di gendongan kanan kiri Frankie. Lalu Aifa beralih mencium kening putra Feby yang berada di babystoler bernama Fauzan berusia 2 bulan.
Aifa yakin setelah ini ia akan merindukan 4 keponakannya itu yang sekali berkumpul seperti pasukan kurcaci.
Frankie mencium punggung tangan Aifa di ikuti Feby hingga akhirnya Aifa beralih mencium punggung tangan Fandi dan Ayesha. Sebelum benar-benar pergi, Fandi pun memeluk erat putrinya.
"Jangan macam-macam disana. Franklin tetap mengawasimu nak."
"Iya Daddy iya iya. Selamat bersenang-senang dengan mommy sebelum mom akan menapouse sebentar lagi." kekeh Aifa geli yang membuat Ay menatap putrinya denah sebal.
Aifa sudah menaiki anak tangga pesawat pribadi. Ia melambaikan tangannya dengan senyum bahagia di balik khimarnya yang tertiup angin kencang.
Aifa pun akhirnya memasuki pesawat hingga sebuah senyuman terukir di bibir Fandi meskipun saat ini ia harap-harap cemas.
"Setidaknya ini yang terbaik."
"Kamu yakin Fan dengan keputusanmu?"
"Aku yakin." ucap Fandi berbalik sambil merangkul pundak istrinya. Dari kejauhan Frankie sudah menunggu dirinya bersama Feby. "Pria itu akan ke Indonesia bulan depan."
"Kenapa sih kamu gak setuju Aifa Dengan Rex?"
"Rex itu pria yang tidak serius. Paling susah memaafkan. Aifa itu masih kekanak-kanakan. Belum siap menikah meskipun dia ngebet. Aku khawatir bila Aifa labil Rex akan susah memaafkannya. Ayah tirinya yang bernama Ronald saja tidak ia maafkan karena masalalu, bagaimana dengan nasib Aifa bila suatu saat jadi istrinya dan tanpa sengaja membuat kesalahan?"
Berlin. Jerman
S
eorang pria tengah membenarkan kaca mata hitamnya. Dengan santai ia berbaring berselonjoran disebuah kursi panjang pinggir kolam renang pribadinya. Dia lah Rex Davidson yang saat ini sedang menikmati hari berharga baginya. Sebuah liburan yang hanya ia miliki selama 7 hari setelah merapel banyaknya kerjaan di perusahaan.
"Mr. Davidson?"
Rex membuka kedua matanya. Ia melirik kesamping ketika seorang pria yang menjadi pelayan pribadi di Villa miliknya mengangguk hormat sambil menyuguhkan secangkir teh hangat kedalam cangkir.
"Terima kasih."
"Sama-sama Tuan. Silahkan menikmati."
Rex hanya mengangguk. Setelah kepergian pelayan Villanya ia berniat memejamkan kedua matanya lalu terusik begitu suara deringan yang berasal dari ponselnya berbunyi.
Rex menatap nama mommy terpampang di layar ponselnya. Ia segera menerimanya.
"Asalamualaikum Rex?"
"Wa'alaikumussalam. Mom. Ada apa?"
"Tidak ada. Hanya merindukanmu. Apakah seorang ibu boleh menahan rasa rindu pada putranya?"
Rex terkekeh geli. "Jangan lakukan itu mom. Baiklah. Apa yang ingin mom bicarakan kali ini?"
"Mom cuma ingin bertanya. Sampai kapan kamu di Berlin nak?"
"7 hari. Setelah itu aku akan ke Indonesia."
"Ah.. jadi kamu berniat refreshing sejenak di negara Berlin?"
"Begitulah."
"Ide yang bagus." Mommy Rex yang bernama Luna pun sedikit bernapas lega. Bagaimana tidak? Bila selama ini Rex terlalu sibuk dengan segudang pekerjaan sehingga sedikit banyaknya ia khawatir bila putranya akan jatuh sakit.
"Mom hanya tidak ingin kamu jangan sampai kelelahan. Kamu belum menikah. Kalau sampai sakit gimana? Mom akan terus khawatir. Menikahlah Rex agar mom lega bila ada seorang istri yang merawat dan menjagamu."
Rex terdiam. Ia hanya menatap miris hidupnya. Cinta.. benarkah cinta akan membuatnya bahagia suatu saat? Benarkah ada sebuah cinta yang akan menerima segala kekurangan dalam hidupnya? Ntahlah.. untuk sejenak Rex tidak akan memikirkannya.
Berusaha mengalihkan perhatian, Rex kembali berucap. "Mom, aku lelah. Bolehkah aku istrirahat sejenak?"
"Baiklah kalau begitu. Istirahat. Jangan lelah apalagi sampai sakit. Ah iya kabarin mommy kalau kamu kembali ke Indonesia. Mom akan menyusul dengan Daddy ke kediaman paman Farrel mu di Jakarta."
"Ck. Lagi-lagi si Ronald. Ayah tiri yang Rex benci karena pernah membunuh ayah kandungnya beberapa tahun silam." Batin Rex saat ini.
"Baiklah. Aku istirahat dulu mom. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Klik. Sambungan terputus. Rex memilih menonaktifkan ponselnya. Ia pun segera berdiri untuk menuju kamarnya dengan perasaan tidak menentu campur aduk.
Berlin. Jerman.
Aifa menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur empuk setelah ia jetlag selama kurang lebih 16 jam dari Jakarta menuju Jerman. Aifa hendak memejamkan kedua matanya ketika pintu terketuk lalu sedikit terbuka.
"Kak?"
"Hm?"
"Aku ingin keluar makan. Kakak tidak ikut?"
"Aku ikut. Tapi sekarang lagi lelah."
"Oke. Aku duluan."
Franklin hendak menutup pintunya, lalu secepat itu Aifa mencegahnya.
"Yaudah Aifa ikut! Aifa juga laper."
Dengan cepat Aifa berjalan diikuti dengan Franklin yang berada dibelakangnya. Butuh waktu kurang lebih 15 menit ketika mereka tiba di sebuah restoran terdekat untuk mengisi perut yang sudah sangat lapar.
Aifa memilih bertopang dagu. Ia terlihat melamun. Franklin yang menyadari kakaknya seperti itu hanya menghedikkan bahu tidak peduli. Ah gak perlu di tanya. Pasti saat ini kakaknya itu sedang menghayal tentang Rex.
Seorang pelayan pria muda datang menghampiri Aifa dan Franklin. Lalu menyuguhkan menu-menu sajian halal yang sudah direkomendasikan untuk Aifa dan Franklin.
"Ihre Speisekarte, mein Herr und Fräulein."
Franklin mengangguk. "Vielen Dank."
"Fehlt etwas? Herr und Fräulein?"
Aifa terlihat berpikir. Memperhatikan semua menunya lalu berucap dengan lancar karena ia memang mempelajari beberapa bahasa Jerman sebelum benar-benar kemari.
"Nein, Sir. danke schön das ist genug." ucap Aifa dengan percaya diri meskipun tidak terlalu lancar. Pelayan restoran itu hanya tersenyum ramah dan memaklumi hingga akhirnya ia pun pergi.
Aifa hendak menyupakan makanannya kedalam mulut lalu terhenti ketika tanpa diduga kedua matanya menatap sosok pria yang memakai Coat tebal berwarna coklat. Pria itu baru saja memasuki restoran dan belum melepaskan kaca matanya.
"Rex!"
Note :
"Ihre Speisekarte, mein Herr und Fräulein." : Menu anda Tuan dan Nona
"Vielen Dank." : Terima Kasih
"Fehlt etwas? Sirr und Fräulein?" : Apakah ada yang kurang Tuan dan Nona?
"Nein, Sidanke schön das ist genug." : Tidak Tuan. Terima kasih sudah cukup.
____
Nah loh, gak nyangka Aifa bakal ketemu Rex setelah beberapa jam tiba di Berlin
Makasih udah baca. Maaf kalau diantaranya ada yang bosan sama author karena menorehkan karya dari sequel-sequel sebelumnya yang sudah lama tamat.
Sebenarnya Author pengen aja sih bikin karya baru, cerita baru, tokoh baru, alur baru.. tapi author gak mau bikin pembaca ada yang kecewa karena gak ngelanjutin kisah ini.
Fyi..
Author tetap melanjutkan cerita yg ini kok. Mungkin bagi kalian ada yg bosan, tapi author tidak bisa mengelak kalau diantaranya ada yang suka bahkan ada yang nunggu cerita ini sejak lama. Kalau author unpublish atau hapus worknya, itu malah bikin mereka juga ada yg kecewa :(
Author tetap memilih untuk konsisten dan komitmen 1 karya sampai tamat. Insya Allah kalau panjang umur.
Dan maaf ya kalau kalian gak suka atau bosan author ikhlas kok kalau karya Author gak dibaca hhe kan gak maksa ☺
Pokoknya doain aja semoga kita semua selalu di beri kesehatan dan umur yang panjang supaya author bisa nyelesaikan karya-karya yang Hiatus dan beralih ke yang baru lagi.
Aamiin.
With Love
LiaRezahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii